Perempuan, dari Dunia Dongeng Hingga Dunia Nyata

Tulisan ke-3 dari Seminar Internasional bertajuk Kartini Zaman Baru: Reflections on the Condition of Contemporary Indonesian Women yang diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Sejarah FIB UNHAS.

Lama juga Dr. Cote membawakan materinya: 40 menit. Dua jam pun saya tidak keberatan karena materi yang dibawakannya menarik sekali, mengenai sisi Kartini yang tidak diketahui banyak orang. Namun tentunya keseluruhan waktu harus dibagi pula dengan pemateri lainnya. Berikutnya giliran Michiko Hosobuchi dari Tokyo Metropolitan University, orang Jepang yang meneliti tentang peran perempuan di dua kampung di Jakarta.

Kiri-kanan: Pak Bahar, Pak Fatikul, Pak Dias, Ibu Michiko, Ibu Yostiani
Michiko tampil sebagai pembicara pertama pada sesi I. Judul makalahnya adalah The Good Kampung Woman and Kampung Accountability, A case Study of Two Kampung in Jakarta.

Michiko diminta untuk presentasi dengan Bahasa Indonesia karena dia cukup fasih berbahasa Indonesia. Hal ini dilakukan supaya ia bisa langsung berkomunikasi dengan audiens yang hadir di Gedung IPTEK UNHAS, tempat seminar internasional ini berlangsung.

Michiko berada di Jakarta pada tahun 2008 untuk meneliti Kampung Pejaten dan Kampung Jawa, dekat Kali Ciliwung, di daerah Pasar Minggu. Dia tinggal di sebuah toko kain dan setiap harinya bergaul dengan dan mengamati orang-orang kampung.

Michiko mempelajar sejarah Jakarta beserta kampung-kampungnya (yang katanya total ada 350 kampung di dalamnya!). Eh, yang dia pelajari dengan seksama dua kampung yang ditelitinya saja, sih tapi sejarah umumnya tentang kampung-kampung dia tahu.

Michiko menceritakan tentang image kampung yang berubah. Dulu ada nilai gotong-royongnya, sekarang tidak lagi (tepatnya sejak tahn 2000). Ada pula perubahan peran ibu karena “natural disaster’ (kayaknya yang dimaksudnya adalah banjir).

Jujur saja, saya tidak begitu memahami presentasinya. Begitu pun dengan makalahnya. Saya tidak tahu hendak menyimpulkannya bagaimana. Hal ini, mungkin disebabkan karena bidangnya tidak masuk dalam perhatian saya atau saya tidak cukup capable. Mungkin juga kalau diminta untuk berbahasa Indonesia secara formal, Michiko sulit mengungkapkan isi pikirannya. Namun tidak demikian halnya ketika berbincang santai. Saya melihat Michiko bercakap-cakap dengan orang-orang dengan begitu bagusnya. Saya pun sempat ngobrol sedikit dengannya di akhir acara dan rasanya bisa nyambung dengannya. Mohon maaf, ya, saya hanya bisa menuliskan ini.

Pada sesi panel I ini, Michiko duduk bersama 3 nara sumber lainnya, yaitu: A. Fatikul Amin Abdullah (dari STKIP PGRI Sidoarjo), Yostiani Noor Asmi Harini (dari UPI Bandung), dan H. Muhammad Bahar Akkase Teng (dari UNHAS). Diskusi dipandu oleh Pak Dias Pradadimara.

Saya suka quote dari Ibu Yostiani ini. Keren. Saya sepaham dengan ini.
Pak Fatikul mempresentasikan makalahnya yang berjudul Women’s Movement in Indonesia 1928 – 1974, Demands Equal Rights in Household and Marriage (Gerakan Perempuan Indonesia Tahun 1928 – 1974 Menuntut Persamaan Hak dalam Rumah Tangga dan Perkawinan).

Makalah tersebut berdasarkan penelitian Pak Fatikul yang bertujuan untuk menjawab permasalahan: bagaimana perjuangan perempuan Indonesia untuk merealisasikan persamaan hak dalam rumah tangga dan perkawinan.

Pada bagian akhir presentasinya, Pak Fatikul menyampaikan mengenai pengaruh gerakan perempuan di Indonesia pada kurun waktu 1928 – 1974. Menurutnya, sebuah gerakan dikatakan berhasil apabila mampu mempengaruhi kebijakan. Keberhasilan pergerakan perempuan Indonesia pada masa itu mewujud dengan disahkannya Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974. undang-undang tersebut memuat persamaan hak dalam rumah tangga dan perkawinan.

Pada tanggal 22 Desember 1973, pada sidang Paripurna yang dihadiri 369 orang dari 460 anggota, DPR mengesahkan UU Perkawinan secara aklamasi, sebagai kado pemerintah kepada kaum perempuan di seluruh Indonesia pada peringatan Hari Ibu. Wow, ternyata begitu sejarahnya, yah.

Ibu Yostiani membawakan makalah dari penelitiannya yang berjudul Dari Nini Anteh ke Kartini: Representasi Kemandirian Perempuan dalam Dongeng dan Sejarah. Nini Anteh adalah sosok yang terdapat dalam dongeng masyarakat Sunda yang bertransformasi dari bercak hitam yang terlihat di bulan pada malam bulan purnama. Ia lazim didongengkan nenek kepada cucunya pada malam bulan purnama. Di dalam masyarakat Sunda sendiri, ada 14 versi dongeng Nini Anteh. Nini Anteh adalah perempuan biasa (bukan bangsawan) yang tidak tunduk pada aturan yang tak adil. Nini Anteh kemudian pergi ke bulan dan memproduksi tekstil di sana.

Ibu Yostiani memaparkan tujuan penelitiannya adalah memperoleh deskripsi yang mendalam tentang representasi kemandirian perempuan dalam dongeng (sosok Nini Anteh) dan narasi sejarah (sosok Kartini). Penelitiannya diharapkan memberikan informasi tentang simpul-simpul yang mempertautkan  teks dengan representasi kemandirian perempuan dalam masyarakat. Juga diharapkan dapat  memberikan informasi tentang konstruksi perempuan melalui teks.

Menarik sekali makalahnya. Baik dalam dongeng maupun sejarah, ada kisah kemandirian perempuan Indonesia (baik itu mudah ataupun sulit dicapai). Di bagian akhir makalahnya, Bu Yostiani menyimpulkan pula bahwa:
Melalui pendidikanlah kemandirian perempuan dapat diraih. Nini Anteh bukan sekadar sosok dalam dongeng pelipur lara bagi anak-anak di masa lampau dan Kartini bukan sekadar sosok yang ada dalam sejarah.  Keduanya merupakan bagian dari sebuah wacana global yang memiliki muatan politis.

Terakhir, Pak Bahar Akkase Teng membawakan makalah yang berjudul Perempuan dalam Berbagai Perspektif (Politik, Media, dan Psikologi). Pada bagian penutupnya, Pak Bahar mengungkapkan beberapa hal, di antaranya bahwa:
  • Paham-paham politik yang timbul di dunia barat lambat laun menular pula ke dunia timur.
  • Di era globalisasi ini, dalam media massa citra perempuan terasa meriah, menyita sebagian besar produk jurnalistik, mulai dari cover majalah, pajangan utama infotaiment,  iklan televisi sampai berita-berita yang berkenaan dengan perempuan berpolitik ataupun politik keperempuanan.
  • Pandangan para  psikolog mengenai gender  adalah menyangkut karakteristik kepribadian yang dimiliki oleh individu, yaitu maskulin, feminisme, androgini dan tak terbedakan. Masing-masing karakteristik kepribadian gender tersebut memiliki karakteristik tersendiri, yang mempengaruhi perilaku seseorang.

Sampai sini, sesi panel 1 selesai tapi masih ada lanjutannya :) 
Makassar, 24 Mei 2016

Bersambung

Daan tulisan yang ada hubungannya ini yaa:



Share :

8 Komentar di "Perempuan, dari Dunia Dongeng Hingga Dunia Nyata"

  1. Duuuh kadang kalau ikutan semacam seminar gini biasanya saya lebih banyak ngantuknya mbak. Kecuali materinya benar-benar menarik seluruh jiwa raga :D

    Terkadang orang pintar belum tentu bisa dengan pintar memberi penjelasan dan menarik audiens.

    ReplyDelete
  2. wah ada orang jepang yang bisa ngomong fasih bahasa indonesia :D

    ReplyDelete
  3. Salut sama narasumber yang mampu memaparkan esensi dari "Kartini" dengan sudut pandang berbeda namun tetap satu tujuan. Dan setuju juga sama kutipan ibu Yostiani, kalau wanita harus cerdas, minimal supaya tidak bisa dibodoh-bodohilah...hehe...

    ReplyDelete
  4. Sekarang perempuan yang berprestasi semakin banyak, selain itu mereka tanpa lelah menebar inspirasi. Tak lagi seperti abad ke 18 saat 'kedudukan' perempuan tak pernah diakui. dan 'suara' perempuan merupakan suara sumbang yang harus dibungkam.

    ReplyDelete
  5. saya juga suka dan setuju sama quote diatas mba...

    ReplyDelete
  6. Kartini yang berbeda dan nyataa... pembahasan yang sangat baguss

    ReplyDelete
  7. wah, saya jadi pengin ikutan acara seminar ini deh, semoga aja suatu saat ada kesempatan

    ReplyDelete
  8. saya kurang tau tentang nini anteh, menarik... browsing ah...

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^