Bolang Tetangga

Anak-anak sekitar rumah saya bagai bolang. Mereka bermain sejak melek sampai mau tidur, dengan berpindah-pindah tempat. Bisa mulainya di pekarangan masjid, lalu mandi pagi. Kemudian sekolah. Pulang sekolah lanjut bermain di rumah si A. Setelah itu ke rumah si B, setelah itu pulang untuk makan siang.

Lalu lanjut lagi di rumah si C, kemudian sore harinya pulang untuk mandi. Habis itu ke mana lagi. Kalau waktu-waktu shalat mereka ikut shalat di masjid tapi nyaris tak ada orangtua yang membiasakan mereka shalat lima waktu di rumah.

Anak-anak itu bisa membawa peralatan bermain mereka dari rumah, meletakkannya di depan rumah salah seorang warga dan bermain masak-masakan di situ. Ada meja kecil, dan aneka peralatan masak. Bahan-bahannya mereka petik dari tumbuh-tumbuhan di sekitar lingkungan kami.

Memang masa anak-anak adalah masa bermain. Seru juga memperhatikan mereka bermain. Tapi saya pribadi, tak membiarkan Affiq dan Athifah ikut bermain di luar bersama anak-anak ini. Karena bisa ikut-ikutan bermain tak kenal waktu. Sementara anak-anak harus dibiasakan mengerjakan tanggung jawabnya dengan baik, seperti mengerjakan tugas-tugas sekolah.

Kalau bermainnya tak kenal waktu, pulangnya badan sudah lelah, bagaimana bisa berkonsentrasi mengerjakan PR? Saya juga tak biasa dengan cara anak-anak ini bersenda gurau. Rentan melanggar batas-batas kesopanan yang saya anut sementara bagi anak-anak itu, hal tersebut wajar dilakukan. Ada kata-kata makian yang umum diucapkan orang dewasa, terbiasa mereka ucapkan. Orangtua mereka pun membiarkan. Saya tak mau. Akan sulit mengendalikan anak-anak bila sudah terinfeksi pola bermain dan bergaul anak-anak ini.

Jadi Affiq dan Athifah saya batasi pergaulannya dengan tetangga. Sesekali saja mereka boleh bermain di rumah kami. Itu pun saya kontrol perilaku mereka. Kalau batasan yang saya tetapkan mereka langgar, saya tak segan meminta mereka pulang. Tapi, namanya anak-anak, mereka tak memasukkannya ke dalam hati. Bila bertemu di jalan, mereka menegur saya dengan riang. Mereka pun masih suka bermain bersama Athifah.

Athifah sering protes karena tak seperti temannya yang bebas bermain di luar rumah sesuka hati mereka. Tentu saja, saya harus memberikan pengertian kepadanya. Saya katakan, “Anak-anak tidak boleh selalu bermain seperti itu. Kalau terlalu capek bermain, pasti tidak bisa belajar dengan baik. Kalau tidak belajar, bisa jadi bodoh. Athifah mau jadi bodoh?” Athifah menggeleng, “Tidak mau!”

 

Well, bukannya menghakimi anak-anak itu bodoh, mereka sungguh anak-anak yang cerdas. Saya hanya menjaga anak-anak saya saja. Saya ibunya, berhak menetapkan batas mana yang tak boleh dilewati anak-anak saya.

Makassar, 30 Maret 2014

Share :