Yang Pertama Adalah yang Terbaik - “Siapa di sini yang sudah dua kali menikah?” tanya seorang kawan cowok yang duduk di samping saya kepada teman-teman cowok lainnya pada sebuah pertemuan reuni. Dia sendiri sudah dua kali menjalani pernikahan.
“Heh, ndak usah pengaruhi
orang!” saya mendelik kepadanya.
“Tidak ji … tidak.
Cuma mau bilang bahwa yang pertama itu selalu yang terbaik,” ujarnya – entah untuk
berkelit dari delikan saya atau memang dia jujur mengatakan itu.
“Oh begitu, ya?” tukas
saya.
“Iya. Jadi jangan mi menikah
lagi,” dia menegaskan.
Jadi ini ceritanya … sebuah
penyesalan yang tersirat? Entahlah. Saya melihat juga ada kerabat yang setelah
diduakan, ternyata suaminya tidak tenang juga dengan istri kedua. Dari sisi
saya – bukan karena membela si kerabat, menurut saya tidak ada kesalahan fatal
dari istri pertama yang membuatnya harus menikah lagi.
Kerabat saya itu rela melepas KB-nya di usia kepala 4 agar bisa memberi anak lagi pada suaminya tapi kan sebenarnya butuh pengondisian juga. Bukan serta-merta dilepas sebulan langsung “isi”. Lagi pula setelah belasan tahun berumah tangga kok ya kenapa tidak bilang-bilang mau menambah anak lagi. Dulu suaminya adem-ayem saja. Aman sentosa dengan 1 anak.
Sampai tiba-tiba dia punya
kebiasaan nongkrong dengan sejumlah bapak di perempatan dekat rumah
mereka. Entah apa saja yang mereka obrolkan di sana. Yang jelas, “hasil” yang
nampak dari pertemuan para bapak itu adalah akhirnya kebanyakan dari mereka
menambah istri.
Alasan ingin punya anak
lagi kadang rasanya berlebihan, ya mengingat ketika anaknya baru satu, belum
tentu si bapak ngurusin anaknya. Untuk kasus kerabat ini, bahkan pergi
sekolah, dia tidak repot kok mengantar anaknya ke sekolah. Bahkan urusan
beli buku, dia tidak ambil pusing. Suatu ketika, suami saya yang mengantar
anaknya keliling mencari buku cetak padahal dia ada di rumah.
Kalau saya perhatikan,
untuk sejumlah laki-laki, jumlah anak dianalogikan dengan kejantanan. Aneh saja
soalnya jumlah anak itu hak prerogatif Tuhan kan, kenapa dengan rendah dianalogikan
dengan kejantanan?
Makanya saya sewot kalau
ada yang anaknya satu lalu ada yang berkomentar padanya, “Kenapa cuma satu?
Kenapa tidak tambah lagi?” Paling ngaco kalau ada yang mengusulkan untuk
tambah istri. Lha, kalau yang dipengaruhi bisa amanah dan adil dengan
istri lebih satu masih mending. Kalau tidak? Piye?
Seperti kasus kerabat itu, pada beberapa kesempatan saya mengantarkan titipan orang berupa zakat karena kehidupannya yang cukup menderita waktu itu. Pada saat seperti ini, di mana orang-orang yang dulu memengaruhi suaminya menikah lagi itu? Adakah yang memberi bantuan? Tidak ada! 😤
Sebenarnya masih banyak
cerita lain tentang mereka tapi saya tidak ingin lagi menceritakannya. Setelah
sekian tahun berlalu, barulah terlihat indikasi laki-laki itu menyadari bahwa
istri pertamanya lebih baik daripada istri keduanya tapi sudah terlambat karena
dia sudah mendapat dua anak dari istri keduanya.
Istri pertama tak menuntut cerai, pun tak menuntut suaminya untuk pulang ke rumah padahal hari-hari suaminya dihabiskan dengan keluarga barunya, tidak pernah lagi bersama keluarga pertamanya.
Apakah kerabat saya sebagai
istri pertama bersedih? Ya, pada awalnya. Lama-kelamaan dia mampu
mengikhlaskan. Saya kagum dengan keikhlasannya. Namun demikian satu saja yang
dia harapkan, yaitu agar suaminya mampu bersikap adil – yang pada kenyataannya
tidak mampu dipenuhi oleh sang suami karena sedemikian “dikuasai” oleh pihak
sebelah.
Masih ada kisah yang serupa tapi tak sama. Pengakuan dari sang suami mengenai betapa baiknya mantan istri terlontar. Menurut sang mantan, suaminya berselingkuh sedangkan menurut suami dia hanya ingin mendapatkan anak lagi. Di kehidupan barunya, sang suami mendapatkan ujian - semoga saja dia berhasil melewatinya dengan baik.
So, kawan … berhati-hatilah melontarkan
pendapat pada seseorang. Jangan sampai apa yang kau katakan kelak berdampak
besar bagi seseorang itu. Kalau dampaknya bagus, dirimu ikut mendapatkan
kebaikan berupa amal kebaikan tetapi kalau apa yang kau katakan berdampak
buruk? Hasilnya berupa dosa. Dosa yang “tak perlu” sebenarnya karena diperoleh
dari seloroh tak berarti. Tak ada keuntungan duniawi yang kau peroleh dari
seloroh itu.
Terakhir, mari doakan para
perempuan yang sedang berjuang dalam kehidupannya yang kini timpang karena sang
suami sudah punya sayap baru dan lebih sibuk dengan sayap barunya itu – semoga mereka
tangguh dan mampu melewati semua ujian kehidupannya dengan baik.
Makassar,
21 Agustus 2022
Share :
Ehm begitu, ya, memang prinsip sekali nikah seumur hidup harus dipertahankan karena bagaimana pun yang pertama lebih baik daripada yang selanjutnya. Sekali cinta rasanya harus dipertahankan kalau gini, mah. Terima kasih informasinya!
ReplyDeleteMenyampaikan pendapat apalagi untuk urusan yang kompleks seperti rumah tangga kudu hati-hati ya. Pelajaran ini buat saya kedepannya
ReplyDeleteYa, memang harus mencari circle pertemanan yang sesuai yaa, kak Niar.
ReplyDeleteGimana mau bilang circle pertemanan yang "bener" karena sejatinya menikah lagi itu dalam Islam diperbolehkan.
Jadi memang dilematik kalau sudah berkaitan dengan pertemanan ini.
Yang pasti, mereka sangat mewarnai kehidupan seseorang sehingga Rasulullah bilang kalau mau mengenal seseorang, lihatlah siapa teman-temannya.
MashaAllah~
Semoga kita terhindar dari bahaya teman-teman yang membawa kepada pengaruh yang menjauhkan diri dari Allah.
paling sebel urusan anak dan istri kedua dijadikan bahan bercandaan
ReplyDeletekayak ga ada omongan lain aja :(