Membangun Percaya Diri Anak Sebagai Rangkaian Kebiasaan Bermakna

Judul: Membangun Rasa Percaya Diri Anak
Penulis: Henny Puspitarini
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tahun terbit: 2014
ISBN: 978-602-02-3956-9
Ketebalan: 258 + X halaman
Ukuran: 21 cm x 14 cm

Bahwa yang membentuk kepribadian kita adalah apa yang kita lakukan berulang kali. Membangun rasa percaya diri pun merupakan rangkaian kebiasaan orang tua, dipandu kesabaran dan percaya sepenuhnya pada anak (halaman V).

Pendapat yang disarikan dari pengalaman dan pengamatan penulis kepada kedua buah hatinya dan anak-anak di daycare yang dikelolanya itu sejalan dengan pendapat Kak Seto – ketua Komnas Perlindungan Anak, bahwa: percaya diri anak memang harus ditumbuhsuburkan karena dapat mengasah kreativitas. Ini sangat penting agar anak-anak bisa menjadi kidpreneur. Kidpreneur yang dimaksud bukan hanya untuk menjadi pengusaha tetapi lebih luas lagi, agar anak mampu menggali potensi dirinya dan mengembangkannya agar bermanfaat bagi dirinya dan orang lain (halaman 6).



Menurut penulis, rasa percaya diri anak sebenarnya sudah ada sejak dalam kandungan, saat baru lahir, dan semasa bayi. Hal ini bisa diamati, misalnya saat proses inisiasi menyusui dini dilakukan seketika setelah bayi lahir. Saat itu, bayi sudah mampu bergerak mencari sumber mata air kehidupan di dada ibunya. Sudah banyak yang membuktikannya, terlihat betapa sang bayi cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang baru, memiliki inisiatif, dan kreatif (halaman 27).

Seiring perkembangannya, orang tua banyak berperan dalam membangun kepercayaan diri anak. Orang tua yang tak paham bisa menyebabkan anaknya memiliki rasa percaya diri yang lemah, bahkan tak bisa menikmati dunia kanak-kanaknya. Penulis memaparkan berbagai kasus sehubungan dengan hal  tersebut dalam buku ini.

Penulis yang pernah aktif sebagai trainer motivasi ini menjelaskan dengan rinci berbagai langkah yang bisa dilakukan orang tua dan guru agar percaya diri anaknya bisa terbangun dengan baik. Berbagai contoh dituliskan, beserta teori atau pendapat para ahli yang mendukungnya.

Misalnya tentang bagaimana menghadapi anak-anak yang tidak mau berteman padahal teman-temannya selalu mengajaknya bermain. Mereka bersikap demikian karena merasa minder dengan keadaan dirinya. Pada akhirnya, pendekatan yang dilakukan guru berhasil mencairkan kebekuan yang terjadi (halaman 40).

Agar rasa percaya diri bisa terbangun dengan baik, anak-anak perlu dibiarkan menikmati hidup, jangan sampai terbebani oleh gerak modernisme yang semakin cepat untuk kepentingan orang tua. Untuk itu, penulis memberikan kiat-kiat beserta contohnya, seperti: mengkhususkan waktu berkualitas 2 jam per hari, mengerjakan hal yang bisa dilakukan bersama, mengondisikan pagi yang menyenangkan, dan membiarkan anak bereksplorasi (halaman 100 – 116).

Selain itu, orang tua harus tahu karakteristik anak (halaman 131), gaya belajar anak (137), jenis kecerdasannya (agar bisa mempelajari potensi anak) dan bagaimana menstimulasinya (halaman 149), bagaimana mengatasi kegagalan (halaman 198), dan menjaga lisan (halaman 228) agar usaha membangun percaya diri anak makin maksimal.

Nasihat berikut patut direnungkan: pendidikan bukanlah seperti mengisi ember kosong. Kepala anak bukanlah ember kosong yang bisa diisi sesuka kita. Anak sudah dikaruniai kelebihan dan inilah yang harus dimaksimalkan. Membebaninya dengan ambisi yang kelewat batas dan di luar potensinya akan mendatangkan hal buruk (halaman 196).

Ada beberapa kekurangan buku ini, yaitu: pemakaian istilah “penyakit mental” (halaman 65) dan “pola asuh yang salah” (halaman 123) yang kurang tepat, tak ada keterangan pada beberapa gambar (halaman 8, 148, 196), pemakaian istilah nglokro yang tidak dapat dipahami di seluruh Indonesia (halaman 201), dan kesalahan pemenggalan kata (halaman 24).

Namun kekurangan buku tak berpengaruh pada penyajiannya secara keseluruhan. Tetap saja, buku ini layak dibaca oleh para guru dan orang tua yang sungguh-sungguh menginginkan yang terbaik bagi anak didiknya agar kelak mampu menjadi manusia yang tangguh dan berdaya saing tinggi pada zamannya.

Makassar, 15 Oktober 2014


Tulisan ini diikutkan Indiva Reader’s Challenge

Catatan:

Yang mau beli, bisa menghubungi penulisnya, via akun FB: Henny Puspitarini (https://www.facebook.com/henny.puspitarini) atau akun twitter @hennypuspitarin yaa :) 


Share :

7 Komentar di "Membangun Percaya Diri Anak Sebagai Rangkaian Kebiasaan Bermakna"

  1. menarik nih bukunya mbk,belum banyak komentar karena belum ngalamin punya anak hehehe....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Buku yang menarik, bermafaat, dan inspiratif ini Mbak Hanna :)

      Delete
  2. sepertinya bukunya bagus. dicatat, besok dicari kalau ke toko buku :)

    ReplyDelete
  3. bener mbak, rasa percaya diri pada anak kudu dibangun. jangan sering dicela... :))

    ReplyDelete
  4. waa bagus dibaca oleh semua orang tua yah...
    nambah lagi deh list buku yg ingin dibeli :D

    ReplyDelete
  5. saya setuju dengan kalimat di akhir postingan ini,.. ya, meskipun saya bukan anak anak lagi, dan juga belum memiliki anak. tapi, saya tetaplah seorang anak , hhe,.. *apaan_sih :D

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^