81 Tahun WS. Rendra, Mengenangnya dalam Puisi

Tulisan ini merupakan sambungan dari dua tulisan sebelumnya: Berani Benar Saya Menerima Ajakan Baca Puisi di Depan Banyak Orang! dan Maskumambang: Karya Rendra yang Masih Relevan Setelah 7 Tahun


Tanggal 19 November lalu, saya tiba sebelum acara dimulai. Untungnya pak suami bisa mengantar saya ke kampus UPRI (Universitas Perjuangan Indonesia) di Antang. Kalau tidak, entah bagaimana caranya bisa sampai ke sana. Jaraknya jauh dari rumah kami. Berkelok-kelok pula.

Tak lama setelah saya mengambil tempat duduk, rektor UPRI – Ibu Prof. Niniek Lantara tiba di Aula FKIP, tempat dilaksanakannya acara bertajuk Membaca WS Rendra. Acara ini terselenggara berkat kerja sama Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UPRI dengan komunitas Lingkar.

Seperti biasa, acara dibuka dengan serangkaian seremonial berupa kata sambutan dari ketua panitia, ketua BEM, ketua Prodi (Program Studi) Sejarah, dekan FKIP, dan rektor UPRI. Rektor UPRI sekaligus membuka acara, dilanjutkan dengan pembacaan puisi. Ibu Niniek meminta para WR (Wakil Rektor) untuk ikut naik di panggung bersamanya. Walau tak pernah membaca puisi di depan banyak orang seperti ini, beliau tetap datang dan menyanggupi untuk membaca puisi guna menghargai usaha panitia. Ah, kita sama, Bu. Ibu tidak sendiri. Hari ini juga merupakan kali pertama bagi saya membacakan puisi di hadapan banyak orang.

Sambutan ketua panitia, ketua BEM FKIP, ketua Prodi Sejarah, Dekan FKIP, dan Rektor
UPRI (kanan bawah, kanan tengah, kanan atas, kiri bawah, dan kiri atas)

Rektor UPRI (berbaju biru) dan para WR

Membincang Rendra Melalui 3 Nara Sumber


Usai kata-kata sambutan ada musikalisasi puisi yang dibawakan oleh beberapa mahasiswa. Dilanjutkan dengan talkshow tentang Rendra dengan 3 orang nara sumber: Bapak Muhammad Nawir, SS, Bapak Dr. Sudirman Muhammadiyah, dan Bapak Dr. Erwin Sirajuddin.

Membincangkan Rendra, tak lepas dari membincangkan jalan hidupnya yang penuh warna. Bukan hanya berpindahnya dia dari keyakinan terdahulu kepada Islam, juga mengenai poligaminya. Namun tentu saja yang lebih banyak dibahas adalah mengenai kepeduliannya kepada sekitarnya melalui puisi-puisi karyanya. Bukan hanya peka terhadap keadaan politik, pun peka terhadap keadaan sosial rakyat kecil, Rendra juga memerhatikan problematika pendidikan nasional di negara ini.

Bapak Sudirman Muhammadiyah secara khusus membedah mengenai puisi Rendra yang berjudul Seonggok Jagung. Berikut ini penggalan puisinya:
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya?

Moderator, Pak Erwin, Pak Nawir, dan Pak Sudirman
Salah satu masalah terbesar dalam dunia pendidikan adalah tidak adanya kesenangan siswa dalam belajar yang berakibat siswa tidak memiliki motivasi dalam belajar. Atau dalam kata lain, para pelajar teralienasi terhadap proses belajar yang seharusnya dapat membuat mereka lebih manusiawi. Mengingat pendidikan merupakan salah satu tolok ukur kemajuan suatu negeri maka jika dunia pendidikan kita tengah bermasalah, sudah sepantasnya kita memberikan perhatian lebih pada masalah pendidikan ini [1 → lihat catatan kaki)].

Kisah-kisah yang dituturkan oleh Bapak Erwin Sirajuddin yang mengidolakan Rendra dan sudah pernah beberapa kali bertemu dan berbincang dengan almarhum semasa hidupnya membuat saya terpana. Kisah Rendra yang akhirnya memutuskan menjadi penyair bukanlah hal yang diputuskan dengan sederhana. Ada “perjalanan spiritual” panjang yang dialaminya sehingga ia memutuskan “mengerjakan apa yang dicintainya”. Sebuah kisah lagi yang saya dengar, membuat saya berani mengatakan Rendra adalah seorang pembelajar yang rendah hati. Dalam sebuah pengajian di padepokan Emha Ainun Nadjib, Emha memperkenalkan Rendra kepada hadirin sebagai “gurunya”. Namun Rendra justru mengatakan sebaliknya, bahwa Emha adalah gurunya. Begitu berartinya sosok Rendra bagi Pak Erwin, Rendra memberinya spirit untuk peka membaca sekitarnya.

Pak Nawir mengatakan, dalam membaca puisi harus lengkap, baca teks dan konteksnya. Begitu pun dalam membaca puisi Rendra. Sajak Orang Kepanasan misalnya, diciptakan pada tahun 1998, berkenaan dengan keadaan politik yang lagi panas-panasnya menjelang kejatuhan Presiden Soeharto. Bagi Pak Nawir, Rendra layak dinobatkan sebagai pahlawan nasional karena “perjuangannya” menggunakan kata-kata terbilang gencar.

SAJAK ORANG KEPANASAN
-          W.S. Rendra

Karena kami makan akar
dan terigu menumpuk di gudangmu...
Karena kami hidup berhimpitan
dan ruangmu berlebihan...
maka kami bukan sekutu

Karena kami kucel
dan kamu gemerlapan...
Karena kami sumpek
dan kamu mengunci pintu...
maka kami mencurigaimu

Karena kami telantar dijalan
dan kamu memiliki semua keteduhan...
Karena kami kebanjiran
dan kamu berpesta di kapal pesiar...
maka kami tidak menyukaimu

Karena kami dibungkam
dan kamu nyerocos bicara...
Karena kami diancam
dan kamu memaksakan kekuasaan...
maka kami bilang : TIDAK kepadamu

Karena kami tidak boleh memilih
dan kamu bebas berencana...
Karena kami semua bersandal
dan kamu bebas memakai senapan...
Karena kami harus sopan
dan kamu punya penjara...
maka TIDAK dan TIDAK kepadamu

Karena kami arus kali
dan kamu batu tanpa hati
maka air akan mengikis batu

Ketiga nara sumber kemudian didaulat membacakan karya Rendra di atas panggung. Saya terpesona dengan cara Pak Erwin membawakan puisi. Sangat ekspresif. Mimik wajah, gerak tubuh, dan intonasi dimainkannya dengan amat dinamis. Cocoklah, beliau ternyata sudah lama malang-melintang di dunia teater dan berprofesi sebagai dosen di Institut Seni dan Budaya Indonesia Sulawesi Selatan (ISBI Sul Sel). Salah satu puisi yang dibawakan olehnya adalah Sajak Gadis dan Majikan.

Hadirin
Kata-kata dalam Sajak Gadis dan Majikan vulgar. Riuh suara seisi ruangan terdengar ketika kata-kata vulgar terucap. Riuhnya sama ketika sesuatu yang menyerempet ke arah yang tabu dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan ditopikkan. Tapi di antara kata-kata itu, ada kritik Rendra terhadap pendidikan. Sistem pendidikan nasional dan juga pendidikan dari rumah tangga yang tidak membekali seorang anak dengan pelajaran mengenai bagaimana membentengi kehormatan diri ketika bekerja agar bekerjanya tak berarti melayani nafsu bejat atasan. Kalau banyak yang tertawa mendengar puisi ini, saya tidak.😪 Saya merasa miris dan teriris-iris. Mengapa? Karena saya perempuan dan saya seorang ibu. Sedih membayangkan ada anak gadis yang tega menggadaikan kehormatannya demi rupiah yang dijejalkan atasan ke dalam kutangnya.

Membincang Rendra Melalui Warga Biasa


Saya yang duduk menyaksikan para nara sumber membaca puisi sempat ketar-ketir. Waswas, jangan sampai Maskumambang – puisi yang saya pilih untuk saya tampilkan, dibaca oleh salah satu dari mereka. Ih, tidak seru dan tak surprise kan jadinya kalau saya hanya akan membacakan Maskumambang, mana sudah riset kecil-kecilan tentang puisi itu pula namun di awal-awal nara sumber sudah membacakannya? Basi, dong nanti. Akhirnya saya boleh bernapas lega. Ketiga nara sumber talkshow itu tak ada yang membawakan Maskumambang. Amanlah saya.

Sebagian pembaca puisi. Kebanyakan tidak biasa membaca puisi di depan umum
Akhirnya tiba juga momen yang mendebarkan, ketika satu per satu pengisi acara dipanggil namanya dan dipersilakan naik ke atas panggung. Kebanyakan bukan orang yang biasa baca puisi di depan umum. Ada yang berprofesi sebagai dokter, ada pengacara, guru, tukang ojek, siswa SMA, dan lain-lain. Tiba juga giliran saya, sebagai “wakil” ibu rumah tangga. Sebelum mikrofon diserahkan kepada saya, saya merapal do’a Nabi Musa As, do’a andalan saya. Di awal penampilan, saya memperkenalkan diri. Ini bagian penting, ya ... mana tahu pembaca blog saya jadi bertambah kan? 😏

Saya menjelaskan makna Maskumambang (seperti yang saya ceritakan di tulisan berjudul Maskumambang: Karya Rendra yang Masih Relevan Setelah 7 Tahun). Saya anggap perlu untuk menjelaskan karena maskumambang ini istilah dalam bahasa Jawa. Selain itu, saya mencoba memancing audiens untuk menyimak puisi yang akan saya bawakan. Setelah itu saya merapal basmalah dan mulai membacakan Maskumambang karya Rendra.

Saya mencoba menghayati puisi ini sebisa saya. Pada beberapa bagiannya, saya kembali bergetar. Air mata saya sempat terpancing keluar. Untungnya masih terkontrol, tidak lantas menangis sesenggukan. Ah, sungguh pengalaman pertama kali baca puisi di hadapan banyak orang yang luar biasa. Saya menikmatinya!

Saya menikmatinya, bukan karena saya merasa sudah berhasil menjadi seorang performer. Bukan karena itu. Saya menikmatinya karena merasa sudah bisa menyampaikan pesan dengan cara yang seharusnya. Meski saya tahu cara saya membawakan puisi pasti tidaklah sebagus Pak Erwin tapi saya sudah berusaha semaksimal mungkin menyampaikan pesan Rendra 7 tahun lalu. Setelah itu, sebuah tanya tersisa di benak saya, “Apakah tujuh tahun lagi – jika saya masih hidup – saya akan mendapati situasi dan kondisi yang relevan dengan situasi dan kondisi tujuh tahun lalu saat Maskumambang dibuat?”

Makassar, 27 November 2016

Selesai

Catatan:
Menjelang meninggal, pada tahun 2009, Rendra membuat satu puisi relijius:
Aku lemas | Tapi berdaya | Aku tidak sambat rasa sakit atau gatal | Aku pengin makan tajin | Aku tidak pernah sesak nafas | Tapi tubuhku tidak memuaskan untuk punya posisi yang ideal dan wajar | Aku pengin membersihkan tubuhku dari racun kimiawi | Aku ingin kembali pada jalan alam | Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah | Tuhan, aku cinta padamu

Semoga semua karya Rendra menyumbangkan amal jariyah yang tak terhingga padanya.
Terima kasih Rendra, melaluimu saya belajar banyak.

***

Tulisan ketiga dari 3 tulisan.

Terima kasih Anna Asriani, panitia Membaca WS. Rendra, dan FKIP UPRI.




Catatan kaki:


[1] Halaman 15 makalah berjudul Membaca Karya Pemikiran WS. Rendra (Analisis Konsep Pendidikan dalam Karya) yang dibawakan oleh Bapak Dr. Sudirman Muhammadiyah pada acara Mengenang WS. Rendra, 19 November lalu di UPRI.


Share :

17 Komentar di "81 Tahun WS. Rendra, Mengenangnya dalam Puisi"

  1. Saya uga sering baca puisi-puisinya WS Renda. Perpustakaan di kampus juga banyak koleksinya.

    ReplyDelete
  2. Usahamu meresapi kata demi kata
    Mengantarkan jiwamu melanglang buana
    Apalah arti performer yang prima
    Karena hatimu dan rasamu
    Telah menyatu dalam sukma

    ReplyDelete
  3. WS Rendra,puisinya keren2....
    yeay,akhirnya pecah telorr

    ReplyDelete
  4. Salah satu pujangga favoritku,

    kagum sama WS Rendra dengan berbagai karyanya yang melegenda

    ReplyDelete
  5. Aku yang ga pernah bisa menikmati puisi
    Ga romantis ya..?

    ReplyDelete
  6. Aku terharu. Karya Rendra memang luar biasa.

    ReplyDelete
  7. Aku ngefans sama Rendra. Kata2nya selalu indah

    ReplyDelete
  8. Wah, saya ngebayangin gimana waktu Mbak Mugniar perform. :). Terakhir baca puisi waktu SMA, itu pun karena ikutan lomba. :)

    ReplyDelete
  9. saya dulu ngefans banget sama puisi-puisinya WS Rendra, maknya dalam banget sih

    ReplyDelete
  10. Penasaran banget dengan kalimat dan kata-kata dalam puisiSajak Gadis dan Majikan. Tapi sayang tidak dituliskan. Seperti apa vulgarnya.
    Aku paling suka dengan puisi WS Rendra, dan aku suka bahkan sering membacakan dalam panggung. Dengan gaya yang liar dan bebas. Pernah mendapatkan piala, juara pertama.

    ReplyDelete
  11. Aku belum pernah membacakan puisi Rendra di depan umum, mba. Padahal suka engan karya-karyanya. Terima kasih tulisannya mba :)

    ReplyDelete
  12. Subhanallah, salam kenal dan saya share yaa.

    ReplyDelete
  13. sebenernya aku ga begitu suka puisi krn srg ga bisa nangkep apa maksdnya... beda dengan puisi2 rendra :).. Kata2nya gamblang dan lgs bisa ketangkap apa maksdnya :)..

    aku jd penasaran ama puisi maskumambang mbak :).. lgs klik link mu yg satunya td :)

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^