Kadang-kadang
saja kalau saya ingin tahu info tertentu sehubungan dengan topik tersebut, saya
langsung ke akun atau grup tertentu. Baik itu info yang pro maupun kontra pada
pilihan saya. Begini-begini saya juga pilihan sendiri dong tapi saya memilih
tidak mengumbarnya ke media sosial.
Begitu
pun di Tweet Land. Saya jarang mengamati Twitter. Biasanya sekadar share
link postingan blog, habis itu langsung menutup aplikasi Twitter. Di
grup-grup WA, yang rentan ada bahasan pilpres, share hoax, dan bahas calon
legislator (biasanya di grup keluarga), biasanya saya clear chat sebelum
membacanya. Jadi rasanya kehidupan dunia maya saya lumayan nyaman.
Namun
rupanya saya tak bisa menghindari isu seperti ini di kehidupan nyata. Bukan
soal banyaknya pemandangan poster dan baligo calon legislator (caleg) – bukan itu.
Tapi tentang seorang kerabat yang tiba-tiba menghubungi via telepon dan datang
ke rumah lalu meminta agar kami memilih kerabatnya yang jadi caleg pada tahun
ini.
Oh,
no. Ini bukan cara
yang saya suka. Kalau datang ke rumah sekadar kampanye mungkin masih oke. Tapi
ini sambil meminta tolong karena si caleg sering membantunya sekeluarga
semenjak dulu, termasuk ketika suaminya meninggal dunia. Jadi, kami diminta
untuk membalaskan budinya kepada si calon legislator yang bersangkutan dengan
memilihnya.
Oh,
tidak. Andai si kerabat ini melihat perubahan di mimik wajah saya, dia pasti
paham kalau saya tidak suka cara ini. Bagi saya, memilih caleg sama dengan memilih
presiden. Banyak yang harus dipertimbangkan.
Lalu
saya mendapat cerita “kebaikan-kebaikan” si caleg, termasuk mengadakan pesta
tahun baru bagi warga di sekitar tempat tinggalnya. Dia membuat jaket pula
untuk dibagi-bagikan. Konon sudah begitu banyak uang yang dikeluarkannya.
Ulala.
Andai kerabat saya
ini tahu, semakin banyak uang yang dikeluarkan caleg untuk hal seperti itu
malah semakin saya tak ingin memilihnya. Saya bukan orang yang bisa dipikat
dengan hura-hura ataupun barang.
Sumber: KPU |
Memang
tak dipungkiri, masih banyak masyarakat yang mau memilih sosok tertentu dengan imbalan
berupa barang atau sembako. Politik uang masih banyak, kawan. Pandangan sebagian
masyarakat kita pun masih melihat, apa bentuk nyata yang sudah dilakukan sang
caleg kepada lingkungannya?
Seseorang
pernah mengeluhkan bahwa di lingkungan kami, di antara para caleg yang memajang
gambar wajahnya – meminta dipilih, hanya satu yang menyumbangkan uangnya untuk pembangunan
saluran drainase. Sudah pasti yang tak menyumbang apa-apa itu tak akan dipilihnya,
begitu katanya.
Pandangan
yang lebih meningkat sedikit karena lebih melihat lingkungannya, bukan melihat
pemberian barang kepada dirinya sendiri. Sayangnya, saya juga bukan orang yang
seperti itu. Lebih enak rasanya kalau merasa cocok dengan program sang caleg. Apalagi
sudah tahu kiprah sang caleg dan tahu ideologi/idealismenya mengena dengan
saya. Tak perlu kasih saya apa-apa.
Saya takut
menerima sesuatu sekecil apapun itu karena rasanya seperti sogokan saja. Saya
takut menerimanya karena dalam Islam, pemeluknya dilarang menerima dan
memberikan sogokan. Dosa masa lalu saja belum habis, masak mau nambah dosa lagi? Lagi pula saya tak perlu barang dan uang sogokan. Kalau
memang cocok dan sesuai dengan hati nurani saya, ya akan saya pilih tanpa disogok pun.
“Saya
mi saja kita’ tolong kalau kita’ tidak kenal dia,” ucap
sang kerabat kepada saya dan ibu saya.
Maksudnya,
memilih caleg yang dia usung namanya itu berarti telah menolong kehidupannya.
Apalagi dia digaji setiap bulannya untuk mencarikan pemilih. Mendapatkan
tambahan pemilih tentunya sangat berarti bagi kredibilitasnya di mata sang
calon legislator tersebut.
Oh
Tuhan, rasanya seperti ada sesuatu yang memaksa dirinya berkelahi dengan hati
nurani saya. Hal yang saya jaga setengah mati supaya bersih menurut versi saya.
Video dari KPU
Tidak sampai di situ. Akan ada iming-iming hadiah yang lebih besar lagi jika menyetor KTP-nya sebagai pemilih sang caleg. Berhadiah umroh! Wah wah wah, makin memberontak hati ini mendengarnya.
Saat
pak suami pulang, saya ceritakan hal ini padanya. “Harusnya dia sendiri yang datang
ke sini,” ucapnya. Dalam pikiran saya pun demikian ya. Bukan sekadar mengutus
orang upahannya untuk datang. Mencalonkan diri sebagai wakil rakyat itu bukan semacam
berdagang barang.
“Wah
dari partai anu,” ucap suami saya ketika mengamati kartu nama si caleg. Nah,
saya tahu, kalau dari partai itu, pak suami tak mungkin memilihnya. Begitu pun
saya.
Positif,
saya memang tak akan memilihnya. Tapi bagaimana menyampaikan kepada kerabat kami
ini?
Berhari-hari
kemudian, sang kerabat menelepon saya. Meminta nomor KTP seisi rumah kalau
memang mau memilih kerabatnya.
Ketawa dulu, ah bersama @DildoforIndonesia |
“Nanti mau diundi, Dek. Ada hadiahnya. Tapi ndak bisa dibilang-bilang dulu. Ndak boleh ditahu,” sang kerabat kembali menjelaskan soal iming-iming hadiah bagi pemberi nomor KTP.
“Iya,
Kak, money politic itu. Tidak boleh, memang cara begitu,” saya berharap
dengan jawaban itu sang kerabat bisa menebak saya seperti apa orangnya.
“Iya,
makanya ndak dibilang-bilang dulu. Kasih ka’ nomor KTP, di’,
” ucap sang kerabat lagi.
“Saya
tanyakan dulu, ya, Kak sama Mama dan Papa,” jawaban saya mengakhiri pembicaraan
kami.
Saya
tahu kedua orang tua saya mudah luluh dengan kisah seperti kisah sang kerabat.
Ketika permintaan dari telepon saya kabari kepada kedua orang tua, saya tak menyebutkan iming-iming hadiah. Ayah dan ibu saya langsung memberikan foto
kopi KTP-nya karena rasa kasihan mereka.
Hati
saya masih bertahan untuk menolak dan saya tak bisa mengkhianati hati saya. Alasan
itulah yang menahan saya memberikan nomor-nomor KTP kedua orang tua saya selama
berhari-hari.
Apa
yang akan saya katakan padanya?
Video Panduan Pemungutan dan Penghitungan Suara
Pemilihan Serentak 2018 (KPU)
Berhari-hari saya menunda memberikan nomor KTP kedua orang tua saya kepada sang kerabat. Hingga akhirnya saya berikan juga.
“Ini
nomor KTP Mama dan Papa, Kak,” tulis saya di pesan WA.
“Terima
kasih, Dek,” jawabnya.
Saya
menghela napas. Masih berpikir untuk menulis pesan lain.
“Minta
maaf, saya tidak bisa, Kak. Ada yang saya janji,” tulis saya lagi.
Ya.
“Ada yang saya janji” – yaitu diri saya sendiri. Saya sudah berjanji tak mau
memilih caleg yang diusungnya karena semua proses yang sampai kepada saya tak
sesuai dengan hati nurani saya. Dan saya lega sudah menunaikan janji saya.
Makassar, 11 Maret 2019
Catatan untuk para caleg: hati-hati dengan metodemu, jangan sampai mempermalukan dirimu sendiri😇
Baca
juga:
Share :
Wkwk, Na kira semua mau terjebak dengan money politic..Caleg Sebenar harus visioner..Adu Ide dan Adu Gagasan.Bukan adu uang lalu Maksa2..itu yg di atas pasang Spanduk banner tengah malam secara membabi buta..pas besoknya warga malah buka sebagian yg menggangu..
ReplyDeleteSerunya dih, malah dibuka kembali sama warga. Di sini ndak ada tawwa yang dibuka meskipun ndak menyumbang :D
Deletemantap tante.. perlu banyak pertimbangan meski sekedar men-coblos
ReplyDeleteHiks, iya, Pertimbangannya banyak. Mikir dosanya juga kalo salah pilih dan nanti merugikan masyarakat.
DeleteWah ada videonya juga. Terima kasih informasinya bermanfaat :)
ReplyDeleteTerima kasih sudah mampir, Mbak Nisa.
DeleteHmmm nggak bisa gitu ya Mbak. Pemilihan ini kan harus sesuai dengan hati nurani
ReplyDeleteIya, seharusnya menyarankan saja. Kalau tidak mau pilih ya apa boleh buat. Jangan diiming-imingi dengan barang atau bahkan ibadah. :(
DeleteWah bener banget tuh Mbak. Memang kadang ada lho yang kayak gitu Mbak
ReplyDeleteIya, masih ada ....
DeleteHmm saya juga bukan seseorang yang mengikuti beritanya politik Mbak
ReplyDeleteHmm, kalo di medsos memilih adem, ya Mbak?
DeleteWah ada video tentang pemilunya juga. Bisa membantu
ReplyDeleteIya, Mbak. Dari KPU.
DeleteSoal ktp dan KK, dikumpulkan dan nanti dapat sembako, ditempat saya juga ada yang datang menjanjikan seperti itu. Tapi saya tidak mau ,takut disalah gunakan saja. lagian sembako juga belum pasti dapat.
ReplyDeleteDalam pemilu, kita tidak boleh netral, harus berani bersuara dengan keyakinan pilihannya. Tapi ya itu tanpa menyudutkan pihak lawan.
Soal balas budi, saya rasa sudah dari jaman dulu kala, ada rasa tidak enak hati. Tapi itu mah sah-sah saja.
Seharusnya dalam pemilu itu. rakyat atau masyarakat yang menyumpang kampanye jagoannya. Bukan terbalik, jagoannya yang yumbang pemilih untuk memilihnya.
Kalau tidak begitu, akhirnya jagoannya disumpang oleh pengusaha yang nanti minta jatah proyek atau imbalan balik.
Yah, seperti itulah kenyataan di sekitar kita, ya.
DeleteEntah kapan akan menjadi seperti yang kita inginkan.
Iya pas mau nyalon aja barulah buru" berbuat baik, menuruti ucapan masyarakat. Nanti, stelah terpilih dan menang, kunjungan aja gak pernah, alasan sibuk. Selalu aja begitu hihi.
ReplyDeleteMintanya dimenangin, tp buat bantu rakyat dg sungguh" pun tak ada niat hehe
Nah ini, banyak yang seperti ini ....
DeleteTapi masih ada yang memang serius sih, memang rajin mendatangi konstituennya dan rajin menyimak apa kebutuhan dan mengusahakannya.
Sebenrnya tergantung sama pribadinya masing" sih kak. Bisa kita liat dri kesehariannya.. Dan diperkirakannya gimana.. Kudu hati* kalo mau milih perwakilan untuk rakyat mah.. Apapun itu hihi
DeleteBetul
ReplyDeletePemilu ini adalah hak bebas setiap rakyat.
Dan harus berasal dari hati nurani, bukan karen ini itu hihi
Dan terlebih lagi. Menurutku harus bersifat rahasia.
Mendingan rahasia, ya biar ndak rentan berantem hehe
DeleteToss dulu kita Kak Niar, sudah ada beberapa grup saya tinggalkan lantaran kecenderungan membahas hal pemilu yang ngotot-ngototan. Sebenarnya, pemilihan langsung sudah bisa dilaksanakan untuk lebih menghemat biaya cetak surat suara. Namun begitu, geopolitikalasoh mendominasi pengaruh dalam memilih terutama di pedesaan.
ReplyDeleteHm .... ya begitulah kak Enal ....
DeleteToss yah.
:)
Pilpres, pileg, pilkada dan kontestasi politik sebenarnya adalah bagian dari pembelajaran politik masif untuk masyarakat. Pembelajaran harus meninggalkan kesan baik sehingga orang menanam sikap optimis dan penuh harapan kepada sistemnya. Tapi kalau memang yang tertinggal adalah kesan negatif, maka ini sangat disayangkan ya.
ReplyDeleteSaya juga dalam memilih caleg dan capres selalu melihat rekam jejak, dan malah ngga begitu peduli pada janji2 yang mereka ucapkan. toh semua janji sama saja.
Betul, Daeng.
DeleteSaya berharapnya, kesan yang ditimbulkan caleg ya sesuailah dengan "kompetensi" yang seperti kita bayangkan, ya bagaimana seharusnya seorang caleg. Jangan bikin kita malah jadi antipati. Soalnya kan beda orang, beda pula metode pendekatannya.
Iya ya, janji kebanyakan hanyalah tinggal janji *kayak lagu apa ya :D
Partai Garuda?> Partai apa pula itu? Baru pernah denger
ReplyDeletePartai Garuda? Saya tidak menyebut nama partai ... :D
DeleteIni yang kak Niar ceritakan ke saya waktu itu kan ya? Tertuang dalam tulisan juga akhirnya, hhiihi...
ReplyDeleteAgak gimanaaa gitu ya kalo kita harus memilih caleg karena ada keluarga yang berhutang budi terhadap caleg tersebut.
Iya, Mam Er .itu mi, bagaimana gitu ... :(
DeleteMemang sepeeri itu sih mba atmosfer politik, apalagi musim2 pemilu. Tapi kalo saya sih saran gak usah dihindari, let it flow aja. Karena kita menghindari isu2 pilpres dan pileg pun ujung2nya kita bakal berjumpa juga nanti. Mending dinikmatin aja, biar terbiasa. Hehe.
ReplyDeleteKalau arus informasi pilihan sudah seperti tsunami, sering Kali Kita perlu menghindar supaya tetap waras, anak muda :)
DeleteYang flow biarlah flow di tempatnya masing-maaing. Kalau mau cari informasi yang dibutuhkan, cari di tempat yang tepat. Jangan biarkan semua informasi yang bak air bah di masa kini flow di atas kepala Kita. Kenapa? Karena bisa menghilangkan kewarasan :)
Koreksi:
DeleteArus informasi di masa pemilihan (presiden, caleg) bukan arus informasi pilihan.
Seriusku baca artikekta, agak berat isinya soalnya bahad politik hahahaa.
ReplyDeleteKyknya money politic sdh jd rahasia umum di kalangab masyrkat ya, sy jg sring dngar yg spt itu
HammaE Asyraf, berat dari mananya ini? Santainya mi lagi bahasaku wkwkwk.
DeleteEntah kenapa kalau ada kenalan atau bahkan keluarga yang caleg nawarin bantuan ke saya, saya anggap niatnya ga tulus.. semacam ada uadang dibalik bakwan gitu, hihi.. ya salah satunya mungkin saya takut suatu saat dituntut buat balas budi..
ReplyDeleteHahaha jadi waswas dih.
Deletesaya setuju sekali kak dengan prinsipta yang memilih sesuai dengan hati nurani. Lagian, jika calegnya memiliki rencana program yang realistis dan terukur tidak perlu lagi membayar orang untuk mencarikan suara.
ReplyDeleteIya. Dia akan mau bercapek-capek datangi orang, bukan membayar orang untuk Kumpulkan suara.
DeleteDalil berapa ki kak?
ReplyDeleteMau ka minta bantuan ta. Kebetulan ini ada teman yang maju jadi calon pengantin. Siapa tahu bisa ki bantu pilihkan pasangannya.
Ada hadiahnya kak kalau berhasil. Diundang gratis ke acara nikahannya.
Kayaknya salah komen ki' Daeng. Komen seperti ini harusnya di postinganku yang tentang gaun pengantin gratis dari Haflah Wedsing, wkwkwkwk
DeleteTeman ta cari caleg jomblokah? Ndak kutahu iya kalo itu hahaha.
Deh, dilemanya yah. Apalagi yang main sistem tembak langsung seperti itu. Tapi yang jelas kita sudah menentukan sikap, mudahmudahan Indonesia nanti dipimpin oleh orang baik.
ReplyDeletesama kak. saya juga sudah dapat telpon dari seseorang yang banyak membantu saya dulu di salah satu program yang saya kerja. dia minta saya bantu kampanyekan calonnya. susahnya cari alasan untuk menolak :)
ReplyDeleteBelakangan ini banyak juga orang yanhg datang ke rumah dan minta supaya dipilih caleg yng merupaka kerabat atau keluarganya dan sama seperti kak Niar saya juga nggak suka dengan cara-cara seperti itu. Namanya memilih ya harus sesuai dengan hati nurani kita sendiri ya kak
ReplyDeletePercayalah, yang kayak gini kerap kita temukan di sekitar kita. Saya pribadi, semakin si caleg jor-joran keluarin duit sana sini buat kampanye, semakin jauh keinginan saya buat memilih. Kenapa? Karena ketika terpilih, fokus utama dia adalah "mengembalikan modalnya" dulu. You know lah hehe
ReplyDeleteTentu kita akan lebih respect sama caleg yang nggk jor-joran keluarin uang, tp memang berangkat dari niat tulus dan program yang jelas, bukan minta dipilih untuk sekedar balas budi dsb