Catatan dari Diskusi Problematika Perempuan dalam Sastra


Nyaris saya tak bisa datang di acara diskusi yang diadakan oleh komunitas Lego-Lego pada 27 Desember silam. Listrik yang padam sejak pagi dan hingga menjelang maghrib belum juga diperbaiki oleh petugas PLN, membuat saya harus menyelesaikan beberapa pekerjaan rumahtangga yang biasanya bisa ditunda jika lampu menyala.

Untungnya menjelang isya, petugas PLN yang dinanti-nanti datang juga dan berhasil memperbaiki kerusakan instalasi di rumah. Agak lelah sebenarnya, tapi karena penasaran dengan materi apa yang akan dibawakan oleh Kak Luna Vidya – seorang penulis yang sudah lama bergelut dengan dunia sastra, dan sudah saya kenal selama beberapa bulan maka melajulah saya ke warkop Aldina – Tamalanrea, tempat kegiatan berlangsung.

Terlambat sebenarnya, kalau dari jadwal yang tertera di undangan. “Belum selesai acaranya?” saya mengirim SMS kepada Ammy, teman di grup IIDN. Ammy juga anggota di komunitas Lego-Lego, ia yang mengantarkan undangan untuk IIDN Makassar ke rumah dua hari sebelumnya.

“Baru mulai, Kak,” jawab Ammy. Saya menarik nafas lega. Artinya saya tak ketinggalan banyak di diskusi ini.

Tema yang diusung diskusi ini menarik, “Problematika Perempuan dalam Sastra”. Berikut secuplik isi ToR (term of reference)-nya:

Di sisi lain dalam kesusastraan, hidup tak seindah gambaran romantik dalam negeri kayangan.
Sastra pun bisa menjadi instrumen penindasan atau yang biasa disebut sebagai ketimpangan gender.
Jika kita membaca realitas sastra indonesia, terdapat beragam ketimpangan yang menurut sebagian orang merupakan bias dari interpretasi atas teks sastra. Lihat saja bagaimana karya-karya Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu dan lain-lain yang tergabung dalam sastrawangi atau penulis karya klasik seperti Marquis de Sade yang banyak menulis tentang mesum dan Gustave Flaubert tentang tema perselingkuhan.
Larisnya karya mereka tidak terlepas dari tema cerita yang selalu berbau seksualitas yang celakanya sebagian besar pembaca adalah lelaki. Gambaran seperti inilah merupakan bagian dari alasan akan terjadinya ketimpangan tersebut.

Membaca wacana seperti ini, akan dibawakan oleh Kak Luna yang saya merasa mengenalnya (dan sudah bertemu beberapa kali dengannya) dan Pak Gegge Mappangewa – penulis novel Lontara Rindu yang memenangkan lomba novel Republika, inilah yang membuat saya amat penasaran. Syukurnya, suami saya mau mengantar dan bahkan mau ikut diskusi ini.

Saat tiba di tempat acara, pembicaraan sedang berkutat di seputar nama Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu. Ketika seorang perempuan menuliskan hal yang tabu, yang keluar dari stereo type-nya, ini sebuah persoalan. Justru tak masalah bila yang menuliskannya laki-laki.

Saya bukan penikmat fiksi. Dari informasi yang saya dapatkan dari kawan-kawan sesama penulis, Djenar amat vulgar bagi sebagian orang dalam menulis tentang seks. Inilah salah satu cuplikan dalam wawancara[i] majalah Dewi dengan Djenar Maesa Ayu: “ ... Boleh saja kita berganti-ganti pasangan asal kita menjaga benar kesehatan reproduksi ...” 

Tentang Ayu Utami, ada cuplikan menarik dari sebuah diskusi[ii] tentangnya. Ini pengakuannya: “Saya dulu sangat religius. Keluarga saya konservatif tapi membebaskan anaknya menikah dengan beda agama, asal tidak dengan komunis.” Di usia 20-an awal, Ayu mulai tak percaya agama. Alasannya, lebih banyak mudaratnya, patriakal, dan terkesan saling memusuhi antaragama. Ketika mahasiswa, ia bahkan memutuskan untuk menjadi seorang agnostik[iii]. Di usia 20-an akhir, ia mulai melihat agama dengan kacamata baru: sebuah kenyataan peradaban. Bergulat dengan semua itu, agama, ketidakadilan, moralitas berlebihan, Ayu akhirnya “terjebak” untuk selalu menulis tiga tema: seks, kegilaan, dan agama.

Nah, dua orang ini contoh penulis (perempuan) Indonesia yang dianggap menciptakan problematika dalam sastra Indonesia – negara yang masih kental dengan batasan moral, agama, dan stereotype mengenai peran masing-masing gender.

***

Dalam jalannya diskusi yang lebih berupa tanya-jawab (karena kebanyakan penanya puas setelah pertanyaannya dijawab) ini, saya menyimak dan mencatat[iv] beberapa poin:

Filosofis vs Praktis

Pilihan komunitas Lego-Lego kepada dua orang panelis ini amat pas. Kak Luna Vidya berpandangan filosofis tentang usulannya mengenai pendekatan terhadap problematika perempuan dalam sastra dan tentang bagaimana seharusnya seorang perempuan menulis sementara Pak Gegge Mappangewa begitu praktis dalam menuturkan pendapatnya.

Misalnya saja tentang istilah cluster[v] yang dipakai Kak Luna. Saya menangkapnya sebagai sesuatu yang maknawi sementara Pak Gegge memisalkannya dengan contoh Lego-Lego sebagai komunitas.

Paduan pengetahuan dari kedua panelis, akan sangat memperkaya peserta diskusi bila menyimaknya dengan baik karena keduanya saling melengkapi.

Jalannya Diskusi

Beberapa peserta diskusi tak mencerna dengan baik materi yang didiskusikan. Sebagai contoh, saat suami saya berpendapat dan menggunakan istilah “terangsang”, terdengar suara berdecak, “Ck .. ck .. ck... waah.” Diiringi tawa ringan. Ini tanda bahwa ada yang tak mencerna dengan baik apa yang sedang berlangsung di depannya, menangkap apa yang terucap. Padahal dalam diskusi, bisa saja kata-kata yang terdengar itu “punya sayap” sehingga harus dicerna baik-baik sebelum ditanggapi.

Keluar dari ToR?

Tetapi seperti kritik yang diajukan oleh Cathrine Bandle, dalam Sastra Perempuan dan Seks, bahwa usaha dari para perempuan penulis (baca sastra wangi) untuk melawan dominasi patriarkis dalam teks justru akan menciptakan bias bagi perempuan itu sendiri. Kenapa tema yang diangkat hanyalah tentang hal yang tabu bagi masyarakat seperti seks dan seksualitas? Apakah penindasan yang terjadi hanyalah sebatas siapa yang kalah dan siapa yang menang dalam pergulatan seksualitas? (cuplikan dari ToR)

Ada yang mempertanyakan tentang diskusi yang menurutnya keluar dari ToR (term of reference) yang ditawarkan panitia. Kak Luna menjawab, ia menghindari membahas isi ToR secara khusus dan menawarkan materi diskusi yang lebih greget untuk dibahas (“greget” ini istilah saya). Saya setuju karena membahas pendapat dalam ToR ini akan membuat kita terjebak di pembahasan soal seks dan penulis perempuan.

Kenapa memaksakan isi ToR kepada panelis? Isi ToR itu kan isi kepala panitia, bukan isi kepala panelis? So, mari simak saja apa yang diangkat panelis toh ia tak keluar dari topik “Problematika perempuan dalam sastra”!

Problematika Perempuan dalam Menulis

Semua orang, termasuk perempuan tentu saja, memiliki cluster diri. Tentang cluster diri ini, silakan baca pemahaman saya mengenainya pada catatan kaki di bawah (nomor v). Cluster diri ini memancarkan kejujuran pemiliknya.

Nah, kemampuan pembelajaran seseorang dari beragam latar belakang dan pengalaman hidupnya, termasuk dalam mempelajari peran orang lain yang bersinggungan dengan dirinya (bagaimana berperan sebagai ibu, nenek, tante, perempuan terhormat, pelacur, janda, perawan, apa saja) merupakan kekayaan (secara intelektual, spiritual, sekaligus emosional) dan berpotensi besar menghasilkan tulisan yang berbobot.

Sebagai perempuan, stereotype yang disandang seseorang amat berpengaruh dalam penerimaan pembaca terhadap tulisan yang dihasilkannya. Perempuan sepertinya diharapkan menulis berdasarkan stereotype-nya. Misalnya seorang istri yang dimadu, diharapkan mewakili narasi tentang kehidupan yang hancur oleh pengkhianatan cinta, penuh kemarahan, dan tidak bahagia. Ataupun keberhasilan mengalihkan ketidakbahagiaan itu pada pengabdian membabi buta, pada anak-anak dan suaminya.

Sehingga bukan hanya dapat menjadi kekayaan, seorang perempuan penulis dapat “didikte” oleh masyarakat berdasarkan cluster dirinya, hasil-hasil pembelajarannya, dan stereotype-nya. Bahkan sebelum ide di kepalanya dituliskan. Misalnya saja, Djenar dan Ayu Utami menjadi kontroversi karena mereka perempuan. Jika saja yang menulis (seperti yang mereka tulis) itu laki-laki, tidaklah menjadi sebesar ini kontroversinya atau malah bukan masalah.

Maka ada orang-orang yang melampaui batas, menulis di luar cluster dirinya. Ia tidak berakar pada pembelajaran peran yang pernah bersinggungan dengannya. “Tulisan yang dihasilkannya tidak mencapai maksud sastra. Persentuhan budi dan daya. Ia gugur bahkan sebelum mencapai pintu akal. Hambar,” tulis Kak Luna.
Cafe Aldina, tempat diskusi
Foto: Ammy

Pertanggungjawaban

Saya melihat kedua panelis sepakat bahwa setiap orang hendaknya menulis sesuatu yang bisa dipertanggungjawabkannya.

Saya teringat seorang kawan yang menceritakan percakapannya dengan putra sulungnya yang menginjak usia 18 tahun. Kawan saya ini memancing reaksi anaknya mengenai perhatian spesial yang diberikan beberapa gadis kepadanya. Yang mengejutkannya, sang anak menjawab dengan sangat ideal, sesuai dengan keinginannya tentang bagaimana seharusnya hubungan khusus antara laki-laki dan perempuan. Dan jawaban-jawaban tersebut didasarkan kepada tulisan-tulisan yang pernah ia tulis sejak bertahun-tahun lalu.

Bisa dibayangkan bukan seperti apa pertanggungjawaban para pengikut sastra selangkangan itu kelak?

Bagaimana Penulis Perempuan Saat Ini?

“Secara trend, saat ini banyak penulis perempuan,” ujar Kak Luna.
“Banyak perempuan menulis untuk mengidentifikasikan dirinya. Seharusnya seperti itulah perempuan menulis,” lanjutnya lagi.

“Jumlahnya mungkin banyak, karena training-training menulis didominasi perempuan. Tapi yang karyanya masuk best seller hanya sedikit,” kata Pak Gegge.

Ah, saya tak mengamati mengenai buku-buku best seller. Bagi saya, saat ini banyak sekali perempuan yang suka menulis dan itu bagus. Kawan facebook saya lebih seribu orang, hanya sekitar 200 merupakan teman dari dunia nyata sementara yang lainnya dari dunia maya. 90% penyuka menulis (termasuk blogger), dan didominasi perempuan. Saat ini, dukungan teknologi memungkinkan perempuan bisa memberdayakan dirinya sendiri dari rumahnya, tak mengapa karyanya masuk best seller atau tidak. Ngeblog juga merupakan karya, abadi lagi.

Penulis yang Baik dan Membuat Sejarah

Menurut Kak Luna, penulis yang baik adalah yang selalu mengikatkan diri pada akarnya. Ia mampu menerjemahkan dirinya dalam tulisannya. “Menulislah untuk membuat sejarah diri kita,” ungkapnya. “Sejarah” di sini yang saya tangkap mirip dengan yang pikiran saya dengan membuat sejarah diri. Tak penting apakah itu best seller ataukah dalam bentuk buku. Menulis di blog pun membuat sejarah.

Sementara Pak Gegge menceritakan proses kreatifnya yang pada mulanya memimpikan namanya dimuat di media. Ia butuh waktu 9 tahun hingga akhirnya “membuat sejarahnya”. “Jangan berhenti bermimpi. Rawatlah mimpimu baik-baik karena kelak mimpimu akan merawatmu bahkan memberimu makan,” pesannya.

***

Mengutip tulisan Kak Luna, “Sastra yang bagus adalah yang membuka dalam diri saya kebenaran, bahwa ya itu benar, ya kemungkinan itu ada. Yang membuat saya pergi ke arah yang tak pernah saya tempuh sebelumnya, di dalam diri saya sendiri.

Sepertinya nyambung bila dikaitkan dengan pandangan Socrates (470 SM - 399 SM) bahwa: pada setiap manusia terpendam jawaban mengenai bebagai persoalan dalam dunia nyata. Masalahnya adalah, kebanyakan manusia tak sungguh-sungguh menyadarinya. Socrates mengembangkan metode tanya-jawab untuk menggali jawaban-jawaban terpendam mengenai berbagai persoalan. Socrates menekankan pentingnya pengertian tentang “diri” bagi setiap manusia sehingga setiap orang wajib untuk mengetahui dirinya sendiri terlebih dulu kalau ingin mengerti hal-hal di luar dirinya[vi].

Makassar, 5 Januari 2013

Silakan disimak juga:




[i] http://rustikaherlambang.wordpress.com/2009/02/28/djenar-maesa-ayu/ (blog Rustika Herlambang, redaktur di Femina Grup)
[ii] http://klubbukufilmsctv.wordpress.com/2009/08/07/ayu-utami-%E2%80%9Ckenapa-agama-tak-membuat-orang-lebih-baik%E2%80%9D/
[iii] Agnostik (KBBI): Orang yang berpandangan bahwa kebenaran tertinggi (misalnya Tuhan) tidak dapat diketahui dan mungkin tidak akan dapat diketahui. Agnostik tidak sama dengan ateis (wikipedia).
[iv] Ah, sebenarnya saya tak mencatat banyak saat diskusi karena asyik mencerna penyampaian dari kak Kak Luna. Ini karena apa-apa yang disampaikannya amat berbobot dan merupakan hal baru bagi saya yang tidak pernah khusus menjadi pemerhati masalah sastra, khususnya yang menyangkut “problematika perempuan” ini.
[v] Belakangan, setelah membaca berkali-kali tulisan kak Luna di grup IIDN Makassar tentang ide apa sebenarnya yang hendak ia tawarkan dalam diskusi, baru saya lebih mengerti bahwa yang dimaksud dengan cluster adalah sebuah representasi diri seseorang secara maknawi. Maksudnya, seseorang dalam melakukan sesuatu termasuk menulis “membawa pesan” berupa karakter dirinya sebagai bagian dari latar belakang sosial, budaya, pendidikan, dan lain-lain yang melekat pada dirinya.
[vi] Halaman 154 buku “Titik Ba – Paradigma Revolusioner dalam Kehidupan dan Pembelajaran”, karya Ahmad Thoha Faz, Mizan, 2007.


Share :

7 Komentar di "Catatan dari Diskusi Problematika Perempuan dalam Sastra"

  1. Jadi sastra itu juga adalah perjalanan jiwa ya Niar. Keindahannya terletak pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam. Menarik ya acara diskusi seperti ini, nambah wawasan kita..

    ReplyDelete
  2. Masyaallah tetap semangat belajar...!!!

    ReplyDelete
  3. pengeeen deh ikutan bun, kalo deket mah.
    saya pernah baca kumcernya Djenar, dan memang seksnya kentel bgt. sampai mikir, kok bisa yaa?
    hihiii

    ReplyDelete
    Replies
    1. Huaa, kumcernya juga begitu? Kirain cuma di novel? Wiiii *bergidik*

      Delete
  4. Saya dulu pernah beli buku salah satu penulis itu mbak, karena nggak tau isinya. Rekomendasi temen aja, katanya bagus. Eh, nggak taunya isinya begitu, akhirnya waktu itu ada yang pinjem trus saya bilang, nggak usah dikembaliin ambil aja, nyesel saya beli nya" :p

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^