Dia yang Pernah Menjadi Ibu Keduaku

Sosok perempuan yang dulu saya anggap ibu kedua saya ini tinggal di rumah kami sepanjang saya bisa menggali ingatan ke masa lalu. Namanya Fatmah Lahay nama kecilnya Siko. Saya dan adik-adik memanggilnya “Tata” karena mengikuti cara ibu kami memanggilnya. Padahal sebenarnya kami tak cocok memanggilnya seperti itu karena “tata” dalam bahasa Gorontalo berarti “kakak”. Ibu saya memanggilnya demikian karena usianya lebih tua daripada Ibu. Tetapi kemudian semua orang memanggilnya dengan sebutan “Tata” dan dia tidak pernah protes. Fine-fine saja dirinya.

Di masa kecilnya dulu, Tata tinggal dengan nenek dan kakek saya di Gorontalo. Tata masih sepupu Ibu. Sejak Ibu dan Ayah menikah pada tahun 1971, Tata pun hijrah ke kota ini. Sehari-harinya Tata senang mengerjakan pekerjaan rumah, terutama memasak. Dalam memasak, kecepatannya boleh dibilang “tinggi”. Pada pukul dua belas siang, beberapa jenis lauk sudah siap terhidang di meja makan.

Tata memang piawai masak. Ia ahli memasak berbagai jenis masakan, mulai dari aneka lauk-lauk hingga kue-kue. Tata pernah bercerita bahwa di zaman kolonial dulu, dia pernah kursus masak. Dulu ia punya resep membuat permen dan cokelat. Ketika kakak-kakak sepupu saya di Gorontalo berulang tahun, dia membuatkan mereka permen dan cokelat. Sayangnya, resep-resep itu sudah raib. 


Sumber: hujanvanilla.blogspot.com

Orang-orang Gorontalo yang merantau di kota ini dulu sering memesan kue atau lauk khas Gorontalo padanya. Semua masakannya istimewa. Lezat sekali. Dan semua resepnya ada di dalam kepalanya. Dalam memasak, dia tak membaca resep lagi. Dia sering memasak kue-kue khas Gorontalo seperti cara isi dan tili aya. Selain itu ia bisa masak kue-kue tradisional lain seperti bakpao, kue dadar, dan kue kura-kura, bahkan ia juga piawai membuat cake.

Aneka masakan lauk-pauk khas Gorontalo dikuasainya. Seperti ila bulo, ayam panggang rica-rica, woku, ilahe, dan lain-lain. Kalau saya dan adik-adik berulang tahun, ia membuatkan nasi kuning dengan lauk ayam panggang rica-rica. Kelezatan masakannya jadi terbayang kembali ketika saya menuliskan ini.

Ia juga suka berjualan es yang dimasukkan ke dalam plastik. Bentuknya seperti tongkat kecil. Dulu harnyanya masih Rp. 100 perbuahnya. Esnya terbuat dari gula merah dan kacang hijau, dititipkan di warung dekat rumah. Dari hasil menjual es dan membuatkan pesanan masakan orang-orang, Tata bisa membeli mebel berupa lemari pakaian dan ranjang kayu. Dia juga membeli kulkas yang kemudian kami pakai hingga bertahun-tahun setelah wafatnya. Dia pun cukup memiliki simpanan berupa uang dan perhiasan emas.

Kepada saya dan adik-adik, dia sangat sayang walaupun tidak berarti dia selalu lembut kepada kami. Perangainya cukup keras. Namun demikian, saya merasakan kasih sayang dalam beberapa bentuk perhatiannya. Sebagai tanda perhatian, saya suka membantunya di dapur walau hanya sekadar mencuci dan memotong-motong sayur atau cuci piring.

Saya tidak tahu tepatnya, sejak kapan ia mengidap penyakit maag kronis dan tekanan darah tinggi. Kedua penyakit ini yang dideritanya sebelum ajal menjemputnya. Di tahun 1991, penyakitnya makin parah. Pada bulan Ramadhan di tahun itu, dia tak berpuasa lagi, hanya membayar fidyah. Tetapi setiap hari, dia berusaha mencarikan kami penganan untuk berbuka puasa karena sudah tak kuat membuatnya.

Menuliskan ini, membuat air mata saya mengalir - ampuni saya ya Allah, saya jarang mendo’akannya. Teringat kembali bagaimana Tata setiap hari berjalan kaki mencari penjual kue untuk buka puasa kami padahal tubuhnya tengah menahan sakit. Saya kira Ibu telah melarangnya tetapi ia tak menggubris.

Kira-kira kurang 5 hari menjelang lebaran di tahun 1991 itu Tata kena serangan stroke. Ayah dan Ibu memasukkannya di rumah sakit. Dua hari ia di rumah sakit. Saya menemani Ibu menjaganya. Sedih rasanya. Teringat ketika beberapa hari yang lalu Tata meminta saya membelikan kue kesukaannya tetapi saya menolak, dengan alasan saya tak melewati daerah tempat kue itu dijual. Ah, andai waktu bisa dimundurkan kembali, saya mau membelikannya kue asalkan dia bisa sehat kembali.

Di rumah sakit itu, untuk pertama kalinya saya mau mencucikan sarung yang kena air seninya. Saya memandangnya dengan perasaan sayang. Tiba-tiba terdengar suara seperti orang mengorok dari tenggorokannya. Keras sekali.

“Ma, minta suster sedot lendirnya!” pinta saya pada Ibu. Ibu cuma mengangguk.

Allah Mahaberkehendak. Tata sepertinya tak mau lama-lama membiarkan kami menungguinya di rumah sakit. Dia pergi di hadapan saya dan Ibu, dalam iringan surah Yasin yang saya bacakan. Tangis saya pecah. Sedih. Juga menyesal sudah berkali-kali membantahnya.

Adik perempuan saya – Mirna menangis. Bahkan adik lelaki saya – Uyi yang ketika itu baru berusia 12 tahun juga menangis. Ternyata kami semua menyayanginya. Teringat, kepadanyalah saya belajar memasak nasi goreng untuk pertama kalinya. Jenis makanan favorit saya dan kini favorit anak-anak saya.  Teringat barang-barang yang dibelikan Tata untuk kami. Teringat pula dosa-dosa kami. Terbit pula penyesalan mengapa dulu saya tak rajin belajar masak darinya.

Penyesalan karena tak membelikannya kue yang dipintanya terbawa terus. Dalam hati saya berdo’a supaya dimimpikan bertemu dengan Tata supaya saya bisa meminta maaf padanya. Rupanya Mirna pun demikian, ia punya penyesalan sendiri dan pada malam harinya – atau keesokan malamnya (saya lupa tepatnya), kami berdua memimpikan hal yang sama: Tata hidup, lalu kami menyatakan permintaan maaf kami kepadanya dan ia menerimanya. Alhamdulillah sedikit legalah hati saya.

Ya Allah, terangilah dan lapangkanlah kubur orang yang pernah berjasa dalam kehidupan saya ini ...


Makassar, 22 Desember 2014






Share :

29 Komentar di "Dia yang Pernah Menjadi Ibu Keduaku"

  1. Al Fatihah...semoga Allah mencurahkan pahala yang banyak

    ReplyDelete
  2. semoga Tata mendapat balasan semua amal kebaikannya amiin...ikut mewek

    ReplyDelete
  3. merinding mak, rasa sayang yg sangat bisa mendatangkan Tata dalam mimpi ...

    ReplyDelete
  4. hiks, ceritanya sedikit memberi kekuatan pada diri kalo semua ini Allah yang maha Kuasa,,, :)

    ReplyDelete
  5. peran dan kebaikan bu tata memang sudah seperti ibu ya mak. ikut mengasuh anak-anak di dalam keluarga. semoga beliau mendapatkan tempat yang indah di sisi-Nya amiin.

    ReplyDelete
  6. Aamiin ya Rabb...
    Eh, akhirnya bisa buka blognya bu... tapi telat karena GA nya sudah habis mi -_-a

    ReplyDelete
  7. Saudara yg sudah seperti ibu sendiri. Smg Tata diampuni dosanya dan dilapangkan kuburnya.
    Sedih Mak bacanya.

    ReplyDelete
  8. membacanya jadi ikut sedih mak... semoga amal ibadah tata diterima di sisi Allah ya mak Niar...

    ReplyDelete
  9. Seorang yg meninggalkan jejak sayang di hati orang-orang di sekelilingnya ya. Semoga dirahmati oleh-Nya, amiin...

    ReplyDelete
  10. Banyak sekali kenangannya ya Mbak...

    Semoga amal ibadahnya diterima dan dilapangkan kuburnya, amiiiiin...

    ReplyDelete
  11. Selain ibu kandung, saya juga memiliki beberapa ibu yaitu bibi dan ibu angkat waktu SMA yang sangat saya hormati dan saya selalu merasa berhutang budi kepada mereka.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah .... Pak Edi, itu salah satu bentuk "kekayaan" :)

      Delete
  12. Selamat Hari Ibu. Mari kita meningkatkan bakti kita kepada Ibu baik yang masih hidup maupun yang sudah mendahului kita dengan cara mendoakan dan meneladani ucapan, sikap, dan tingkah laku yang baik dari beliau.


    Salam hangat dari Surabaya

    ReplyDelete
  13. Amiinnnn.. Selamat Hari Ibu ya Kak :)

    ReplyDelete
  14. Amiin ya Rabb...semoga pesanan nya yang tak didapat malah menjadi doa-doa yang terkirim dari Mak dan adik-adik...Selamat hari ibu yaa...:)

    ReplyDelete
  15. Semoga Tata mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT, aamiin

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^