Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan berjudul KPPPA, Tentang Partisipasi Media dalam Menulis Isu Perempuan dan Anak dan Menuju Jurnalisme Berperspektif Gender dan Anti Kekerasan yang merupakan catatan dari Pelatihan Jurnalisme Sensitif Gender Bagi Jurnalis dan Blogger. Pelatihan ini diselenggarakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), bekerja sama dengan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan pada tanggal 21 – 22 April lalu di hotel Aryaduta.
Di sesi ini Ruth Indiah Rahayu mengajak para peserta
memahami peta masalah soal gender di
dalam dunia media: meliputi trilogi organisasi media, para jurnalis sebagai
agen, dan pembaca. Sesi ini membahas relasi ketiganya dalam membentuk
problem gender. Pembahasan materi oleh
perempuan yang senang meneliti ini berkisar pada 3 bagian besar. Ruth memulai
sesinya dengan menceritakan sejarah media (untuk) perempuan di Indonesia.
Representasi
Media Perempuan dan Pembentukan Citra Feminitas
Sebelum 70-an tidak ada media representasi
perempuan. Konteks peran ganda perempuan, dilansir media tahun 70-an. Pada awal
dekade 70-an, bermunculan industri media perempuan yang merepresentasikan kelas
menengah – atas seperti Femina, Sarinah,
Kartini, Gadis, Putri, dll. Industri media perempuan ini berfungsi sebagai
sarana pemasaran bagi produk kosmetika, perhiasan, fashion, sekaligus resep masakan dan kisah tragedi.
Selain itu, media membentuk citra perempuan yang
mendukung program orde baru. Contohnya majalah Kartini dan Sarinah
merepresentasikan “pahlawan ibu rumah tangga pendamping suami yang terampil
mengurus anak, mengabdi pada suami, dan menjaga NKKBS” (NKKBS: Norma Keluarga
Kecil Bahagia Sejahtera). Sementara Femina mewakili perempuan kelas menengah
yang modis, elegan, berpendidikan, tinggi, mempunyai karir namun tetap mengurus
anak, suami, dan menjaga NKKBS. Tugas perempuan dalam rumusan ideologi Orba
adalah menciptakan NKKBS, sejalan dengan program KB. Citra ideal feminitas
perempuan Indonesia itu sejalan dengan Panca Dharma Wanita yang juga merupakan
ideologi rumusan Orba.
Media beramai-ramai menampilkan profil “peran ganda
wanita”. Digambarkan bahwa perempuan kelas menengah mampu menjadi wanita
karir yang menomorsatukan keluarga. Selanjutnya ini dijadikan role model bagi perempuan kelas bawah
yang pada kenyataannya adalah pekerja pertanian yang kehilangan pekerjaannya dalam
proses revolusi hijau pada awal 1970-an.
Pada dekade 90-an terbit tabloid Nova, Wanita
Indonesia, C & R, Nyata, dan lain-lain yang merepresentasikan perempuan
kelas menengah ke bawah. Cover-nya memperlihatkan
orang-orang terkenal dengan pasangannya (suami-istri), berbeda dengan
majalah-majalah sebelumnya (Kartini, Femina, dan lain-lain). Cover berpasangan hendak menyampaikan
pesan bahwa perempuan jangan otonom. Keluarga bahagia itu harus dengan
pasangannya. Rubriknya berisi stereotype ibu
rumah tangga: masakan, fashion, dan
tragedi yang menguras air mata.
Pasca reformasi terbitlah tabloid yang menampilkan
identitas perempuan muslimah (berhijab), seperti Muslimah, Hijabista, Anis, Jelita
yang menggelar isu “wanita karir yang shalihah”. Citra
feminitas kini bergeser menjadi “ibu rumah tangga berkarir yang shalihah”.
“Jilbab digunakan media untuk membentuk citra baru untuk perempuan shalihah.
Jilbab menjadi sesuatu yang ‘manipulatif’,” tukas Ruth.
Citra
Feminitas dan Industri Mitos Kecantikan Serta Pembentukan Stereotype Perempuan Oleh Media
Citra feminitas yang dibentuk untuk perempuan
dijadikan pasar bagi industri budaya. Penciptaan citra “tubuh berlekuk” ada
implikasinya dengan bisnis. Tubuh “wanita karir yang menomorsatukan keluarga”
maupun ibu rumah tangga berkarir yang shalihah” harus langsing,
seksi, tinggi, cantik, dan fashionable. Setiap
bagian tubuh dari perempuan (rambut, kaki, lengan, kulit, dan lain-lain) dan
seksualitasnya (payudara dan vagina) berubah menjadi komoditas di mana industri
menciptakan mitos kecantikannya.
“Untuk itu harus dibentuk stereotype perempuan. Karena feminitas perempuan Indonesia
berkolerasi dengan kepentingan industri yang memproduksi mitos kecantikan. Media
jadi agen sosialisasi yang menyampaikan citra ideal feminitas perempuan. Maka masalah sesungguhnya dari
perempuan tidak dibahas,” tutur Ruth.
Ruth mengatakan ada ambiguitas media. Di satu sisi ia
membahas stereotype perempuan
(misalnya dengan gambaran kelemahannya, Risma dibahas habis sewaktu menangis
ketika diwawancarai sebuah acara talkshow
televisi. Gubernur Jawa Timur ini ramai diberitakan). Perempuan dibahas
habis saat dia lemah. Di lain pihak dibuat sebagai sasaran produk kecantikan.
“Anehnya, media yang membentuknya sekaligus menjadi
hakim yang menentukan baik dan buruknya perempuan. Politisi perempuan yang
dulunya artis dihakimi oleh media. Media seakan-akan penjaga gawang bagi moralitas
padahal di lain pihak media mencitakan stereotype
perempuan. Media menerapkan standard moral ganda bagi perempuan. Media adalah
perpanjangan tangan ideologi dominan. Manipulasi ideologi sekuler dan agama
bagai bandul, saling menggeser,” lanjut Ruth lagi.
Contoh lainnya media menjadi penjaga gawang
moralitas adalah menuduhkan kegagalan keluarga kepada perempuan. Perempuan yang
sukses berpolitik jika cantik dikaitkan dengan “lobi tubuh”-nya tetapi jika
jelek dikaitkan dengan kegalakannya. Ruth memberi contoh politikus perempuan
yang mantan artis yang mati-matian membuktikan kemampuan dirinya.
Jurnalis
Sebagai Agen Media
Dalam materinya, Ruth menuliskan bahwa posisi
jurnalis sebagai agen bersifat ambigu: di satu sisi melanggengkan stereotype perempuan di dalam media, di
lain pihak mendekonstruksikan stereotype tersebut
jika sudah tidak dikehendaki pasar.
“Struktur sosial kita tidak netral, tidak flat tapi
berdasarkan kelas, atas dan bawah. Apa yang kita serap di media bukan
kepentingan kelas bawah. Itu kepentingan yang punya duit. Dalam politik begitu
juga proporsi pemberitaan berapa persen sih yang menyuarakan kepentingan kelas
bawah. Jurnalis adalah produk struktur
sosial yang bias kelas, bias ras, dan bias gender.
Maka mau tak mau pemberitaan disertakan asumsi-asumsinya. Disadari atau tidak,
jurnalis bekerja dalam ideologi patriarki-kapitalis. Nah itulah struggle-nya para jurnalis nanti,” Ruth
menjelaskan.
Pendapat Althusser, seorang filsuf Perancis:
Jurnalis adalah representasi ideologi dominan yang berakar pada struktur sosial yang timpang berdasarkan kelas, gender, dan ras. Ideologi industri media adalah kapitalisme (yang menekankan akumulasi kapital).
Dan merujuk pada Claire Jonston:
Ideologi media adalah patriarki (berdasarkan fantasi dan dominasi laki-laki).\
Budaya
Populer Media
“Persoalannya, pers/media hidup dalam aura budaya
populer media,” tukas Ruth.
Menurut Ruth, budaya populer adalah budaya yang
dihasilkan secara massal menggunakan teknologi tinggi, diproduksi oleh
industri, dipasarkan secara massal, untuk mendatangkan keuntungan, ditujukan
bagi massa konsumen. Budaya pop diproduksi oleh kapitaslisme.
Pers punya rubrik populer supaya mengikuti
perkembangan. Ceramah agama bahkan masuk budaya pop di dalamnya. Semua tunduk
dalam budaya pop demi menaikkan rating.
Seperti Kompas ada rubrik sosialiatanya juga.
Citra feminitas dan stereotype perempuan dikomodifikasikan[1] maknanya
berdasarkan hasrat dan fantasi industri media yang kapitalis-patriarki dan
bukan mendapatkan maknanya dari realitas kehidupan perempuan itu sendiri.
Contohnya adalah iklan Tropicana Slim. Untuk target
perempuan, tujuan mengurangi gula adalah supaya tubuh tidak gendut (tidak
memenuhi standard tubuh yang indah. Tubuh langsing adalah fantasi laki-laki).
Sedangkan untuk laki-laki, diarahkan kepada kebutuhan kesehatan (untuk
menghindari penyakit diabetes).
Dalam peliputan dan teks berita, harus diperhatikan apakah
bebas dari asumsi yang bias gender atau tidak? Ruth keberatan dengan “teknik
memajukan jurnalis perempuan agar lelaki yang diwawancarai menjadi luluh atau
tunduk kepada kemauan yang mewawancarai”. Menurutnya, jika teknik menggali nara
sumber dalam interview bagus maka hal
yang ingin diketahui bisa diperoleh.
Asumsi cover
both side, menimbulkan dua asumsi yang bertolak belakang. Persoalannya adalah
kalau ada kasus yang dialami perempuan, misalnya yang mengalami perkosaan. Jurnalis
mengkonfirmasinya kepada anggota keluarga yang laki-laki atau aparat kelurahan
yang laki-laki. Begitu pun interview
kepada ibu PKK, cross chek-nya kepada
pak lurah. Untuk suara politisi perempuan di DPR/DPRD, cross check-nya dilakukan kepada politisi laki-laki.
Dalam menuliskan berita, fantasi penulis sering kali
bermain. Misalnya mendeskripsikan tokoh perempuan disertai dengan penggambaran
keadaan tubuhnya dan menuliskan berita kekerasan seksual bak narasi pornografi.
Secara tak sadar, masyarakat pembaca terpengaruh
konstruksi ideologi kapitalis-patriarki. Baik laki-laki dan perempuan menikmati
fantasi agen media di dalam berita. Perempuan jadinya berfantasi tentang mitos
kecantikan dan membayangkan dirinya seperti Barbie misalnya atau menangis
tersedu-sedu, seakan-akan ikut merasakan masalah yang diderita artis pujaannya.
Sedangkan pembaca laki-laki menikmati fantasi tentang mitos kecantikan
perempuan dan membayangkan dirinya mengeksplorasi “tubuh Barbie” atau merasa
meningkat power-nya saat membaca
kisah melodrama artis yang malang.
Bagaimana dengan lembaga media? Sebagai organisasi
produksi, lembaga media mengorganisir tenaga kerjanya untuk menghasilkan
tulisan yang bernilai komoditas. Lembaga ini memanfaatkan hubungan reciprocal
(timbal-balik) agen media dan pembaca dalam melanggengkan stereotype perempuan karena bernilai komoditas. Perempuan menjadi
obyek semata!
Perempuan
dan Wanita
Bincang-bincang tak hanya yang ada di dalam materi
semata. Mengenai kata perempuan dan wanita, Ruth menceritakan bahwa saat Jepang
masuk Indonesia, istilah perempuan mengalami penurunan makna karena dikaitkan
oleh jugun ianfu. Maka perempuan
berubah menjadi alat makian – “perempuan jalang” – dihubungkan dengan
kejalangan. Pada tahun 1945, Soekarno menawarkan istilah lain, betina. Berasal
dari vanita. Kamus Slamet Mulyono, artinya
adalah sesuatu yang diinginkan. Diinginkan oleh siapa? Oleh laki-laki! Dari
istilah saja bermakna obyek: “wanita”. Bahkan Soekaro minta Kongres Perempuan,
kata perempuan diganti menjadi wanita, jadilah “Kowani”. Karena cukup lama dipakai, wanita lebih banyak
muncul dalam penggunaan bahasa. Pada dekade 80-an, karena mempelajari istilah
wanita secara etimologi, para feminis ingin kembali ke kata perempuan. “Kalau
tertarik studi Degradasi Semantik, menarik. Semua ada makna. Di balik makna ada
ideologi,” tukas Ruth.
Cewek
Cantik
Pada sesi tanya-jawab, saya menceritakan mengenai
kritik saya pada sebuah media online yang
menggunakan istilah “cewek-cewek cantik di Makassar” pada sebuah rubriknya.
Saya mengatakan, meski isinya membahas perempuan-perempuan cantik yang punya
prestasi atau karir bagus, saya tetap tidak sreg
dengan istilah “cewek-cewek cantik” karena terkesan mengeksploitasi. Saya
menyarankan kata “cewek cantik” diganti dengan istilah lain semisal “perempuan berprestasi”
atau apalah. Saya menanyakan tanggapan nara sumber yang sangat fasih dalam
membawakan materinya ini.
Ruth ternyata sependapat dengan saya mengenai istilah “cewek cantik” yang tidak pas. Komentar lainnya membuat saya terperangah karena tidak terpikir ke arah sana. Kata dia, “Hati-hati memilih kata. Janganlah ‘perempuan berprestasi’. Kenapa perempuan harus ditunjukkan berprestasi sementara tidak ada istilah ‘lelaki berprestasi’? Apakah perempuan harus ditunjukkan bahwa dia bisa berprestasi?” Ruth juga tak suka istilah “perempuan potensial” yang mengindikasikan perempuan banyak yang tidak memiliki potensi. Dan ya ... tak ada istilah “lelaki potensial”!
“Yang kurang (dari kita) adalah counter budaya. Counter
budaya pop itu kurang. Anak-anak harus diajarkan untuk tidak menuhankan gadget,”
ujar Ruth. Ruth juga menceritakan mengenai penelitiannya kepada anak-anak yang
dibatasi pemakaian gadget-nya oleh
orang tuanya dan anak-anak yang selalu saja memegang gadget. Hasilnya, anak-anak yang dibatasi pemakaian gadget-nya itu lebih bagus daya
nalarnya. Yang terbiasa dengan gadget, daya
nalarnya kurang dan motoriknya kurang terlatih.
Melanggengkan
Stereotype ?
Semua partai tidak pernah memberi pelatihan politik
kepada kadernya, apalagi perempuan. Pendidikan politik kepada aleg (anggota
legislatif) perempuan diberikan oleh NGO (mengenai hal ini, saya juga pernah
membaca artikel yang menceritakan bagaimana sebuah NGO melatih aleg perempuan
dalam berpendapat).
Menurutnya, jurnalis harus membangun hubungan dengan
tokoh-tokoh perempuan. Jurnalis diharapkan juga memberikan kondisi dengan mendorong
dan memberikan mereka jalan. Agar supaya para aleg perempuan penuh percaya diri
karena di partai mereka dikonstruksikan untuk menerima pendapat partai. Dalam
mewawancarai tokoh perempuan, misalnya isi wawancara sering kali melanggengkan stereotype. Hubungannya dengan keluarga
dan ketundukannya pada suami dari seorang tokoh perempuan dikejar oleh jurnalis.
Padahal kan kinerjanya tak ada hubungannya dengan itu. Apakah pernah seorang tokoh
lelaki saat wawancara, diserbu dengan pertanyaan mengenai seberapa besar kesuksesannya
dalam mengepalai keluarganya? Jawabannya adalah: TIDAK.
Makassar, 15 Mei 2017
Bersambung ke tulisan berikutnya
Catatan:
Sampai tulisan ini diunggah, saya menunggu kiriman foto dari seorang kawan. Sayang sekali, foto-foto saya selama kegiatan banyak yang terhapus secara tidak sengaja sehingga saya tidak bisa menampilkannya di sini.
[1] Komodifikasi
adalah proses mengubah barang atau layanan yang sebelumnya merupakan subyek
yang mengikuti aturan sosial non-pasar menjadi suatu subyek yang mengikuti
aturan pasar (Gleick, 2002). Sumber: www.kruha.org
Share :
Harusnya media lebih berimbang dalam memberitakan perempuan.
ReplyDeleteAndai ...
Deletemedia harusnya banyakin kasih berita positif
ReplyDeleteIdealnya ..
DeleteJangan menunggu media berimbang, perempuan harus membuat media berimbang. Kalau menunggu tidak akan pernah terjadi.
ReplyDeleteKalau ada teman yang diskusi soal keberimbangan gender saya lebih suka bilang berjuangki saudari. hal seperti itu tidak diberikan gratis.
Tidak menunggu, Pak. Usaha pelatihan seperti ini juga edukasi atau perjuangan. Apaha berjuang tidak perlu dengan memberikan edukasi seperti pelatihan? Nah, jelas saja, perjuangan itu tidak gratis. :)
Deletemenarik infonya aku jadi tahu ttg media selama ini ga terfikirkan hingga mengerucutkan masing2 media punya ciri khas yang ditonjolkan aku penikmat majalah krn memang suka rubrik tertentu saja 👌 ditunggu kelanjutannya mba
ReplyDeleteMakasih ya MBak. :)
Deletemakasih sharingnya, selalu lengkap
ReplyDeleteTerima kasih ya Mbak Tira
Delete