Menulis Buku Anak: Antara Trend, Ideologi, dan Realita

Regus menjadi pilihan kopdar (kopi darat) IIDN (Ibu-ibu Doyan Nulis) Makassar pada tanggal 10 April lalu. Kali ini Marisa Agustina menjadi nara sumbernya. Icha – nama kecil Marisa lebih memilih menulis fiksi. Dia merasa genre nonfiksi lebih berat namun bukan berarti fiksi mudah. Karena menulis fiksi itu butuh riset juga, khususnya untuk menulis topik yang serius.


5 buku karya Marisa Agustina yang sudah terbit di penerbit mayor. Buku-buku ini
beredar di seluruh Indonesia.

Sejak tahun 2013, Icha memfokuskan diri menulis cerita anak. Sebelumnya, aktivitas menulis Icha diawali menulis blog. “Ikutan Kak Niar,” katanya. Waah dia menyebut nama saya (kata suara hati saya semringah). Sekitar setahun menulis blog, Icha kemudian banting arah menulis buku, dan dia khusus memilih buku untuk anak-anak.

Icha pernah mencoba menulis fiksi dewasa namun “isinya curcol”, katanya. Dia pernah ikut kelas online selama 2 pekan. Novelnya selesai tetapi setelah dibaca, Icha merasa isinya curcol semua. Dari situ merasa tidak cocok makanya dia memutuskan menulis buku anak. Terlebih waktu ingat ketika anak-anaknya masih kecil, sulit mendapatkan buku anak yang menarik. “Melihat buku-bukunya Ali Muakhir, merasa bermafaat buat anak-anakku”, makanya Icha juga makin tergerak menulis buku yang bermanfaat buat anak-anak. Oya, Kang Ali Muakhir itu seorang penulis buku anak top. Banyak sekali buku anak karyanya beredar di toko buku seluruh Indonesia sejak bertahun-tahun lalu.

Kopdar dihadiri oleh Umma (tak terpotret), Fauziah dan putranya, Abby Onety
(sebelah kanan Fauziah), Marisa (membelakang paling kiri), Aida (membelakang,
kanan), dan saya (tak terlihat)

Icha ingin menulis seperti Kang Ali supaya orang tua punya referensi bagi anak-anaknya. Dia memantapkan niat namun dalam perjalanannya ada beberapa tujuan dan motivasi yang tadinya ingin diraih tapi kemudian banyak berubah. Di antaranya adalah “untuk mecari uang”. Setuju, Icha!

Pengennya seperti itu tapi berubah seiring berjalannya waktu. Ternyata susah mewujudkannya. Akhirnya tidak terlalu neko-neko. Kalau itu yang mau dicari, nanti stres sendiri. Tujuan lain yang pernah mampir jadi motivasi adalah pengen eksis. Manusiwi lah ya. Zaman sekarang dibilang tidak ada karyanya, di rumah saja,” maksudnya ingin meng-counter ungkapan-ungkapan yang merendahkan dirinya.


Sekarang kalau menulis lebih ingin sebanyak-banyaknya manfaat. “Walau kenyataannya seperti melempar kerikil di air,” ujar Icha sembari tertawa ringan. Hingga saat ini sudah ada 5 judul buku yang sudah terbit karya ibu dua anak ini. Masih ada dua buku lagi yang sedang proses terbit.

Awal pembelajaran Icha dalam menulis buku anak adalah saat dia ikut kelas online yang diselenggarakan oleh Ali Muakhir pada tahun 2013. Terbuka pemikirannya bahwa menulis untuk anak ada tingkatan umur untuk balita, dan seterusnya. Masing-masing ada caranya. Menulis untuk anak itu dibuat sesederhana mungkin. Dalam satu kalimat jangan lebih dari 10 kata. Menulis buku anak berbeda dari menulis buku dewasa. Untuk buku dewasa, bagian awalnya bisa panjang. Buku anak tidak, harus langsung pada masalahnya.

Kopi dan teh di Regus
Pada kenyataannya Icha melakukan “pelanggaran” karena gemas. Bukan pelanggaran serius, sih. Kalau saya menulis buku anak, saya juga merasa gemas bila dipatok harus 10 kata maksimal dalam 1 kalimat. Kalau yang ingin kita sampaikan adanya 15 kalimat, bukanlah hal mudah memangkasnya hingga tersisa 10 kalimat. Nah, peraih award untuk fiksi anak pada Islamic Book Fair tahun 2015 ini merasa tidak bisa benar-benar menulis 10 kata (maksimal) dalam satu kalimat. Untungnya tidak semua editor saklek harus seperti itu.

Lalu bagaimana dengan pictorial book yang sekarang menjadi kehususan Icha? Menurut Icha, membuat naskah untuk pictorial book, untuk ilustrasinya pun penulis yang bikin konsepnya. Selain naskah, harus lengkap ilustrasinya.

Apa yang menarik bagi Icha, selama berkecimpung di dunia penulisan buku anak? “Antara industri dan ideologi,” ujar Icha. Misalnya lagi survei di toko buku, melihat buku-buku yang lagi trend di penerbit-penerbit berbeda yang bagaimana. Ternyata di penerbit A lagi trend topik E, misalnya. Eh, penerbit B, C, dan D ikut trend itu. Kalau mau gampang, sebagai penulis bisa ikut saja topik yang lagi populer itu. Tapi kadang-kadang tidak sesuai dengan ideologi. “Tantangannya di situ, bagaimana berjuang mencari ide sendiri,” ujar Icha di penghujung pertemuan kami.


Kami masih berbincang-bincang santai di ruang meeting Regus yang nyaman. Salah satu yang kami perbincangkan adalah bagaimana permintaan buku gratis menjadi godaan bagi para penulis. Godaan untuk marah-marah, maksudnya hehehe. Royalti untuk penulis itu tidaklah besar. Untuk mendapatkan bukunya sendiri kalau ada yang meminta, penulis harus merogoh kocek sendiri untuk membelinya, kecuali sedikit bukti terbit yang diberikan oleh penerbit. Jangan salah mengira orang yang bukunya terbit itu duitnya banyak, ya. Kasihan, lho kalau banyak yang meminta buku gratis. Kalau dikasih, penulisnya merana. Tidak dikasih bisa dikatain pelit.

So, hargailah penulis dengan membeli karyanya. Kalau tak membeli karyanya, hargailah dengan tidak meminta buku gratis darinya.

Makassar, 2 Mei 2017

Regus adalah coworking space yang konsepnya ala “hotel kantor”. Perusahaan maupun perorangan yang sedang menjalankan bisnis bisa menyewa ruangan di Regus. Besar dan harganya bisa disesuaikan dengan kemampuan keuangan penyewa dan tergantung dengan kebutuhan.

Untuk lebih jelasnya silakan baca tulisan-tulisan saya yang lain tentang Regus:


Untuk informasi lebih lanjut silakan langsung ke:



Share :

11 Komentar di "Menulis Buku Anak: Antara Trend, Ideologi, dan Realita"

  1. enaknya bikin buku anak utk yg sudah punya anak adalah bisa mengambil dari pengalaman sendiri atau pengalaman anak kita sendiri ya mba... Novel anak yg saya tulis juga karena pengalaman anak saya, walaupun tetap dibumbui sedikit. Tapi novaknya blm terbit2 hehehe....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waaah MBak Santi sudah menulis buku anak? Keren Mbak. Selamat yaa. Waduh, ditanyakan lagi ke penerbitnya, Mbak, ada masalah apa.

      Delete
  2. kepingin punya buku anak sendiri...tapi...pernah kirim cerpen anak aja ditolak terus sama koran.
    tips-tipsnya oke banget dan kayanya aku nulis cerpen anak dulu ga sesuai sama tips tips yang ada disini, makanya ditolak terus hihihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ooh gitu ya Mbak? Hayuk dicoba lagi, kalo gitu :)

      Delete
  3. waaa enak nih, aku juga pingin terbitin buku

    ReplyDelete
  4. Penulis buku anak ya.. Sempat terbesit ingin seperti itu..

    By the way, sepertinya menarik ada kelas online menulis.. Jadi ingin join..

    ReplyDelete
  5. Waahh jdi kangen kopi nya Regus. Masih di Regus ki kak berkantor? Kapan-kapan mampir lagi deh.

    ReplyDelete
  6. Keren ya semangatnya. Nggak perlu neko2 tapi tetep berproses :)

    ReplyDelete
  7. keren mba, pengen deh ketemu mba Mugniar. Selalu menebar semangat.

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^