Menangis dan Makan Bisa Berarti Meratap

Seorang gadis cerdas meninggal dunia di usia dua puluhan. Sebenarnya ia sudah bahagia tetapi sesuatu membuatnya mendatangi alam bawah sadar seorang bijak, sahabat keluarganya.

“Om, tempatku sebenarnya sudah bagus di sini tetapi Saya tidak bisa menikmatinya. Saya malah disiksa karena ibuku. Tolong sampaikan kepada ibuku, janganlah ia menangisiku begitu rupa,” ujar sang gadis sendu.

Ibu dan kerabat dari sang gadis itu menyesal. Mereka baru sadar bahwa sebenarnya banyak hal yang mereka bisa perbuat untuk “menyelamatkan” nyawa sang gadis. Sayang mereka baru ngeh pasca perginya ia untuk selama-lamanya. Ibunya bahkan mencoba membentur-benturkan kepalanya di dinding.

Alkisah[1] di masa lalu, Shalih al-Marri tertidur  saat sedang berada di sebuah pekuburan. Ia bermimpi melihat kuburan yang membelah. Keluarlah beberapa orang yang telah mati. Di antaranya ada seorang anak muda yang mengalami berbagai siksaan. Shalih bertanya padanya, “Ada apa denganmu hai Anak Muda? Mengapa Engkau disiksa sementara kaummu tidak?”


Sumber: blogger-alam.blogspot.com
“Hai Shalih, demi Allah. Engkau harus menyampaikan apa yang aku perintahkan dan amanatkan kepadamu. Bantulah keterasinganku. Mudah-mudahan Allah menjadikan jalan keluar bagiku dari siksa ini melaluimu. Ketika meninggal Aku mempunyai seorang ibu. Ibuku mengumpulkan beberapa orang untuk meratapiku setiap hari. Akibatnya Aku disiksa dengan api dari kanan dan kiri, dari depan dan belakang. Mudah-mudahan Allah tidak memberikan kebaikan kepadanya.”

Pemuda itu menangis. Shalih pun ikut menangis. Pemuda itu menitip pesan untuk disampaikan kepada ibunya, “Mengapa Engkau menyiksa anakmu yang Engkau urus sejak kecil dengan baik dan Engkau lindungi dari berbagai bahaya? Mengapa Engkau menjerumuskanku ke dalam siksa? Wahai Ibu, jika Engkau melihatku sementara berbagai belenggu berada di atas pundakku, rantai membelit kakiku, dan malaikat penyiksa menghardik dan memukuliku, Engkau akan merasa kasihan kepadaku. Apabila Engkau tidak menghentikan perbuatanmu, Aku akan mendakwamu pada hari penghisaban!”

Shalih terbangun kaget. Ia termenung dalam bingung. Akhirnya ia memutuskan mencari ibu kandung pemuda yang dilihatnya dalam mimpi, berdasarkan alamat yang diberitahukan kepadanya. Maka sampailah Shalih ke pintu rumah ibu pemuda tersebut.

“Aku bermaksud menemui ibu dari anak muda yang telah mati itu,” kata Shalih.
“Mau apa Engkau kepadanya? Dia sedang hanyut dalam kesedihan,” kata seorang nenek yang menyambutnya.
“Aku akan menyampaikan hal yang aku terima dari anaknya,” ujar Shalih.

Nenek itu memanggil ibu dari pemuda tersebut. Sang Ibu mengenakan baju hitam. Mukanya tampak hitam akibat banyak menangis dan dipukuli oleh tangannya sendiri. “Siapakah Engkau?” tanyanya.

Shalih memperkenalkan dirinya dan menceritakan mimpinya. Sang ibu yang mendengar dengan seksama kemudian jatuh pingsan. Ketika sadar ia menangis keras, “Duhai anakku. Jika mengetahui akan seperti itu keadaanmu akibat ulahku, Aku tidak akan melakukan perbuatan seperti itu. Sekarang Aku bertobat kepada Allah.”

Si ibu membubarkan orang-orang yang meratap bersamanya tadi. Ia mengganti bajunya dan mengeluarkan sebuah kantung kecil berisi uang dirham yang sangat banyak. “Wahai Shalih, tolong sedekahkan uang ini atas nama anakku,” pintanya. Shalih kemudian pamit pulang dan menyedekahkan sekantung uang itu.

Malam Jum’at berikutnya, Shalih mendatangi kembali pekuburan itu. Ia tertidur dan bermimpi. Ia bertemu dan bercakap-cakap dengan pemuda yang sama tapi kali ini keadaannya berbeda. Pemuda itu tampak bahagia. “Hai Shalih, semoga Allah membalas kebaikanmu. Allah telah meringankan siksaku. Hal itu disebabkan ibuku sudah tidak meratapiku dan apa yang disedekahkannya sampai kepadaku,” tuturnya.

Shalih kemudian bertanya tentang talam yang dilihatnya turun kepada orang-orang yang telah meninggal di situ. Pemuda itu menjawab, “Talam tersebut adalah hadiah dari orang-orang yang hidup kepada yang meninggal. Ia berupa sedekah, bacaan, dan do’a. Semua hadiah itu turun kepada mereka setiap malam Jum’at. Pada setiap hadia itu ada tulisan ‘hadiah untuk si fulan’. Sekarang tolong Engkau kembali kepada ibuku dan menyampaikan salamku kepadanya serta sampaikanlah, semoga Allah membalas kebaikannya.”

Ratapan bisa terjadi dalam bentuk lain. Bila ada di antara kita yang tak mau ikut menikmati makanan dan minuman pada acara takziah hari ke sekian. Boleh jadi, mereka berpendapat bahwa makan dalam acara seperti itu adalah sebuah bentuk ratapan.

Tak perlu ribut dengan pendapat seseorang. Mereka berkenan datang adalah untuk menghormati tuan rumah atau pengundang. Kalau tak sependapat, diam saja. Maklumi saja. Adapun dasar yang mereka gunakan adalah hadits: “Kami (para shahabat) memandang berkumpul-kumpul ke rumah keluarga si mati dan mereka membuat makanan sesudah di mati dikuburkan, adalah bagian dari ratapan.” (HR. Ahmad).

Bisa jadi makanan yang disediakan hantaran dari orang lain. Tapi itu tidak menjadikan alasan bagi orang yang tak mau makan di acara takziah untuk ikut mencicipinya. Biarkan saja, cukuplah kita dengan pendapat masing-masing. Toh pada akhirnya masing-masing kita akan mempertanggungjawabkan pendapat kita masing-masing?

Dalam sebuah buku[2] disebutkan bahwa yang dikehendaki oleh agama ialah: para jiran dan para kerabat orang yang meninggal, mengantarkan makanan untuk isi rumah yang meninggal, sekadar cukup dimakan oleh mereka pada hari kematian itu dan malamnya.

Masih menurut buku itu: perbuatan masyarakat sekarang yaitu sengaja mendirikan tenda tempat-tempat berteduh untuk meramaikan tempat-tempat orang yang meninggal untuk semalam lamanya ataupun menunggu takziah adalah perbuatan yang haram, karena diserupakan dengan perbuatan ratapan jahiliyah. Berbagai alasan mereka gunakan, di antaranya adalah bahwasanya Nabi Saw pernah diundang oleh seorang wanita yang kematian untuk makan di rumahnya tetapi riwayat yang mereka sampaikan tidak shahih. Oleh karenanya kita sama sekali tak dapat berpegang kepadanya.

Wallahu a’lam. Saya bukanlah seorang ahli. Untuk pembahasan terakhir, hanya sekadar menyampaikan bahwa kita semua boleh memilih sikap masing-masing akan sesuatu hal. Saat ini, orang yang tak mau ikut makan di acara takziah dianggap aneh malah terkadang diolok-olok. Sebaiknya kita saling menghargai sikap orang lain dan memahami bahwa pada akhirnya kita tentu harus mempertanggungjawabkannya di hadapan mahkamah Allah.

Makassar 17 Agustus 2013

PESAN UNTUK ANAK-ANAK SAYA:

Anak-anakku sayang …. jika suatu saat, ajal menjemput saya. Saya tak mau ada acara-acara takziah hari kesekian, hari kesekian sampai sekian hari. Cukup do’a kalian untuk saya. Kalau ada kelebihan rezeki, mau kalian sedekahkan atas nama saya atau atas nama kalian pun terserah. Lebih baik kalian bersedekah daripada membuat acara. Jangan sampai saya disiksa atas ratapan kalian padahal saya tak pernah mengajarkan kalian untuk meratap.




[1] “Ratapan Seorang Ibu” yang terdapat pada halaman 248, buku 70 Kisah Teladan Berdasarkan al-Qur’an dan Hadis-Hadis Pilihan karya Dr. Musththafa Murad, terbitan Al-Bayan tahun 2006 (cetakan ketiga).
[2] Halaman 312 buku Koleksi Hadis-Hadis Hukum jlid 6, karya Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, diterbitkan oleh Yayasan Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy tahun 2000 (cetakan kedua)


Share :

7 Komentar di "Menangis dan Makan Bisa Berarti Meratap"

  1. membaca tulisan terakhir..demikianlah kiranya yang memang semestinya kita lakukan sebagai umat muslim....,
    masih suasana lebaran kan,
    sambil ngucapin mohon maaf lahir batin, sambil mata lirak lirik kiri kanan nyari ketupat,
    happy independence day for my Indonesia...merdeka :-)

    ReplyDelete
  2. baca ini baru ngeh.. sepekat bunda.

    bukunya perlu dibaca dan diberitahukan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sayangnya bukunya sepertinya sudah tak terbit lagi ...

      Delete
  3. Bismillah, semoga demikian dengan saya---seperti doa bunda niar...

    tapi di kampung saya masih banyak acara setelah kematian seseorang bund, ada seseorang yang tak mau menyelenggarakannya, eh malah dicemooh sama warga---kasihan, kadang adat istiadat memang sangat susah di hilangkan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Begitulah mbak. Di daerah saya juga sama, di kota besar ataupun di kampung2 masih seperti itu pula. Adat pun bercampur dengan yang orang kira syar'i ya mbak

      Delete
  4. inspiratif sekali mak. sptinya saya jg akan buat 'wasiat' spt yg ditulis mak Niar di akhir tulisan.

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^