Tertohok – Bagian 1

Sumber gambar: http://coolbuzz.org
"Saya sudah sekolahkan tapi ia cuma jadi ibu rumahtangga."


Jleb.

Lagi-lagi Riestya mendengar ibunya mengucapkan kalimat bernada sesal yang mengacu kepada dirinya, saat ia muncul ke ruang tamu.

"Anak-anak perempuanku semua cuma jadi ibu rumah tangga. Padahal sarjana," lanjut sang ibu lagi.

Ibunya tengah berbincang dengan seorang kerabat yang juga 'bernasib' sama: semua anak perempuannya yang sarjana 'hanya' menjadi ibu rumahtangga.

Sudah lebih dari belasan kali ibunya mengatakan hal ini, menandakan kekecewaan dan ketakrelaan.
Riestya menarik napas. Ia merasa pilu.
Kalimat yang sama jika diucapkan dua orang berbeda, rasanya pun berbeda.
Jika hanya tetangga yang mengucapkan, rasanya paling hanya seperti ditampar semut.
Tapi jika ibu kandung yang mengucapkan?
Oh ... seperti ditohok sembilu hingga memorak-porandakan jantungnya!

Bukannya sakit hati. Bukan.
Kalimat itu membuatnya merasa menjadi anak durhaka yang telah membuat pilihan hina: menjadi full time mother.
Ia bagai sedang memakan buah simalakama, antara ibu dan keluarga kecilnya. Padahal ia mantap dengan pilihan yang diambilnya dengan filosofi yang benar. Apalagi takdir memang mengantarkannya kepada pilihan ini.

Saat lulus kuliah sebuah kebetulan yang dahsyat merusak impiannya untuk bekerja di perusahaan terkenal. Saat itu krisis politik dan ekonomi tiba-tiba melabrak semua sistem termasuk rekrutmen tenaga kerja. Selama berbulan-bulan, koran Minggu yang biasanya penuh info lowongan kerja mendadak sepi. Akhirnya sebuah perusahaan jasa komputer kecil bersedia menerimanya.

Ia sempat lulus tes tahap pertama perusahaan perkebunan nasional setahun setelah kelulusannya. Peluang sebenarnya besar karena untuk daerahnya, hanya ia seorang calon tenaga kerja untuk bagian IT. Tetapi kala itu ia sudah punya niat hendak menikah. Seorang laki-laki sudah melamarnya secara personal, tinggal menghadap kepada orangtuanya.

Riestya gagal di tes wawancara psikologi. Psikolog mengejarnya dengan pertanyaan seputar pernikahan. Ia gelagapan, tak bisa menjawab dengan mantap karena calon suaminya bekerja di pulau lain. Tak mungkin setelah menikah ia bekerja di bagian timur Indonesia sementara suaminya di bagian barat Indonesia. Itu bukanlah model pernikahan ideal.

Sumber gambar: http://kicktheballs.wordpress.com
Empat bulan berselang, ia menikah dan mengikuti suaminya ke pulau seberang. Saat belum memiliki momongan ia sempat mengikuti tes di perusahaan tempat suaminya bekerja tetapi lagi-lagi ia gagal. Tak lama kemudian ada detak napas kehidupan ditakdirkan Allah bersemai dalam rahimnya dan membuatnya terus belajar, mencari makna peran ibu.

Pembelajaran dan perenungan membuatnya kepada kesimpulan untuk menjadi full time mother demi generasi penerusnya. Ia tak mau kehilangan sedetik pun moment berharga bersama buah hatinya. Ia tak mau ada orang lain di antara ia dan buah hatinya. Ia sadar sepenuhnya, apapun jadinya buah hatinya kelak - ia yang akan bertanggung jawab penuh, bukan orangtuanya, bukan pula pengasuh anak. Maka ia harus memastikan segala sesuatu yang menyangkut anak-anak berada dalam kendalinya.

Ia sadar, mengasuh anak bukan sekadar mencukupkan pangan, sandang, dan papan. Ia harus mengisi hati dan mental mereka dengan berbagai hal positif. Mengasuh anak adalah pekerjaan dunia-akhirat yang hasilnya bukan hanya yang kelihatan di dunia tetapi juga harus mampu ia pertanggungjawabkan di akhirat. Ia sudah menyaksikan banyak orang yang sekilas kelihatan shalih padahal memiliki akhlak tercela yang membuat ibunda mereka senantiasa mengurut dada.

Ia sering tergugu, menghiba kepada Allah agar anak-anaknya dijauhkan dari kerusakan zaman yang makin dahsyat. Ia demikian takutnya karena tanggung jawabnya sebagai ibu bagai menggadaikan akhiratnya. Sungguh, peran ibu teramat berat.

Seseorang yang 'bernasib' sama dengan dirinya - sebut saja namanya Maisarah pernah bertukar cerita dengan dirinya.

"Dulu waktu kami masih kecil, banyak keluarga dari kampung yang tinggal di rumah. Jadi mereka membantu mengurusi kami. Zaman sekarang susah cari keluarga yang bisa menemani, apalagi pembantu," tutur Maisarah.

Ibunda Maisarah dulu berkarir di kantor, rupanya ia pun mengukur dirinya dengan putrinya.

"Sama Mai, di rumahku dulu juga begitu. Ada sepupu-sepupu, om-om, dan tante-tante. Mereka membantu menjaga kami," sahut Riestya.

Ibu dan ayah Riestya dulu bekerja di kantor yang sangat dekat dengan rumah mereka. Berbagai hal yang tak bisa diperbandingkan, selalu diukurkan sang bunda kepada dirinya.


* Seperti yang dialami Riestya*



Makassar, 5 April 2012

Silakan dibaca juga ya ...



Share :

10 Komentar di "Tertohok – Bagian 1"

  1. your post is nice.. :)
    keep share yaa, ^^
    di tunggu postingan-postingan yang lainnya..

    jangan lupa juga kunjungi website dunia bola kami..
    terima kasih.. :)

    ReplyDelete
  2. tokohny fiksi y mb? :)
    pesan²ny dapet...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nyata dong say .. makanya pesan2nya dapet :)

      Delete
  3. Dan mengasuh anak tanpa memperdulikan suara-suara di sekitar kita. Lanjut...

    ReplyDelete
  4. Nice story mbak
    ditunggu lanjutanya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sudah ada mbak Ecky, di atas potingan ini ... :)
      Terimakasih ya sudah mampir ..

      Delete
  5. mantab gan cerita nya,,,,,

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^