Diskusi Inspirasi BaKTI: Merawat Semangat Perjuangan Perempuan (3)

Lanjutan dari tulisan sebelumnya (tulisan ini tulisan ke-5)

Rasanya masih ingin cerita banyak hal, tapi mikrofon sudah harus saya berikan kepada Puang Anja. Puang Anja menceritakan tentang bagaimana mulanya ia menjadi aktivis. Menjelang usia 20 tahun pernikahannya, ia dikagetkan dengan kedatangan ibu mertua sang suami ke rumahnya. Ibu mertua? Ibu dari ... yup, ibu dari perempuan lain. Ibu dari madunya!

Bagaikan disambar petir di siang bolong rasanya. Namun Puang Anja menata hatinya, menunggu suaminya bangun dari tidur siangnya dan memberitahukan baik-baik mengenai kedatangan tamu yang tak diundang itu.

Puang Anja tak tinggal diam. Ia mencoba memperjuangkan haknya. Ia merasa rumah tangganya selama ini baik-baik saja. Rumah tangga yang bahagia dengan 4 anak. Tak pernah ada pertengkaran namun tiba-tiba saja ia harus berbagi.

Ibunda yang ditempatinya mengadu hanya berkata, “Itu biasa, Nak. Terima saja.”

Foto: Abby Onety
Biasa? Iya, hal itu biasa dalam adat Bugis. Mendengar ini barulah saya mengerti mengenai kodrat yang dibentuk oleh budaya. Sebagai laki-laki bangsawan yang kedudukan “kebangsawanannya” lebih tinggi daripada Puang Anja, suaminya berhak kawin lagi. Jadi, ukurannya adalah “status sosial”.

Puang Anja melaporkan suaminya ke kepolisian. Ia meminta surat nikah suaminya dengan istri keduanya diusut. Kalau di surat nikah itu tertulis statusnya sebagai “duda” maka surat nikah itu palsu karena Puang Anja – istri pertamanya masih hidup. Suaminya PNS, jadi ia bisa saja menuntutnya dengan cara demikian.

Namun akhirnya Puang Anja mengalah ketika anaknya terlihat tak rela dengan proses hukum yang tengah dialami orang tuanya. Demi anak-anaknya, ia rela mengalah. Tak apalah ia dimadu asalkan kebutuhan anak-anaknya tetap terpenuhi. Untuk melipur lara dan berkehidupan yang lebih baik, Puang Anja merantau dari Wajo ke Pare-Pare. Di Pare-Pare ia belajar banyak. Dari ibu rumah tangga biasa yang sehari-harinya diantar sopir pribadi ke mana-mana, ia mulai naik angkot, ia belajar tentang pemberdayaan perempuan, menjadi aktivis, kemudian anggota DPRD. Misinya adalah: membawa pesan bahwa perempuan harus kuat secara ekonomi.

Puang Anja adalah potret perempuan pembelajar yang berdedikasi tinggi. Reses baginya adalah tiap hari. Dua puluh empat jam pintunya terbuka untuk warga (konstituennya) yang membutuhkannya. Kalau ada yang melapor belum mendapatkan bantuan, ia langsung menguruskannya. Tak heran kalau semua konstituennya mendapatkan bantuan. Puang Anja rajin mengikuti rapat di Banggar (Badan Anggaran), menganalisis anggaran dengan seksama dan kritis, mengawal anggaran dari Banggar sampai ke Komisi, mencari tahu di bagian mana di pemerintahan (kementerian) ada bantuan bagi warga miskin, dan mengupayakan bantuan itu sampai kepada konstituennya.  

Ia juga menceritakan bagaimana pola hubungan yang ia bangun selama ini dengan SKPD dan anggota dewan lainnya. Satu hal yang selalu diperhatikan Puang Anja dalam menganalisis anggaran, yaitu: ada anggaran untuk perempuan. Ia juga memperhatikan apakah program yang akan diluncurkan itu responsif gender atau tidak.

Diskusi ini menarik sekali. Kebanyakan peserta bertanya kepada Puang Anja. Namun moderatornya – Kak Luna, dengan cergas tak membiarkan saya dan Tante No terlalu lama bengong. Ada saja idenya untuk membuat kami juga berbicara.

Sumber: Abby Onety
Ketika ditanyakan mengenai kesulitan apa yang dirasakannya ketika memperjuangkan perempuan, Tante No bercerita tentang perempuan yang suaminya berhasil dijebloskan ke penjara karena melakukan KDRT.

“Dia datang dengan muka babak belur, minta dibantu. Begitu suaminya masuk penjara, baru satu minggu dia datang menangis-menangis. Katanya, ‘Kasihan anakku, Tante No, ndak ada bapaknya. Kasih keluar mi bapaknya.’ Saya bilang, ‘Ah bukan anakmu, Kamu yang kasihan!’ Jadi saya menghadap ke polisi. Polisinya bilang, ‘Ah, bukan anaknya itu Tante No. Mamanya ji yang menangis!’ Lain kali jangan moko bawa orang ke sini kalo begini ji, deh Tante No!” paparan Tante No membuat seisi ruangan tertawa.

Susah ya, untuk membuat efek jera seperti ini saja rupanya tidak selalu mudah. Tak semua perempuan ingin dibantu.

Sifaun Nisa – mahasiswi yang bergabung dengan IIDN Makassar bertanya mengenai bagaimana menghadapi kritik terhadap tulisan yang dibuatnya. Tulisan itu dianggap “terlalu keras”. Saya menjawab, “Pegangan kita adalah nilai-nilai yang berlaku di masyarakat dan karakter kita. Periksa apakah ada orang yang dirugikan/disakiti atau tidak. Saya sebenarnya orang yang takut berkonflik dengan orang lain tapi kadang-kadang saya mengkritik kalau saya menganggap ada hal yang harus saya suarakan.”

Tante No (tengah, berjilbab hitam). Puang Anja, paling kanan (berjilbab oranye)
Foto: Abby Onety
Menjelang penghujung diskusi, saya menghimbau siapa pun untuk menulis menyebarkan manfaat. Tak usah muluk-muluk, di media sosial saja. Menulis pun sebenarnya bisa jadi solusi dalam memecahkan persoalan. Saya pernah mengalaminya. Seorang mahasiswa juga pernah mengalaminya. Mahasiswa itu mengirim surat langsung kepada bupati Gowa mengenai kemelut yang tengah berlangsung di sebuah pasar tempat ayahnya berdagang. Alhasil, ada penyelesaian dan ayahnya mendapatkan kios di sana padahal mahasiswa itu tak punya koneksi sama sekali, juga tak berkerabat dengan bupati. Ia sendiri yang datang langsung ke kantor bupati memberikan suratnya.

Mudah-mudahan saja, setelah ini, para peserta yang hadir tak ada lagi mengatakan, “Menulis ji? Bisa apa sih, dengan menulis?” karena saya sudah sedikit bercerita dan membuktikan bahwa dengan menulis, perempuan juga bisa memberdayakan diri dari rumahnya. Menulis sebenarnya mudah, tak butuh bakat. Yang penting mau berusaha mengasah diri. Menulis itu keterampilan yang bisa dilatih. Kalau Puang Anja dan Tante No berjuang di luar rumahnya, mudah-mudahan dengan ini saya bisa membuktikan kalau perempuan pun bisa berjuang dari dalam rumahnya, dengan menulis ... seperti yang dilakukan Kartini.

Makassar, 8 Mei 2015

Terima kasih sebesar-besarnya kepada BaKTI, telah memberikan kesempatan kepada saya untuk bercerita pada Peringatan Hari Kartini bertajuk Merawat Semangat Perjuangan Perempuan pada tanggal 30 April lalu.


Selesai


Share :

3 Komentar di "Diskusi Inspirasi BaKTI: Merawat Semangat Perjuangan Perempuan (3)"

  1. Jiiiiahahaaa... aku di peyuk Puang Anja, asyikkk'eee . moga ketularan inspirasix

    ReplyDelete
  2. .jangan sedih perempuan banyak masalah :)

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^