MIWF 2017: Tentang Ruang Bersama yang Membincang Keberagaman

Seperti pada tahun-tahun lalu, Makassar International Writers Festival (MIWF) kembali di gelar pada tahun 2017 ini, tepatnya pada tanggal 17 – 20 Mei 2017, berpusat di Fort Rotterdam, Makassar. Seperti biasa, ada banyak kegiatan. Sambung-menyambung dan berlangsung paralel. Bahkan ada yang berlangsung di lokasi-lokasi di luar Fort Rotterdam, seperti di UNM (Universitas Negeri Makassar), UIM (Universitas Islam Makassar), dan Same Hotel. Saya akui, panitia semakin cerdas membuat ragam kegiatan. Kegiatannya makin beragam, pun semakin ramai.

Seperti biasa pula, berhubung banyak kegiatan yang bentrok dengan urusan domestik maka saya harus benar-benar memilih yang mana yang akan saya hadiri. Pada hari pertama saya mengikuti Panel Discussion: Ruang Bersama, Living in Diversity  di Museum I Lagaligo (14.00 – 15.30). Dipandu host Olin Monteiro, ada 4 panelis yang secara bergantian memaparkan pengalaman dan pembelajaran mereka tentang keberagaman. Keempat panelis tersebut adalah: Yerry Wirawan, Sofyan Syamsul, Eko Rusdianto, dan Maman Suherman.

Founder MIWF Lily Yulianti Farid (Kak Lily) yang baru 6 Juni saya hubungi via inbox mengataknn doronya mengharapkan Ruang Terbuka bisa direplikasi di tempat lain. Ia menyaksikan sikap sektarian ada di depan mata dan merasakannya sendiri selama berada di Indonesia. Ruang Bersama bertujuan membuka dialog awal, termasuk dengan proyek foto ttg keluarga yang menikah beda agama.

Saya datang terlambat. Yerry Wirawan sudah hampir mengakhiri penuturannya ketika saya berada di dalam ruangan. Saya hanya menangkap penuturannya tentang hubungan antara orang China dan Makassar.

Sumber foto: fan page Facebook MIWF 2017

Secara keseluruhan, ruang bersama untuk keberagaman yang diusung masing-masing panelis adalah yang ada dalam gambaran dan pengalaman mereka. Saya masih menangkap rasa kecewa dan rasa marah dalam narasi Eko Rusdianto yang bercerita tentang pengungsi dari Timor Leste yang ke Sulawesi Selatan. Ada yang diculik oleh oknum tentara dan dibawa ke Sulawesi Selatan. Ada yang hidupnya menjadi lebih baik tapi ada juga yang tidak menjadi lebih baik karena tercabut dari akarnya. Sorry to say, rasa kecewa dan marahnya berulang kali saya rasakan.

Maman Suherman yang akrab saya sapa Kang Maman menceritakan tentang pengalamannya menjadi minoritas karena dianggap orang Jawa (padahal ayahnya orang Sunda – ibunya orang Makassar) saat bersekolah dasar di Makassar. Lalu bagaimana kisah penulisan novelnya yang menuliskan kisah pelacur lesbian yang malang dan bagaimana banyak orang menghukumi yang seperti ini di masyarakat seolah-olah jalan tobat tertutup, ditambah sulitnya keluar dari dunia hitam karena penjagaan ketat dari pihak yang tak mau mereka keluar karena memanfaatkan kenaifan mereka. Tersirat dari kata-katanya, Kang Maman bukan membenarkan lesbianisme apalagi pelacuran lesbian, hanya saja dia menyayangkan betapa sulitnya kembali kepada keadaan semula saat sudah masuk ke dalam dunia itu.

Sofyan tidak banyak menceritakan tentang kisahnya dalam kehidupan sosial dan kemanusiaan seperti yang ada pada profilnya di website Makassarwriters.com: a professional photographer and journalist who is interested in social life and humanity. Dia menceritakan sedikit kisahnya, misalnya saat ngopi-ngopi di warung kopi yang ada pelanggannnya dari warga keturunan Tionghoa. Di mana pada mulanya ada semacam sekat tak kelihatan yang membuat mereka hanya minum di meja yang sama dengan yang seras dengannya. Perlu kebesaran jiwa untuk mencairkan kebekuan yang terasa.

Di akhir diskusi, saya menyaksikan satu per satu panelis dan peserta pergi sendiri-sendiri seperti saat mereka datang dan bicara sendiri-sendiri. Di sini saya melihat Ruang Bersama masih sebatas angan yang subyektif. Memang belum bisa dirumuskan seperti apa Ruang Bersama yang bisa merangkul semuanya. Barangkali memang belum ada solusi karena masih sebatas share pengalaman. Setidaknya itu sebuah langkah maju.

Well, tidak ada yang salah. Barangkali saja memang harus dimulai dari embrio yang nanti tumbuh menjadi bayi, anak-anak, lalu manusia dewasa. Semoga saja kelak akan ada Ruang Bersama yang bisa merangkul semuanya tanpa ada yang kecewa (mungkinkah?).

Namun saya berharap, di Ruang Bersama – Ruang Bersama lainnya, tak ada yang melontarkan istilah “sentimen beragama” karena pada dasarnya tak ada agama yang menyintemeni agama lain. Juga tak terlontar kata-kata, “Ada apa dengan bangsa ini?” – saat menyikapi ketidakadilan. Karena bukan bangsa Indonesia yang bersepakat melakukan ketidakadilan, melainkan OKNUM.

Kalau oknum, iya ada. Bagusnya dalam Ruang Bersama, yang ada hanya kata-kata positif. Dan semoga kalaupun masih ada kekecewaan dan kemarahan, bisa dituturkan dengan lebih lembut dan bijak sampai-sampai peserta yang hadir tak merasakannya lagi. Sebab untuk apa ada Ruang Bersama kalau kekecewaan dan kemarahan tak diletakkan di tempat lain dulu dan benar-benar membicarakan hal yang menarik dengan kepala dingin di Ruang Bersama?

Maafkan saya. Pada siang itu, saat yang saya amati begitu subyektif, saya pun menjadi begitu subyektif. Ini catatan pribadi saya semata, bukan tentang yang benar dan yang salah. Yang jelas, saya pun memimpikan Ruang Bersama yang semua orang, apapun latar belakangnya nyaman berada di sana tanpa takut dibunuh karakternya atau fisiknya dengan semena-mena. Karena hanya Allah lah yang Maha Penghukum dan Maha Pengampun.


Makassar, 5 Juni 2017



Share :

4 Komentar di "MIWF 2017: Tentang Ruang Bersama yang Membincang Keberagaman"

  1. kadang duduk dalam satu ruangan forum hanya mendengarkan orang membuatku belajar tentang karakter orang-orang tersebut lho mbak...

    ReplyDelete
  2. setiap kali mampir kesini dan melihat keaktifan mak niar dan berbagai komunitas menulis di makassar, justru itu duluan yang saya soroti, hehehe. Rada2 pengen gitu.
    Oya, sejauh ini sih karena kota saya memang berawal dari keberagaman, jadi sifatnya mempertahankan rasa kebersamaan ini bukan lagi bagaimana menerimanya. Yang unik, justru komentar dari pendatang yang kesukuannya masih kental banget, sampai2 ngerasa aneh dengan percampuran yang ada. Misalnya adat yg awalnya cuma di suku A, disini bisa dilakukan suku A,B,C

    ReplyDelete
  3. aku sempet mampir sebentar nih di MIWF, sayang ngga bisa lama2 :(

    ReplyDelete
  4. Waaah, asyik mbak ada ruang berbagi gini. Pesertanya keren2 pula. Di tempatku belum jalan. Hiks

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^