SOLIDARNOS – Avonturir yang Sensitif dan Baik Hati

Saya membaca Balada Si Roy sewaktu masih jadi cerita bersambung di majalah HAI. Adik saya mengoleksi buku-buku serial Balada Si Roy terbitan Gramedia yang dibelinya awal tahun 90-an. Baru-baru ini, karena penasaran dengan komentar suami saya bahwa SOLIDARNOS adalah yang terbaik (menurutnya) di antara seri-seri lainnya, saya membacanya dan berniat menuliskan ulasannya di blog ini.

Hasilnya? Membaca buku tipis ini, berhasil mengaduk-aduk perasaan saya. Dulu saya membacanya melalui kacamata seorang ABG. Kini saya membacanya dengan kacamata saya sebagai ibu dari 3 orang anak yang satu di antaranya sedang beranjak remaja sehingga membuat saya memandangnya dari sisi lain. 

Dan inilah ulasan saya:
 ***
Sampul dan keterangan Balada Si Roy: SOLIDARNOS terbitan lama
Ukurannya kecil, tipis, dan ringan. SOLIDARNOS, salah satu dari serial Balada Si Roy terbitan Gramedia tahun 1991 ini saat itu masih berharga Rp. 2.500. Walau mini, isinya maxi. Warna dominannya adalah solidaritas persahabatan yang amat kental dari seorang petualang remaja bandel bernama Roy.

Darah mudanya begitu cepat menggelegak ketika Toni sahabatnya yang berkaki buntung dihina oleh 3 remaja. Roy tak terima mendengar ketiga anak bengal itu mengambil kaki palsu milik Toni, membuang kaki palsu itu, lalu menertawakan Toni yang terpaksa melompat-lompat bak kangguru untuk mengambil kembali kaki palsunya.

Di waktu lain Roy yang tengah sensitif, naik darah begitu melihat kelakuan tak sopan tiga orang lelaki di sebuah warung. Seketika ia membuat perhitungan yang membuatnya terlibat perkelahian di depan warung tersebut dan berbuntut panjang karena ketiga lelaki itu tak menerima kekalahan mereka. Saling membalas tentu tak akan pernah menyelesaikan sengketa di antara anak-anak muda namun dengan dibantu sahabatnya, Roy berhasil menyelesaikan permasalahan itu dengan begitu elegan: dengan cara diplomasi.

Sikap meledak-ledaknya muncul di antaranya karena merasa ditolak dengan cara yang tidak fair oleh seorang gadis manis bernama Suci yang menyembunyikan sesuatu. Sinyal-sinyal cinta yang dipancarkannya, diterima dengan manis namun berefek menyakitkan.

Roy tak selamanya berangasan. Ia tersentuh ketika mengetahui permasalahan yang dialami Ayu yang memiliki keluarga yang amat feodal. Perkenalannya dengan Ayu berawal dari kisah “CHOCOLATE 1” yang mengalir manis, mengantarai cerita cintanya kepada Suci hingga bab akhir.

Sensitifitas Roy begitu kuat ketika melihat pelangi. Ia bisa lupa diri sedang berada di mana. Guru Bahasa Indonesianya sampai memberinya waktu untuk menikmati pelangi selama 5 menit. Sungguh guru yang bijak, amat memahami keadaan psikis anak didiknya.

Kenangan yang begitu membekas tentang almarhum ayahnya bangkit bersama rona tujuh warna itu: Kalau kamu sudah besar nanti, Roy, setiap ada pelangi, jangan kamu lewatkan keindahan itu! Pandangi dan bayangkan seperti yang papa ceritakan tadi. Nanti, saat itu kamu akan merasakan dan memperoleh suasana batin yang lain. Ketenangan, keterpesonaan, dan kegembiraan, semuanya melebur jadi satu sewaktu kita melihat pelangi.

Bukan hanya seolah melihat senyum ayahnya bersama pelangi. Merenungkannya, membawa Roy pada kesimpulan: memandangi pelangi lama-lama tidak lain adalah agar kita selalu ingat kepada Yang Melukiskan warna-warna melengkung itu.

Introspeksi diri yang selalu dilakukan Roy layak ditiru para remaja kita. Ia tahu memposisikan diri sebagai anak dari ibunya yang punya penyakit jantung. Ia juga mengambil pelajaran dari Opik – anak yatim piatu yang tinggal bersama mereka. Walau tersendat-sendat karena kelabilan darah mudanya ia pun tahu diri akan kewajibannya sebagai hamba Allah.

Menariknya membaca buku ini, saya tersenyum-senyum karena bernostagia dengan istilah-istilah yang langka bahkan sudah tak ada di zaman sekarang seperti: celana kulot, PMP, TV hitam putih, beli perangko di kantor pos, kartu lebaran, kemeja batik lebaran, dan acara TV Ketupat Lebaran.

Hanya ada beberapa hal yang membuat saya mengernyitkan kening:
  • Dua kali Roy ke rumah Suci, disambut oleh ibu Suci yang mengatakan tak tahu ke mana putrinya pergi. Ini membuat saya bertanya-tanya: dengan setting kota kecil, di zaman itu sudah ada ibu yang begini cuek terhadap anak gadisnya yang masih duduk di bangku SMA? Masa putrinya pergi dengan laki-laki, ia tak tahu ke mana? Atau ia bersekongkol berbohong dengan Suci? Kalau yang ikut berbohong adik Suci, masih masuk akal. Tetapi seorang ibu berbohong untuk hal yang tidak penting?
  • Istilah AVONTUR tak begitu lazim digunakan, tak seperti BERPETUALANGAN. Tetapi di buku ini beberapa kali disebutkan oleh orang-orang berbeda.
Balada Si Roy diterbitkan kembali.
Sinopsisnya bisa dibaca di:
http://www.gramediapustakautamas.com/buku-detail/86353/Balada-si-Roy-3
  • Roy tak konsisten menyebut dirinya. Suatu waktu ia menggunakan kata AKU di waktu lain ia menggunakan kata SAYA. Biasanya seseorang, dalam spontanitasnya konsisten menggunakan AKU saja atau SAYA saja untuk menyebut dirinya.

Menerbitkannya kembali tak bakal menurunkan kualitas buku ini karena saratnya manfaat di dalamnya. Buku ini bukan hanya layak dibaca oleh para remaja kita, juga oleh para orangtua yang berkeinginan menjadi pendidik terbaik bagi anak-anak mereka.

Bagaimana cara Roy dalam membela Toni dan menyelesaikan permasalahan dengan 3 lelaki di warung makan? Apa yang disembunyikan Suci? Adakah yang terjadi antara Roy dan Ayu? Yuk temukan dalam SOLIDARNOS.

Eh … tapi ini kan resensi buku terbitan lamanya? Tenang, SOLIDARNOS (menjadi Balada Si Roy 3: Blue Ransel – SOLIDARNOS) dan semua seri Balada Si Roy diterbitkan ulang oleh Gramedia, pastinya dengan penyempurnaan di sana sini oleh penulisnya dan sesuai untuk bacaan di zaman ini. Apalagi setelah 25 tahun "usia" Balada Si Roy, penulisnya semakin matang dalam menulis dan memandang kehidupan. Boleh dicari di toko buku di seluruh Indonesia J.


Makassar, 23 Agustus 2013



Share :

12 Komentar di "SOLIDARNOS – Avonturir yang Sensitif dan Baik Hati"

  1. kalau karya Golagong mmg asyik2 mbak. Dulu kayaknya kontributor utk cerpen secara rutin di majalah remaja, yg srg saya baca di ANita cemerlang kayaknya.

    Oia, minal aidhin wal faidzin ya mbak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dulu Balada Si Roy kan cerbung di HAI. Ada karya2 lainnya tapi yang saya ingat cuma BSR. Maaf lahir batin ya mbak Ri :)

      Delete
  2. aku belum pernah baca, bun. tahun segitu aku baru 3 tahun. :')

    ReplyDelete
  3. Kalo liat ceritanya sampeyan, sepertinya ceritanya seru banget mbak...

    semoga nanti bisa berkesempatan untuk tumbas dan baca bukunya :D

    ReplyDelete
  4. kalau buku karya Gola gong memng bagus2 kisahnya

    ReplyDelete
  5. Hahaha, karna dulu sering baca HAI tapi hampir lupa aja ama Balada si Roy ini! Dan dari ulasan Bu Mug, ingetan gue jadi balik lagi. Ketika majalah sejenis amat kental ama kata2 prokem, misal: doi, doku, ogut, dll.

    Dan akhirnya Ibu pun jd penganalisa yg handal! Hehe..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Naaaah sekarang sudah terbit lagi ... tapi lebih asyik kalo bacanya di saat sudah punya anak biar bisa memahami dunia remaja karena kita bukan ABG lagi :D

      *Segera cari jodoh gih*

      Delete
  6. masih TK tanteeeee hehehehe
    kalo baca2 ini emang teringat cerita2 semacam si boy, lupus dkk nya ^_^

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^