Saudariku, Sahabatku

Bagi saya, adik-adik bukan hanya orang-orang yang memiliki pertalian darah dengan saya. Bagi saya, mereka seperti sahabat-sahabat saya.

Saya adalah anak sulung dari 3 bersaudara. Adik perempuan saya – Mirna, sekarang berdomisili bersama keluarganya di Sorowako, sebuah kota kecil di ujung Sulawesi Selatan, dekat perbatasan dengan provinsi Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Sementara adik laki-laki saya – Muhyi yang akrab Uyi, sekarang tinggal di Bontang, sebuah kota kecil di Kalimantan Timur bersama istri dan anak-anaknya.

Usia saya hanya berselisih 15 bulan dari Mirna. Kami sepembaringan selama 24 tahun, sejak Mirna lahir hingga sehari sebelum saya menikah pada usia 25 tahun. Masa kecil kami seru. Setiap hari bermain bersama. Selalu saja ada pertengkaran bahkan gontok-gontokan. Mengenangnya selalu menerbitkan senyum. Saling pukul, tendang, tinju, dan jambak itu hal biasa. Tapi semua itulah perekat hubungan kami hingga sekarang.

Ibu dan ayah kelabakan menghadapi pertengkaran-pertemgkaran kami. Ibu sering kami buat marah-marah. Ayah sering mengancam hendak membelikan kami sarung tinju dan akan membiarkan kami saling bertinju sampai puas. Tentu saja ancaman itu tak pernah terlaksana.
Sumber: http://cerrybam.com

Ada satu hal seru yang masih teringat hingga kini saat saya duduk di kelas 4 dan Mirna duduk di kelas 3 SD. Saat itu ada teman kelasnya – seorang anak laki-laki – sebut saja namanya Cakra yang suka usil padanya. Pokoknya menyebalkan deh. Entah bagaimana mulanya dan ulah siapa, ada yang mengatakan pada Cakra bahwa saya menantangnya di halaman sekolah.

Tiba-tiba saja pada suatu sore saya berada di tengah pekarangan sekolah, berhadap-hadapan dengan Cakra. Speechless, gugup, dan takut tak terkira. Mana mungkin seorang anak perempuan kurus, kuper, dan selalu kalah dalam lomba lari ini menantang seorang anak laki-laki berkelahi?

Untungnya saya tipikal anak pendiam. Dalam situasi apapun saya cenderung mengambil sikap diam. Juga dalam situasi tersebut. Di tengah riuhnya kerumunan anak-anak usia SD – teman-teman  sekelas saya dan Mirna, saya hanya diam terpaku menatap Cakra. Cakra pun hanya diam, menatap saya. Tapi ia kelihatan ciut. Rupanya ia hanya bisa bermulut besar saja. Dalam hitungan menit Cakra pun pergi dan kerumunan anak-anak itu bubar. Pfiuh betapa leganya saya. Padahal kalau saja si Cakra itu nekad memukul saya, saya bisa apa?

Hingga mahasiswa, saya dan Mirna sering meributkan garis demarkasi di ranjang kami. Biasanya garis batas itu berupa sambungan jahitan yang biasanya terdapat pada seprei jahitan ibu atau bekas lipatan yang membagi dua seprei itu secara simetris.

Garis demarkasi itu harus pas di tengah. Kalau ada yang memasangnya dan menurut yang lain garisnya tak pas di tengah maka terjadilah keributan. Begitu pun saat tidur, baik siang ataupun malam, jika ada salah satu yang anggota tubuhnya melewati garis batas maka bisa dipastikan genderang perang telah tertabuh.

Masalah bantal pun sering membuat kami ribut. Masing-masing kami menguasai dua bantal yang tak boleh direbut oleh yang lainnya. Kalau dalam tidur secara tak sengaja ada yang merebut bantal maka ia akan terbangun kaget karena bantal yang sedang dipeluknya ditarik paksa atau ada pukulan yang melayang ke dirinya.

Bantal kami sama sekali tak pernah tertukar. Bertahun-tahun kami memakai bantal milik masing-masing. Sampai-sampai saya hafal dengan bau khas kami dengan mencium aroma bantal-bantal itu.

Kami memang sangat menghargai privasi masing-masing. Ini berkat ajaran ibu. Jika orang-orang lain sesama saudarinya suka saling mengacak-acak dan memakai barang-barang atau baju yang lain tanpa permisi, tidak demikian halnya dengan kami. Bahkan kami sangat jarang bertukar baju. Alasannya karena bagi kami itu privasi dan karena selama sekolah, hanya saat SMP saja sekolah kami berbeda. Kami sekolah di TK, SD, SMA, dan jurusan yang sama di perguruan tinggi.

Hal seru lainnya, kami berdua teman ngobrol yang asyik. Kami tak pernah kehabisan bahan obrolan dan gurauan. Dari pagi sampai malam, ada saja yang kami obrolkan. Ini karena kami saling tahu teman masing-masing dan bersekolah di institusi pendidikan yang sama. Waktu ibu berkata, “Kalian ini kayak teman saja. Tidak habis-habisnya itu cerita,” saya heran. Rasanya wajar-wajar saja sesama saudari seperti ini. Kemudian saya menyadari, dari 6 orang yang hidup dari 11 bersaudara, ibu adalah anak perempuan satu-satunya, bungsu pula. Beliau tak punya pengalaman seperti kami yang bagaikan “kepompong” ini.  

Setelah menikah, kami pun tak pernah kehabisan bahan cerita. Bisa setiap hari kami saling mengirim SMS atau menelepon. Kami bisa mengobrolkan apa saja selama setengah atau satu jam. Uniknya, anak-anak kami tak beda jauh usianya. Sulung saya Affiq hanya 11 bulan lebih tua dari sulung Mirna - Ifa. Anak kedua saya Athifah hanya lebih dulu lahir 8 bulan dari anak keduanya yang bernama Faqih. Kemudian saat saya melahirkan Afyad, Mirna tengah mengandung anak ketiganya. Sayangnya ia mengalami keguguran.

Kalau dulu kami boleh dikata sepaham, banyak yang berbeda saat ini di antara kami menyangkut cara pandang terhadap suatu hal. Bagi saya tak menjadi masalah selama kami bisa saling menghargai satu sama lain.

Ini cerita saya tentang seorang sahabat yang istimewa. Pertalian darah kami mudah-mudahan terus mengentalkan persahabatan kami, ‘Coz Friendship Never Ends’. Punyakah Anda pengalaman seperti ini?

Makassar, 29 Oktober 2012

Tulisan ini diikutkan giveaway ‘Coz Friendship Never Ends’




Silakan juga dibaca:




Share :

19 Komentar di "Saudariku, Sahabatku"

  1. semoga sukses dengan kontesnya ya mbak. dari sahabat jadi saudara aku juga punya tuh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih mbak Lid. Ayuk ikutan yuk, deadline-nya diperpanjang :D

      Delete
    2. Oya link GA-nya: http://dreamyhollic.blogspot.com/2012/09/giveaway-for-friendship-never-ends_20.html

      Delete
  2. Keren Mbak, memang seninya punya saudara sama2 perempuan dg jarak umur yg dekat begitu ya Mbak, seru ;) semoga menang kontesnya ;)

    Jd ingin ikutan ;)

    ReplyDelete
  3. punya saudara mungkin memang mengasikkan, walaupun sering selisih paham tapi jika tidak ada pasti terasa sepi... sanyang nggak punya saudara hehe...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tapi pasti mas Agus punya banyak sahabat kan? :D Ayuk ikutan GA ini .. masih bisa sampai besok lho

      Delete
  4. seneng bgt ya mbak bs akrab dg saudara kandung walopun ada berbeda pendapatnya :)

    ReplyDelete
  5. Cerita dengan saudara itu memang selalu mengasikkan tapi kadang juga sih buat kesal ketika hal yang seharusnya dijadikan rahasia tapi malah diceritain ma ortu... :)

    ReplyDelete
  6. Persahabatn yg erat terjalin tak ubahnya kedekatan spt saudara, saya juga punya beberapa. dan salah satunya adalah teman kost sekaligus teman kuliah...jika mau tahu ttg cerita diri saya...sahabat saya itu pegang kartu AS-nya..hehehe

    GUdluck kontesnya ya MBak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Asyik juga kalo sahabat jadi spt sodara ya mbak Rie. Tapi jangan kasih semua kartu ASnya dong :)

      Delete
  7. moga menang, bu! gue juga saudara bu mugniar, kan?? :)

    ReplyDelete
  8. saudara yang seperti sahabat..ahhayyy..saya banyak memiliki-nya, apalagi sahabat yang melebihi saudara saya pun juga memilikinya....,
    btw-slamat berkontes ya..semoga menang :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sempat ngikutin kontes ini kan Pak?
      Terimakasih :)

      Delete
  9. bersahabat dengan saudara itu sangaaaaat menyenangkan. makasih partisipasinya mbak Niar :)
    tungguin pengumumannya ya.. :D

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^