Tentang Perspektif

Tentang Perspektif - Setiap orang unik. Bukan hanya fisik tetapi juga psikis, mental, dan perspektif (sudut pandang). Oleh karena itu, dalam interaksi sehari-hari dibutuhkan keluasan wawasan dan keluasan hati dalam berhubungan dengan orang lain. Sebab perbedaan perspektif bisa saja mengakibatkan ketersinggungan, perkelahian, bahkan mungkin ... pembunuhan.

Perspektif

Seseorang yang pernah melihat cara saya memotong cake berkomentar, “Potongannya koq kecil-kecil, seperti orang kikir saja!”. Saya mengerti komentar tersebut datang karena perbedaan perspektif antara saya dan si komentator namun saya tidak menyangkal, selama bermenit-menit setelah komentar itu hati saya sempat meradang, dongkol. Karena dalam perspektif saya, saya lebih menyenangi potongan makanan termasuk kue yang bentuknya kecil karena saya bisa memakannya lebih dari sekali, dan lebih mudah bagi saya mengukur kapasitas lambung saya dengan ukuran yang kecil. Saya ini tipikal orang yang gampang merasa kenyang dengan hanya melihat potongan makanan yang besar-besar. Bukan rasa kenyang sungguhan yang datang dari lambung melainkan ‘kenyang mata’ yang kemudian memerintahkan otak untuk ‘melarang’ mengambil potongan tersebut karena jika saya memakannya maka saya harus menghabiskannya dan jika saya harus menghabiskannya maka saya akan kewalahan, sebaliknya jika saya tidak menghabiskannya berarti saya melakukan hal yang mubazir: satu hal yang tidak disukai Tuhan. Di samping itu, saya mempunyai kebiasaan makan sedikit-sedikit. Kalau makan nasi, saya tidak sekaligus meletakkan 2 sendok nasi di piring saya melainkan setengah sendok demi setengah sendok karena dengan demikian saya lebih menikmatinya. Begitu pula dalam memakan kue, saya lebih menikmati memakan kue dengan cara secomot demi secomot. Jadi komentar di atas saya jawab dengan: “Justru dengan potongan kecil-kecil orang bisa mengambil beberapa kali, kalau potongannya besar-besar orang hanya boleh mengambil satu kali ... “ (karena kalau mengambil lebih dari sekali bisa-bisa disangka doyan, lapar, atau ... rakus !!! Jadi sebenarnya yang mana yang kikir?.... lagi-lagi menyangkut perspektif kan?).

Di saat lain, suami saya bercerita tentang kebiasaan memasak ikan masak (Pallu Mara, masakan khas Makassar – terbuat dari ikan yang dimasak dengan cara direbus dengan air asam, kunyit, dan diberi bumbu bawang merah dan bawang putih) di keluarganya. Ada perspektif di keluarganya yang menilai cara masak dengan membanyakkan kuah, berarti kikir. Sehingga dalam keluarganya, masakan ikan tersebut tidak pernah dihidangkan ‘tenggelam’ dalam kuah. Sebaliknya, saya senang memasak jenis lauk itu dengan kuah yang melimpah karena baik saya ataupun suami menyenangi menikmati masakan itu dengan menyirami nasi banyak-banyak dengan kuahnya dan jika kuahnya habis sementara ikannya belum habis, saat dihidangkan di waktu makan berikutnya masakan itu serasa berkurang kenikmatannya terkecuali jika saya kembali memasak khusus kuahnya saja. Dan tentu saja, itu sama sekali tidak praktis. Meskipun suami saya telah menceritakan adanya perspektif tersebut, jika seandainya suatu ketika cara saya masak dikomentari, mungkin saja saya meradang, dongkol. Karena itu adalah reaksi wajar saya dari komentar negatif akan suatu hal yang sebenarnya relatif (tidak ada ukuran benar-salahnya). Komentar negatif akan membuat seseorang merasa disalahkan atau membuat seseorang terpaksa merasa bersalah. Padahal atas nama perspektif, kebenaran itu sering kali tergantung pada masing-masing individu dan bisa saja (dan sah-sah saja) berbeda. Tidak ada hadiah ataupun sanksi atas ‘kebenaran’ dan ‘kesalahan’ yang terjadi ...

Suatu ketika di saat saya dan suami sedang nonton TV, ada selingan iklan obat batuk. Dalam iklan itu, seorang ibu memuji menantunya yang memberikannya obat batuk mungil dengan harga terjangkau: Rp. 5.000,-. Kata ibu itu, menantunya hemat. Saya tertawa geli setelah melihat tayangan iklan itu karena tiba-tiba terlintas di benak saya perspektif lain. Saya berkata pada suami saya, “Kalau mertuanya baik, selalu berpikiran positif, ia pasti mengatakan hal itu. Mertua lain mungkin tidak, menantu seperti itu mungkin dinilai kikir, ngasih obat koq yang ukurannya kecil, bukannya besar. Sudah tentu karena harganya lebih murah ... !“. 

Saya teringat berita di TVRI Makassar 3 tahun yang lalu. Tentang seorang tukang becak yang ditangkap polisi karena memukuli seorang turis Jepang yang sedang mabuk. Turis dari negeri matahari terbit itu rupanya ingin mencoba mengayuh becak dan karena sedang mabuk, tindakannya jadi tidak terkontrol. Tukang becak yang memiliki rasa ‘kebangsaan’ yang tinggi itu merasa tersinggung. Dengan dalih bangsa lain tidak boleh membawa becaknya karena ini tanah air Indonesia, ia memukul turis malang itu. Jangan coba-coba berusaha memahami sudut pandang si tukang becak walau pada kenyataannya begitulah perspektifnya (karena Anda mungkin takkan pernah bisa memahaminya). Yang jelas karena menyikapi perspektifnya dengan tindak pemukulan, ia terpaksa harus berurusan dengan yang berwajib ...

Makassar, Desember 2005


Share :

0 Response to "Tentang Perspektif"

Post a Comment

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^