Refleksi Kurikulum Merdeka: Jika Ada yang Enggan, Apakah Harus Dikendorkan?

Refleksi Kurikulum Merdeka: Jika Ada yang Enggan, Apakah Harus Dikendorkan? - “Ma, temanku tidak mau bantu mengerjakan tugas,” anak gadisku yang saat itu duduk di kelas XI merajuk. Athifah kemudian bercerita tentang sejumlah temannya yang tidak mau membantu mengerjakan tugas kelompok. Hampir setahun kejadian ini berlalu tetapi masih saya ingat. Betapa Kurikulum Merdeka mengajarkan banyak hal kepada putri saya dan kepada saya sebagai orang tua.

Sekolah putri saya adalah sebuah SMA negeri di Makassar yang menerapkan Kurikulum Merdeka. Beberapa tugas dikerjakan secara berkelompok. Athifah kerap kali ditunjuk guru dan kawannya untuk menjadi ketua kelompok. Sebenarnya dia tak berkeberatan selama teman-temannya mau mengikuti arahannya dan mau bekerja sama mengerjakan tugas. 


Jika Ada yang Enggan

Sayangnya, tak demikian respon sejumlah temannya. Mereka justru berlaku acuh tak acuh dan tidak mau berpartisipasi sama sekali. Ada yang tidak mengemukakan dalih sama sekali. Ada pula yang mengharap belas kasihan dengan mengatakan dirinya tak punya uang karena orang tuanya tak memperhatikannya.

“Padahal dia ke sekolah pakai make up, Ma. Masa tidak ada uang untuk tugas sekolah tapi punya uang buat beli alat make up?” cerita Athifah tentang salah satu temannya yang mangkir. Saya sampai mengingat dengan baik nama kawannya ini karena setiap cerita sepulang sekolah yang dibawa Athifah tentangnya adalah seputar make up-nya yang belum cocok untuk anak sekolah.

Jangankan Athifah, saya sendiri pun pernah merasa tidak sreg. Pasalnya saat mengerjakan tugas yang harus di-print untuk tugas kelompok, ada teman sekelompoknya yang tidak mau membayar uang urunan padahal hanya 5000 rupiah saja tiap anak. Diminta mengerjakan tugas-tugas kecil, anak itu tak mau mengerjakan. Wajar saja jika putri saya merasa terusik.

Sementara kami sebenarnya tak memiliki mesin printer, jadi suami saya yang harus membawa file ke tempat usaha jasa cetak, menungguimya, lalu kemudian membawakannya ke sekolah Athifah. Itu pun pak suami tidak berangkat dari rumah karena harus mengantarkan anak bungsu kami ke sekolahnya terlebih dulu. Letak sekolahnya pun jauh, sekitar 9 km dari rumah.

Bukan perkara nominalnya, anak-anak yang tidak mau bayar itu perlu diajarkan adab agar lebih menghargai proses panjang yang seharusnya mereka terlibat di dalamnya tetapi mereka tak mau melakukannya.

Beberapa kali putri kami curhat, saya mendengarkannya. Membiarkannya meluapkan rasa dahulu sebelum berkomentar. Saya meminta penjelasan, sudah sejauh apa dia bertindak sebagai ketua kelompok. Suatu ketika Athifah mengungkapkan bahwa dia sudah cukup mendekati kawan-kawannya, menawarkan tugas lain yang mungkin lebih ringan dikerjakan tetapi kawannya tak mau. Di waktu lain, dia memang belum melakukan apa-apa, baru hendak curhat dulu kepada ibunya.

Jika saya pikir upaya Athifah sudah cukup maksimal namun temannya yang kurang peka, saya katakan padanya, “ Tidak apa. Coba dikerjakan dulu yang bisa Athifah kerjakan. Kalau Athifah banyak mengerjakan tugas tidak apa karena nantinya Athifah akan belajar banyak hal. Hal-hal yang dipelajari akan bermanfaat buat diri Athifah sendiri. Sedangkan teman yang tidak mengerjakan tidak belajar apa-apa.

Putri kami pernah sampai mencoret nama kawannya yang benar-benar tidak mau bekerja sama. Ketika guru bidang studi menanyakan mengapa nama kawannya tak ada, Athifah menjelaskan dengan detail apa penyebabnya. Langkah lain yang saya lakukan adalah memberitahukan tentang anak-anak yang tidak mau bekerja sama kepada wali kelas. Harapannya, wali kelas akan lebih jeli menyikapi anak-anak seperti itu.

Saya menyimpulkan, Kurikulum Merdeka akan menyenangkan bagi semua anak jika semua orang tua secara kondusif peduli dan memfasilitasi kebutuhan anak mereka. Sayangnya, pada praktiknya tidak demikian karena memang ada orang tua yang acuh tak acuh dengan proses pembelajaran anaknya. Ada juga anak yang sudah tak beribu atau/dan berayah. Anak seperti ini tinggal dengan kerabatnya dan kurang diperhatikan kebutuhan pendidikannya.

Sebagai orang tua, kami mengamati ketika Athifah menjalankan perannya sebagai ketua kelompok, mendengarkan keluh-kesahnya, dan membantu memfasilitasi kebutuhannya dalam menjalankan tugasnya. Kami butuh guru yang kooperatif dalam mengatasi kendala putri kami.

Ibarat bermain layangan, kami menyiapkan diri untuk menarik atau mengendorkan benang layangan. Kami hanya bisa mengontrol diri kami dan mengarahkan putri kami kepada hal-hal positif jika dia menghadapi kesulitan. In syaa Allah banyak hikmah pembelajaran yang dia peroleh kelak. Harapannya kelak karakter mandiri dan kepemimpinan bisa tertanam di dalam dirinya.

 

Makassaar, 10 Juli 2024

 

Tulisan ini merupakan penyempurnaan dari tugas yang diberikan Pak Dwi Santoso pada Pelatihan Peningkatan Kapasitas Penulisan di Jakarta, 3-5 Juli 2024.



Share :

9 Komentar di "Refleksi Kurikulum Merdeka: Jika Ada yang Enggan, Apakah Harus Dikendorkan?"

  1. Yapppp, Kurikulum Merdeka akan menyenangkan bagi semua anak jika semua orang tua secara kondusif peduli dan memfasilitasi kebutuhan anak mereka.

    sepakat bangetttt🙏 syangnya hal.ini sulit terwujud klo ortu masih pd cuek yha

    ReplyDelete
  2. Lagu lama sih menurutku. Kalau sudah urusan tugas kelompok tuh ada saja anak yang merasa enggan untuk ikut tukar pemikiran.

    Kalau adikku, sebisa mungkin aku akan memintanya untuk aktif dalam kelompok. Bila pun dia bilang bahwa harus sumbangan untuk tugas kelompok, maka aku akan berusaha memfasilitasi.

    ReplyDelete
  3. Ini memang banyaaaak terjadi. Kedua anakku juga negeri mba. Jd pernah tuh si kakak nemuin temen yg begitu juga. Tapi memang anaknya bermasalah dr dulu. Ga peduli ama sekolah. Heran kenapa msh naik kelas 😣

    Tapi aku temanin juga ke fylly, kalo temennya ga mau kerjasama, jangan masukin nama dia. Ksh tahu gurunya. Ga adil buat anak yg lain. Tugas hrs selesai, tp biarkan itu jd tugas sendiri lah. Aku pun drpd ketemu temen begitu, mending ngerjain sendiri

    ReplyDelete
  4. Beneer itu. Temennya yg ga mau bantu ngerjain tugas, ga mau urunan, ya udah ga usah dicantumkan aja namanya. Bahasa jawanya kok nyimut tenan.

    ReplyDelete
  5. sepertinya kurikulum merdeka ini mengasah anak untuk lebih aktif ya kak dalam pembelajaran..dari sini kita jadi tahu sejauh mana anak kita bener2 serius dalam belajar atau hanya asal sekolah saja

    ReplyDelete
  6. Jadi keinget semasa kuliah, itu kurang lebih sama sih ya. Namanya tugas kelompok mah pasti aja ada yang aktif, ada yang pasif, ada yang males-malesan. Kalo aku pribadi sih dulu ga masalah sama yang pasif, asalkan ada kontribusinya sekecil apapun. Ga ngerjain apapun gapapa, asal ada setor duitnya, ganti saya yang capek ngerjain tugas, hahaha.

    Tapi kalo kerja gamau, ngeprint ogah, setor duit juga ga mau. Weleh.. pas presentasi ya tak hilangin namanya. Bodoamat saya mah mau dimusuhin juga.
    Kalo memang benar dia teman, ya harusnya tahu diri sih.

    ReplyDelete
  7. soal kurikulum sekolah, memang banyak perubahan ya dari zaman aku sekolah dulu. Tapi kalau perihal kerja kelompok yang mengharuskan tiap siswa berpartisipasi, ini hampir semua dialami siswa termasuk aku.
    Memang waktu sekolah sering nemuin temen yang satu kelompok, tapi ada aja membernya yang pasif dan bahkan nggak urun ide gitu. Semuanya kayak diserahin ke anak yang rajin. sebel aja
    masih ada aja anak kayak gini, memang peran ortu perlu juga ya mbak, tapi kadang ada juga ortu yang cuek sama tugas anaknya

    ReplyDelete
  8. Langkah yang diambil sama Athifah, sudah tepat banget. Kalau ada teman yang malas ngerjain tugas kelompok dan enggan bayar patungan atau iuran buat kerja kelompok, di ajakin sudah, di kasih tugas mudah sudah tapi masih tidak mau coret saja dari nama kelompok supaya si anak belajar dan tidak menjadi pemalas seperti sebelumnya. Kasuss kayak gini emang masih sering terjadi, di jaman ku dulu pun banyak.

    Padahal di era kurikulum Merdeka ini, semua siswa dan orangtua memiliki kesempatan untuk maju lebih besar ya, selama mau maksimal usaha dan mengikuti arahan yang diberikan oleh pengajar.

    ReplyDelete
  9. Pernah berada di posisi yg sama dgn Athifah jaman kuliah dlu. Emang smua kurikulum ada plus minusnya yaa, untuk itu peran orang tua memang sangat penting buat mendampingi pendidikan anak di sekolah

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^