Ada Apa Antara Jurnalisme Warga Biasa dan Profesional?

Beberapa waktu yang lalu ada berita  “Ibu Asyik Dengan BBM, Bayi Meninggal Tertimpa Bantal” (http://tekno.kompas.com/read/2011/09/30/2214196/Ibu.Asyik.dengan.BBM..Bayi.Meninggal.Tertimpa.Bantal) di media kompas dot com yang merupakan hasil ‘hybrid’ dari berita serupa di Kompasiana.com. Oya, Hybrid di sini adalah: artikel Kompasiana ditempelkan pada wall Facebook Pepih for Hybrid Journalism Project.(http://www.facebook.com/HybridJournalism). Selanjutnya kang Pepih Nugraha (managing editor di Kompas.com) akan meng-hybrid tulisan tersebut dengan cara meringkas, menulis ulang dan re-titling (memberi judul ulang). Dalam tulisan hybrid Kompas.com tersebut, nama penulis akan disebut sebagai sumber tulisan ‘jurnalis warga’, plus kata-kata rujukan ‘informasi selengkapnya silakan lihat di sini’, yang mengarahkan kembali (bounce-back) hasil hybrid tulisan Anda di Kompas.com ke link tulisan asli Anda di Kompasiana. Tulisan hasil hybrid di Kompas.com juga dilengkapi dengan link-link rekomendasi Facebook, twitter dan sebagainya. Disediakan juga kolom komentar (dari artikel yang ditulis mbak Nadia (http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2011/10/08/jurnalisme-hybrid-sinergi-manis-kompasiana-kompascom-dan-facebook/).

Cuplikan berita itu adalah:
BANYUMAS, KOMPAS.com — Keasyikan chatting lewat BlackBerry Messenger (BBM) memang sering menyita waktu dan membuat banyak orang yang lupa diri. Bahkan, bisa berakibat fatal kalau sampai membuat lalai dengan keadaan di sekitarnya. Di Baturaden, Banyumas, saat asyik ber-BBM ria, seorang ibu melalaikan bayinya sehingga tewas tertimpa bantal. Peristiwa tragis ini diceritakan oleh seorang Kompasianer dengan nama pena Titi dalam tulisannya di Kompasiana, Jumat (30/9/2011) siang tadi.
Menurut cerita Titi, peristiwa itu terjadi sekitar pukul 11.45 tadi. Saat bapak dari bayi tersebut pulang dari tempat kerja untuk melaksanakan shalat Jumat, ia mendapati sang bayi sudah lemas dan tak bersuara seperti biasa. Sementara sang ibu tengah asyik menggunakan BlackBerry-nya di ruang tamu. Seketika itu juga sang bapak melarikan bayinya ke klinik untuk memeriksakan keadaan bayinya.
Namun malang, bayi itu sudah tidak bernyawa lagi walau masih terasa hangat. Hasil pemeriksaan dokter, jantung bayi itu tak lagi berdetak, tidak ada suara paru, serta dipastikan pupil dari kedua matanya yang sudah melebar atau midriasis dan tidak adanya refleks cahaya dari pupil mata itu. Ini adalah salah satu tanda pasti kematian karena rileksnya otot siliaris pupil dalam bola mata.
"Saat datang ke klinik kami, bapak ini membopong bayinya didampingi sang ibu yang masih menggenggam BlackBerry-nya itu. Setelah dokter menjelaskan semua keadaan yang ada, spontan sang bapak merampas BB istrinya itu dan melemparkan ke tembok klinik hingga hancur berantakan," tulis Titi.
Cerita miris tersebut langsung mendapat banyak tanggapan dari pembaca Kompasiana. Hanya dalam hitungan jam sejak diunggah sekitar pukul 12.00, tulisan itu sudah dibaca lebih dari 60.000 kali dan ada 75 komentar sampai pukul 22.00. Rata-rata dari komentar itu mengingatkan kembali kepada semua orang agar tidak lalai menggunakan teknologi.
Ada yang menyalahkan sang ibu. Tetapi, ada juga yang tetap bersimpati dengan peristiwa yang menimpa keluarga tersebut. Bagaimana trauma psikologis sang ibu saat disalahkan oleh suami sebagai penyebab kematian anaknya.
"Inalilahi wa innailaihi rojiun…. Semoga ayahnya diberi ketabahan dan ibunya mendapat pelajaran yang berharga...," demikian salah satu komentar.
Di antara pembaca, ada pula yang menyangsikan cerita Titi, bahkan menuding sebagai hoaxkarena tidak disertai rincian lokasi kejadian dan korban. Namun, menurut Titi, menjadi hak tempatnya bekerja untuk merahasiakan data pasien, kecuali untuk kepentingan penyelidikan hukum. Adapun Titi merupakan salah satu penulis di Kompasiana yang akunnya terverifikasi.
Silakan baca berita selengkapnya di Kompasiana.
            Baru saja (23 November 2011) ada tulisan dari seorang jurnalis profesional: Media Massa Harus Ingat Kode Etik Jurnalistik(http://media.kompasiana.com/new-media/2011/11/23/media-massa-harus-ingat-kode-etik-jurnalistik/?ref=signin) Ia menggugat berita Kompasiana serupa berita di atas yang menurutnya tidak akurat karena tidak ada fakta yang bisa dimunculkan. “Kalau memang akurat, kan ada korban, harusnya ada laporan kepada pihak kepolisian dan lurah setempat,” begitu kira-kira bahasannya.
            Lantas ia menuliskan:
Karena saat ini sedang menjadi polemik, apakah si penulis asli orang yang asli, dengan tulisan yang asli atau bukan?  Langkah yang harus dilakukan Kompas.com adalah segera melakukan investigasi khusus ke lokasi kejadian. Saya harap hal ini segera dilakukan. Supaya kebenaran kasus ini bisa terbukti. Sangat disayangkan, jika media sebesar Kompas Grup tidak mendapat kepercayaan dari masyarakat karena kasus ini.
Saya juga berharap, agar Kompas.com berhati-hati dalam memuat berita yang berasal dari Kompasiana. Karena kemudahan dalam memasukkan data, kemudahan dalam memposting tulisan, kadang tidak disertai dengan kejujuran penulisnya. Kalau memang tulisan si kompasianers tersebut bohong, Kompas Grup, khususnya Kompas.com harus memberi klarifikasi.
            Saya tergelitik memberikan komentar demi membaca tulisan itu. Berikut komentar saya pada tulisan itu:
Salam kenal mbak
Saya sebagai seorang ibu yang sangat awam, mencoba mengajak kita semua untuk berjernih hati.
Khusus untuk kasus Bayi Meninggal Karena Ibu yang BBM-an ini, mari kita lihat hal-hal  ini:
Jika memang kasus ini ada, saya berharap tak menjadi besar karena ada pihak yang hendak membongkar keakuratannya dengan menyelidikinya kepada kepolisian dan lurah setempat.
Karena, jika sampai polisi berpikir harus turun tangan karena memandang ini sebagai suatu kelalaian yang harus dihukum. SIAPA YANG MAU BERTANGGUNG JAWAB AKAN PENDERITAAN BERIKUTNYA DARI IBU DAN AYAH SANG BAYI?
Jika berasumsi kasus ini nyata:
Saya yakin, ayah dan ibunya akan sama2 sangat menyesal atas peristiwa ini. Penyesalan itu akan mereka bawa MATI. Bisa jadi sekarang ini mereka tengah berdamai, berusaha melupakan yang trjadi (meski tak mungkin) dengan berserah diri kepada Yang Maha Kuasa. Itu makanya tak ada laporan di polsek setempat.
Nah, kedamaian mereka tentu akan terusik dengan munculnya pihak kepolisian atas nama hukum. Si ibu harus dibui dan si ayah harus menjadi saksi. Sekarang, menghadapi hal spt ini, sekali lagi .. siapa yang akan bertanggung jawab kepada kedua orang ini atas masalah hukum yang timbul?
Saya sebagai ibu yang sangat awam, bersyukur adanya pemberitaan spt ini membuat saya dan ibu2 lain semakin berhati2 dalam memanfaatkan teknologi agar tak lengah memperhatikan buah hati kami. Saya kira kompasianer ybs pun demikian, hanya bermaksud sharing supaya tak ada kejadian serupa lagi.
Betapa banyak ibu yang BBM-an ketika bayinya sedang tidur tetap bayinya masih sehat hingga kini meski ada celah kelengahan besar yang dibuat oleh ibu2 itu. Betapa malangnya ibu ybs karena kelengahannya membuat takdir Allah jatuh padanya sehingga ia yang menjadi pengingat bagi kita2 yang selamat ini, bukannya kita yang kehilangan buah hati kita.
Saya harap, dlm menghadapi hal apapun (bukan hanya kasus bayi meninggal ini) Kompasiana.Com, Kompas.Com, para Kompasianer, dan juga para jurnalis profesional arif dan bijak dalam hal ini. Tidak hanya mempergunakan mata akal dan mata lahirian saja tetapi juga menggunakan mata batinnya.
Salam dari ibu yang sangat prihatin dan simpati kepada siapa pun ibu yang mengalami hal serupa kasus bayi meninggal di atas. Maafkan saya harus berterimakasih karena ironi kisah ibu menjadi pengingat bagi saya dan juga bagi ib-ibu lain di seluruh Indonesia. Semoga hidup ibu ke depannya menjadi lebih baik. Semoga tak ada orang berpakaian polisi yang datang menggelandang ibu ke kantor mereka. Kalau itu sampai terjadi, saya akan menangis untuk ibu.
Salam dari saya yang sangat awam dan bodoh ini.
            Haduh, saya tak pernah beranggapan tulisan tentang ibu yang main BBM itu fiktif. Makanya saya menanggapi secara hati nurani seperti itu dengan mencoba bersimpati kepada ibu yang menjadi pelaku sekaligus korban (kalau ini nyata)
Lalu, ada tanggapan dari seorang kompasianer atas tanggapan saya:
Semoga kasus itu memang tidak nyata, jadi tidak akan ada polisi yang datang ke rumah ibu/orangtua yang malang itu. seperti halnya kasus “jarum pentul” dan “penilaian yg salah” yg diposting orang yang sama.
Namun bila kasus itu nyata: yang pertama bermasalah adalah yang posting kisah itu. sebagai “jurnalis” (sekalipun jurlis warga), mestinya mendengarkan hati nurani sebelum posting. apa dampak yang akan terjadi bila informasinya dipublish? untuk kasus bayi BBM ini, bila memang benar terjadi, karena info ini sudah menyebar kemana2, jurnalis dan aparat setempat mungkin tdak akan tinggal diam. langsung ke tempat kejadian dan meliput/melakukan olah TKP. nyatanya sampai sekarang kita tidak pernah mendengar kelanjutan ceritanya kan? indikasinya kuat bahwa itu hoax. ketika diklarifikasi, yg bersangkutan menulis berita itu malah muter2.
mau menyebarkan kisah untuk mengambil hikmah boleh aja. karang aja kisah yg inspiratif, dan posting di kanal fiksi. jangan di kanal lain.
hoax tetap hoax. dan yg mempublishnya seolah2 itu kisah nyata bertanggung jawab karena melakukan pembohongan publik.
Banyak pelajaran yg bisa diambil dari kasus ini.
“Bukankah untuk alasan keamanan, untuk alasan etika, media berhak menyembunyikan nara sumber/data-datanya? Sah-sah sajakan mereka tak menyebutkannya?” Begitu pikir saya. Saya jadi kasihan kepada kompasianer yang bersangkutan, sekarang tudingan hoax mengarah kepada dirinya. Kompasiana jadi belati bermata dua bagi kompasianernya.
Di bagian akhir tulisan, sang jurnalis menuliskan:
Karena berita yang diturunkan itu, sudah menjadi bacaan publik, bahkan mungkin merugikan pihak tertentu. Apalagi di berita tersebut, juga disebutkan nama merek suatu produk. Saya hanya ingin Kompas Grup yang selama ini sudah besar tetap mendapat kepercayaan dari pembacanya. Bukan lancung ke ujian, seumur hidup tak dipercaya……Tabik….
Hei ... pandangan saya tertuju kepada kalimat, “Apalagi di berita tersebut, juga disebutkan nama merek suatu produk.” Apa ini juga menyangkut tulisan saya mengenai Ayam Goreng Bau di Restoran Terkenal itu? Wah .. kalau itu bukan fiksi Bu, saya hanya menuliskan apa yang saya lihat dan rasakan. Bisa diperiksa tulisan saya, walau awalnya saya menyebut nama restorannya, kemudian saya menyamarkannya supaya tidak muncul komentar panjang yang menghujat merek tertentu. Atau .. apakah saya harus menuliskan mereknya? By the way, kerabat yang menyelenggarakan pesta di situ juga sudah membuat surat pembaca di sebuah media cetak yang juga ditayangkan online di McDonald MaRI Makassar Jual Ayam Basi.
 Pfuuh panjang sekali polemik yang muncul ternyata, saya mengamati ada beberapa tulisan yang menyangkut pro dan kontra kepada kompasianer yang menulis tentang bayi yang meninggal itu. Namun ada satu komentar yang menarik perhatian saya di Aku, Titi, dan Barisan Sakit Hati  (http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2011/11/23/aku-titi-dan-barisan-sakit-hati/):
Saya hanya tanya satu saja kepada Mba Titi, bagaimana jeda waktu 21 menit yang Mba Titi pakai untuk merealese artikel tragedi bayi mati karena ibunya asyik BBM-an untuk Kompasiana ini. itu saja.
Klarifikasi Mba Titi masih saya tunggu.
Saya masah bodoh amatlah kompasianer itu harus “terverifikasi” atau tidak, untuk apa di pusingin. Yang penting itu kan tulisannya daripada orangnya.
Nah, untuk artikel Mba Titi yg saya tanyakan jeda waktunya, saya sengaja pertanyakan karena kok tidak relevant dengan tugas Mba Titi sebagai petugas Klinik yg harus menolong pasien dalam keadaan darurat, sementara Mba Titi malah asyik kirim artikel dan beri komentar kepada kompasianers sampai sore.
Jadi terkait masalah tanggung jawab profesi seorang petugas klinik dan pasien.
itu saja.
Saya kira kompasianer yang bersangkutan perlu menjawab hal itu (atau tidakkah? Tau ah  ... soalnya saya juga jadi penasaran he he he).
Demikian juga harapan saya pada pihak kompasiana dot com dan kompas dot com. Bersediakah para admin menjadi wasit dalam polemik ini? Agar jelas bagi saya yang awam dan bodoh ini dan mereka yang membutuhkan kejelasan mana yang benar/boleh dan salah/tidak boleh dalam jurnalisme warga biasa (citizen journalism) ini.
Salam jurnalisme warga biasa.
Makassar, 23 November 2011

Catatan: Sudah ada klarifikasi dari admin Kompasiana dalam hal ini, bisa dibaca dalam tulisan berjudul "Belajar dari Tamparan Seorang Kompasianer".

Silakan dibaca juga:






Share :

3 Komentar di "Ada Apa Antara Jurnalisme Warga Biasa dan Profesional?"

  1. waaa.... jadi polemik seperti itu...
    saya juga pernah baca berita itu di salah satu socmed, waktu itu terpikirnya memang cuma sebagai pengingat kita agar tidak lalai saja...
    Tapi ternyata di siana malah jadi panjang ya bu? wew...
    mudah2an kompas sebagai bisa menengahi dan semuanya jadi jelas :)

    ReplyDelete
  2. Akhirnya kasus ini 'ditutup' juga miss 'U.
    Bisa dibaca di tulisan saya:

    Belajar dari Tamparan Seorang Kompasianer
    (http://mugniarm.blogspot.com/2011/11/belajar-dari-tamparan-seorang.html)

    ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, saya baru tahu kelanjutan kasus ini dari tulisan Belajar itu...Kebetulan saya juga tertarik pada fenomena tulisan Titi tersebut http://khazanahpikir.blogspot.com/2011/10/citizen-journalism-sharing-in.html?showComment=1328113838165#!/2011/10/citizen-journalism-sharing-in.html

      Terus terang saya kurang bisa update berita Kompasiana karena pergerakannya terlalu cepat sementara waktu saya sangat sedikit. Terima kasih sudah ditulis di blog ini juga sehingga saya jadi tahu kisah sebenarnya. Benar-benar tamparan bagi kita yang ingin berbagi dengan tulus... (walaupun sebenarnya isi beritanya memang bisa menggugah para ibu untuk tidak kecanduan BB, tapi tetap saja itu bukan berita...)

      Delete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^