Tulisan ini merupakan sambungan dari dua tulisan sebelumnya: Berani Benar Saya Menerima Ajakan Baca Puisi di Depan Banyak Orang! dan Maskumambang: Karya Rendra yang Masih Relevan Setelah 7 Tahun
Tanggal
19 November lalu, saya tiba sebelum acara dimulai. Untungnya pak suami bisa
mengantar saya ke kampus UPRI (Universitas Perjuangan Indonesia) di Antang.
Kalau tidak, entah bagaimana caranya bisa sampai ke sana. Jaraknya jauh dari
rumah kami. Berkelok-kelok pula.
Tak
lama setelah saya mengambil tempat duduk, rektor UPRI – Ibu Prof. Niniek
Lantara tiba di Aula FKIP, tempat dilaksanakannya acara bertajuk Membaca WS
Rendra. Acara ini terselenggara berkat kerja sama Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UPRI dengan komunitas
Lingkar.
Seperti
biasa, acara dibuka dengan serangkaian seremonial berupa kata sambutan dari
ketua panitia, ketua BEM, ketua Prodi (Program Studi) Sejarah, dekan FKIP, dan
rektor UPRI. Rektor UPRI sekaligus membuka acara, dilanjutkan dengan pembacaan
puisi. Ibu Niniek meminta para WR (Wakil Rektor) untuk ikut naik di panggung
bersamanya. Walau tak pernah membaca puisi di depan banyak orang seperti ini,
beliau tetap datang dan menyanggupi untuk membaca puisi guna menghargai usaha
panitia. Ah, kita sama, Bu. Ibu tidak
sendiri. Hari ini juga merupakan kali pertama bagi saya membacakan puisi di
hadapan banyak orang.
Sambutan ketua panitia, ketua BEM FKIP, ketua Prodi Sejarah, Dekan FKIP, dan Rektor UPRI (kanan bawah, kanan tengah, kanan atas, kiri bawah, dan kiri atas) |
Rektor UPRI (berbaju biru) dan para WR |
Membincang Rendra Melalui 3 Nara
Sumber
Usai
kata-kata sambutan ada musikalisasi puisi yang dibawakan oleh beberapa
mahasiswa. Dilanjutkan dengan talkshow tentang
Rendra dengan 3 orang nara sumber: Bapak Muhammad Nawir, SS, Bapak Dr. Sudirman
Muhammadiyah, dan Bapak Dr. Erwin Sirajuddin.
Membincangkan
Rendra, tak lepas dari membincangkan jalan hidupnya yang penuh warna. Bukan
hanya berpindahnya dia dari keyakinan terdahulu kepada Islam, juga mengenai
poligaminya. Namun tentu saja yang lebih banyak dibahas adalah mengenai
kepeduliannya kepada sekitarnya melalui puisi-puisi karyanya. Bukan hanya peka
terhadap keadaan politik, pun peka terhadap keadaan sosial rakyat kecil, Rendra
juga memerhatikan problematika pendidikan nasional di negara ini.
Bapak
Sudirman Muhammadiyah secara khusus membedah mengenai puisi Rendra yang berjudul
Seonggok Jagung. Berikut ini
penggalan puisinya:
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya?
Moderator, Pak Erwin, Pak Nawir, dan Pak Sudirman |
Salah
satu masalah terbesar dalam dunia pendidikan adalah tidak adanya kesenangan
siswa dalam belajar yang berakibat siswa tidak memiliki motivasi dalam belajar.
Atau dalam kata lain, para pelajar teralienasi terhadap proses belajar yang
seharusnya dapat membuat mereka lebih manusiawi. Mengingat pendidikan merupakan
salah satu tolok ukur kemajuan suatu negeri maka jika dunia pendidikan kita
tengah bermasalah, sudah sepantasnya kita memberikan perhatian lebih pada
masalah pendidikan ini [1 → lihat catatan kaki)].
Kisah-kisah
yang dituturkan oleh Bapak Erwin Sirajuddin yang mengidolakan Rendra dan sudah
pernah beberapa kali bertemu dan berbincang dengan almarhum semasa hidupnya
membuat saya terpana. Kisah Rendra yang akhirnya memutuskan menjadi penyair
bukanlah hal yang diputuskan dengan sederhana. Ada “perjalanan spiritual”
panjang yang dialaminya sehingga ia memutuskan “mengerjakan apa yang
dicintainya”. Sebuah kisah lagi yang saya dengar, membuat saya berani mengatakan
Rendra adalah seorang pembelajar yang rendah hati. Dalam sebuah pengajian di
padepokan Emha Ainun Nadjib, Emha memperkenalkan Rendra kepada hadirin sebagai “gurunya”.
Namun Rendra justru mengatakan sebaliknya, bahwa Emha adalah gurunya. Begitu
berartinya sosok Rendra bagi Pak Erwin, Rendra memberinya spirit untuk peka
membaca sekitarnya.
Pak
Nawir mengatakan, dalam membaca puisi harus lengkap, baca teks dan konteksnya.
Begitu pun dalam membaca puisi Rendra. Sajak
Orang Kepanasan misalnya, diciptakan pada tahun 1998, berkenaan dengan
keadaan politik yang lagi panas-panasnya menjelang kejatuhan Presiden Soeharto.
Bagi Pak Nawir, Rendra layak dinobatkan sebagai pahlawan nasional karena “perjuangannya”
menggunakan kata-kata terbilang gencar.
SAJAK ORANG KEPANASAN
-
W.S. Rendra
Karena kami makan akar
dan terigu menumpuk di
gudangmu...
Karena kami hidup
berhimpitan
dan ruangmu berlebihan...
maka kami bukan sekutu
Karena kami kucel
dan kamu gemerlapan...
Karena kami sumpek
dan kamu mengunci pintu...
maka kami mencurigaimu
Karena kami telantar
dijalan
dan kamu memiliki semua
keteduhan...
Karena kami kebanjiran
dan kamu berpesta di kapal
pesiar...
maka kami tidak menyukaimu
Karena kami dibungkam
dan kamu nyerocos bicara...
Karena kami diancam
dan kamu memaksakan
kekuasaan...
maka kami bilang : TIDAK
kepadamu
Karena kami tidak boleh
memilih
dan kamu bebas berencana...
Karena kami semua bersandal
dan kamu bebas memakai
senapan...
Karena kami harus sopan
dan kamu punya penjara...
maka TIDAK dan TIDAK
kepadamu
Karena kami arus kali
dan kamu batu tanpa hati
maka air akan mengikis batu
Ketiga
nara sumber kemudian didaulat membacakan karya Rendra di atas panggung. Saya
terpesona dengan cara Pak Erwin membawakan puisi. Sangat ekspresif. Mimik wajah,
gerak tubuh, dan intonasi dimainkannya dengan amat dinamis. Cocoklah, beliau
ternyata sudah lama malang-melintang di dunia teater dan berprofesi sebagai
dosen di Institut Seni dan Budaya Indonesia Sulawesi Selatan (ISBI Sul Sel).
Salah satu puisi yang dibawakan olehnya adalah Sajak Gadis dan Majikan.
Hadirin |
Kata-kata
dalam Sajak Gadis dan Majikan vulgar. Riuh suara seisi ruangan terdengar ketika
kata-kata vulgar terucap. Riuhnya sama ketika sesuatu yang menyerempet ke arah
yang tabu dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan ditopikkan. Tapi di
antara kata-kata itu, ada kritik Rendra terhadap pendidikan. Sistem pendidikan nasional
dan juga pendidikan dari rumah tangga yang tidak membekali seorang anak dengan pelajaran
mengenai bagaimana membentengi kehormatan diri ketika bekerja agar bekerjanya
tak berarti melayani nafsu bejat atasan. Kalau banyak yang tertawa mendengar
puisi ini, saya tidak.😪 Saya merasa miris dan teriris-iris. Mengapa? Karena saya
perempuan dan saya seorang ibu. Sedih membayangkan ada anak gadis yang tega menggadaikan
kehormatannya demi rupiah yang dijejalkan atasan ke dalam kutangnya.
Membincang Rendra Melalui Warga
Biasa
Saya
yang duduk menyaksikan para nara sumber membaca puisi sempat ketar-ketir. Waswas,
jangan sampai Maskumambang – puisi yang saya pilih untuk saya tampilkan, dibaca
oleh salah satu dari mereka. Ih, tidak seru dan tak surprise kan jadinya kalau saya hanya akan membacakan Maskumambang,
mana sudah riset kecil-kecilan tentang puisi itu pula namun di awal-awal nara
sumber sudah membacakannya? Basi, dong nanti. Akhirnya saya boleh bernapas
lega. Ketiga nara sumber talkshow itu
tak ada yang membawakan Maskumambang. Amanlah saya.
Sebagian pembaca puisi. Kebanyakan tidak biasa membaca puisi di depan umum |
Akhirnya
tiba juga momen yang mendebarkan, ketika satu per satu pengisi acara dipanggil
namanya dan dipersilakan naik ke atas panggung. Kebanyakan bukan orang yang
biasa baca puisi di depan umum. Ada yang berprofesi sebagai dokter, ada
pengacara, guru, tukang ojek, siswa SMA, dan lain-lain. Tiba juga giliran saya,
sebagai “wakil” ibu rumah tangga. Sebelum mikrofon diserahkan kepada saya, saya
merapal do’a Nabi Musa As, do’a andalan saya. Di awal penampilan, saya
memperkenalkan diri. Ini bagian penting, ya ... mana tahu pembaca blog saya
jadi bertambah kan? 😏
Saya
menjelaskan makna Maskumambang (seperti yang saya ceritakan di tulisan berjudul
Maskumambang:
Karya Rendra yang Masih Relevan Setelah 7 Tahun). Saya anggap perlu untuk
menjelaskan karena maskumambang ini
istilah dalam bahasa Jawa. Selain itu, saya mencoba memancing audiens untuk
menyimak puisi yang akan saya bawakan. Setelah itu saya merapal basmalah dan mulai membacakan Maskumambang
karya Rendra.
Saya
mencoba menghayati puisi ini sebisa saya. Pada beberapa bagiannya, saya kembali
bergetar. Air mata saya sempat terpancing keluar. Untungnya masih terkontrol,
tidak lantas menangis sesenggukan. Ah, sungguh pengalaman pertama kali baca
puisi di hadapan banyak orang yang luar biasa. Saya menikmatinya!
Saya
menikmatinya, bukan karena saya merasa sudah berhasil menjadi seorang performer. Bukan karena itu. Saya
menikmatinya karena merasa sudah bisa menyampaikan pesan dengan cara yang
seharusnya. Meski saya tahu cara saya membawakan puisi pasti tidaklah sebagus
Pak Erwin tapi saya sudah berusaha semaksimal mungkin menyampaikan pesan Rendra
7 tahun lalu. Setelah itu, sebuah tanya tersisa di benak saya, “Apakah tujuh
tahun lagi – jika saya masih hidup – saya akan mendapati situasi dan kondisi
yang relevan dengan situasi dan kondisi tujuh tahun lalu saat Maskumambang
dibuat?”
Makassar, 27 November 2016
Selesai
Catatan:
Menjelang meninggal, pada tahun 2009, Rendra membuat satu puisi relijius:
Aku lemas | Tapi berdaya | Aku tidak sambat rasa sakit atau gatal | Aku pengin makan tajin | Aku tidak pernah sesak nafas | Tapi tubuhku tidak memuaskan untuk punya posisi yang ideal dan wajar | Aku pengin membersihkan tubuhku dari racun kimiawi | Aku ingin kembali pada jalan alam | Aku ingin meningkatkan pengabdian kepada Allah | Tuhan, aku cinta padamu
Semoga semua karya Rendra menyumbangkan amal jariyah yang tak terhingga padanya.
Terima kasih Rendra, melaluimu saya belajar banyak.
***
Tulisan
ketiga dari 3 tulisan.
Terima
kasih Anna Asriani, panitia Membaca WS. Rendra, dan FKIP UPRI.
Baca
juga dua tulisan terdahulu, ya: Berani
Benar Saya Menerima Ajakan Baca Puisi di Depan Banyak Orang! dan Maskumambang:
Karya Rendra yang Masih Relevan Setelah 7 Tahun
Catatan kaki:
[1] Halaman
15 makalah berjudul Membaca Karya Pemikiran WS. Rendra (Analisis Konsep
Pendidikan dalam Karya) yang dibawakan oleh Bapak Dr. Sudirman Muhammadiyah
pada acara Mengenang WS. Rendra, 19 November lalu di UPRI.
Share :
Saya uga sering baca puisi-puisinya WS Renda. Perpustakaan di kampus juga banyak koleksinya.
ReplyDeleteUsahamu meresapi kata demi kata
ReplyDeleteMengantarkan jiwamu melanglang buana
Apalah arti performer yang prima
Karena hatimu dan rasamu
Telah menyatu dalam sukma
WS Rendra,puisinya keren2....
ReplyDeleteyeay,akhirnya pecah telorr
Salah satu pujangga favoritku,
ReplyDeletekagum sama WS Rendra dengan berbagai karyanya yang melegenda
Aku yang ga pernah bisa menikmati puisi
ReplyDeleteGa romantis ya..?
Aku terharu. Karya Rendra memang luar biasa.
ReplyDeleteInget masa-masa sekolah. :)
ReplyDeleteAku speechless sama sajaknya.
ReplyDeleteAku ngefans sama Rendra. Kata2nya selalu indah
ReplyDeleteWah, saya ngebayangin gimana waktu Mbak Mugniar perform. :). Terakhir baca puisi waktu SMA, itu pun karena ikutan lomba. :)
ReplyDeleteSaya suka semua puisi Rendra
ReplyDeletethe legend nih ws Rendra
ReplyDeletesaya dulu ngefans banget sama puisi-puisinya WS Rendra, maknya dalam banget sih
ReplyDeletePenasaran banget dengan kalimat dan kata-kata dalam puisiSajak Gadis dan Majikan. Tapi sayang tidak dituliskan. Seperti apa vulgarnya.
ReplyDeleteAku paling suka dengan puisi WS Rendra, dan aku suka bahkan sering membacakan dalam panggung. Dengan gaya yang liar dan bebas. Pernah mendapatkan piala, juara pertama.
Aku belum pernah membacakan puisi Rendra di depan umum, mba. Padahal suka engan karya-karyanya. Terima kasih tulisannya mba :)
ReplyDeleteSubhanallah, salam kenal dan saya share yaa.
ReplyDeletesebenernya aku ga begitu suka puisi krn srg ga bisa nangkep apa maksdnya... beda dengan puisi2 rendra :).. Kata2nya gamblang dan lgs bisa ketangkap apa maksdnya :)..
ReplyDeleteaku jd penasaran ama puisi maskumambang mbak :).. lgs klik link mu yg satunya td :)