SMS OMELAN

Pada Profil blog saya, saya menuliskan: “Pernikahan melengkapi diri saya, membuat diri saya merasa utuh. Sebagian diri saya ternyata ada pada laki-laki yang menikahiku 1999 silam. Anak-anak menyempurnakan hidupku, menggenapkan pembelajaranku. Mudah-mudahan mereka berempat menjadi partner sinergiku dunia-akhirat. Hidup ... awalnya adalah perjuangan, akhirnya adalah kebijakan. Mudah-mudahan berbuah sabar, syukur, taqwa, dan kedekatan pada-NYA SANG RAHMANIR RAHIM, 'AZIZUL HAKIM “.
            Begitulah kenyataannya ... bulan April ini, tepat 12 tahun usia pernikahan kami. Dan saya masih merasakan si dia membuat diri saya terasa lengkap. Sampai-sampai saya ‘sulit’  punya pikiran untuk pergi ‘bersosialisasi’ ke rumah teman atau cuci mata ke mal kala tengah dirundung rasa sumpek karena deraan berbagai rutinitas dan masalah pengurusan rumah tangga dan anak-anak. 
            Ya, ‘sulit’ karena setiap terlintas keinginan untuk mencari hiburan atau ketenangan di luar rumah, keinginan itu kemudian saya bantah sendiri dengan penolakan “Buat apa keluar rumah? Toh pada dasarnya suami saya bukan orang sulit diajak berkomunikasi dari hati ke hati. Kalau Saya ceritakan segala kesumpekan Saya, dia pasti mengerti. Dan setelah Kami bercerita, segala rasa sumpek itu akan berkurang”. Dan pada dasarnya pula, saya bukan orang yang suka bersosialisasi atau cuci mata ke mal untuk mencari hiburan. Saya merasa itu hanyalah hiburan semu. Kalau misalnya ‘mengadu’ kepada suami tidak (atau kurang) membantu meringankan kesumpekan hati saya. Saya tahu, tempat mengadu yang paling bisa diandalkan hanyalah Allah. Setelah mengakui segala kelemahan di hadapan-Nya dan menghiba kekuatan dari-Nya, biasanya hati saya terhibur dan lega.
            Lantas, karena si dia merupakan separuh dari diri saya, apakah tidak pernah ada konflik antara saya dan dia? Tidak begitu lah yauw ... Piring saja bisa ‘saling beradu’ di tempatnya, apalagi dua orang manusia yang masing-masing punya isi kepala dan isi hati serta berasal dari latar belakang berbeda, dan sudah hidup bersama selama dua belas tahun pula. Yang namanya konflik pasti ada, begitu pun saling kecewa. Alhamdulillah, kami berdua menyadari pernikahan ini sebagai perjanjian di hadapan Allah yang pada hakikatnya merupakan ibadah kami. Maka, konflik yang ada, kami usahakan menyikapinya sebaik mungkin. Misalnya, karena masih tinggal bersama kedua orangtua saya, mereka tidak perlu tahu masalah yang terjadi di antara kami. Eits .. tunggu dulu ... mungkin pernah, satu kali. Waktu itu saya dan suami hendak bepergian. Saat mau naik ke atas motor, mata saya menangkap sepatu butut lagi robek yang si dia kenakan. Kontan saya turun dari motor dan mengeluarkan satu kata perintah padanya, “Turun!”. Lalu saya melanjutkan, “Ganti sepatu!”. Ayah saya ternyata memperhatikan adegan ini.
            Si dia orangnya cuek berat. Sering kali saya mengeluh padanya, “Papa ini suka mempermalukan Mama ya?”. Apa tidak mempermalukan itu namanya?  Ia punya sepatu baru, sepatu lama nan butut itu mengapa masih dikenakan juga? Kalau saya komplain, “Nanti orang-orang bilang Papa tidak diperhatikan oleh istrinya”, ia menjawab, “Biar saja, toh mereka sendiri yang berdosa. Kenyataannya kan tidak demikian”. Menggemaskan bukan? Ehm ... sebenarnya sih, saya menyadari juga, sebenarnya .. si dia agak kurang saya perhatikan lagi. Habis sehari-harinya saya sudah ribet dengan urusan pekerjaan rumah tangga ditambah mengurus tiga orang buah hati kami, dari pagi-pagi sekali hingga malam-malam sekali. Jadinya, urusan pakaiannya kurang terperhatikan. Saya berharap setelah sekian puluh kali komplain, ia bisa mengurus sendiri pakaiannya. Ternyata tidak selalu.
            Oya, kembali ke cerita soal sepatu tadi. Setelah dengan tegas saya mengeluarkan kata-kata perintah. Si dia menurut (biasanya ia tidak mau, syukurlah kali ini ia mau). Suami saya masuk kembali ke ruang tamu dan mengganti sepatunya. Lalu, sambil bersungut-sungut, sepatu butut itu saya bawa keluar rumah dan melemparnya di sudut pekarangan. Ayah saya masih juga memperhatikan adegan ini. Seingat saya, selama sepuluh tahun serumah dengan orangtua, hanya sekali itu konflik kecil tertangkap oleh ayah saya. Tidak percaya? Coba deh tanyakan pada kedua orangtua saya ...
            Tetapi itu hanya konflik kecil. Apakah tidak ada konflik yang lebih besar? Ow ... salah kalau Anda mengira tidak ada. Ada juga. Tetapi apa konfliknya, tidak akan saya ceritakan kepada Anda semua. Biarlah hal itu menjadi catatan rahasia kami. Yang mudah-mudahan menghasilkan hikmah tersendiri bagi kami. Jika sekarang dipublikasikan, bisa-bisa hikmahnya berkurang, atau malah tidak menjadi berkah, rugi dong .. he .. he ... he.
            Nah, untuk konflik yang lebih besar, saya pribadi selalu berusaha belajar menata hati. Salah satu metode yang saya lakukan untuk mencari penyelesaian bersama si dia adalah dengan mengirimkan ‘sms omelan’ kepadanya. Dengan demikian, mulut saya terkunci rapat. Yah, setidak-tidaknya mengurangi dosa lah. Soalnya kalau saya keluarkan dengan kata-kata verbal, belum tentu si dia mendengarkan dengan baik. Pengalaman selama ini, kalau saya mulai mengomel, suami saya pelan-pelan mengambil langkah menjauh. Sia-sia dong omelan saya. Nah, kalau omelan itu tertulis di inbox smsnya, sudah pasti dia baca dan saya tidak perlu lagi mengomel dengan kata-kata. Cukup menunggu respon darinya untuk kemudian ditindaklanjuti dengan obrolan yang bisa dilakukan dengan kepala lebih dingin (yaa ... kalau sedang emosi kan ‘kepala panas’ tidak bisa serta merta, secepat kilat menjadi dingin. Paling tidak, setelah mengirim sms dan suami saya membacanya, kepala saya menjadi lebih dingin). Di samping itu, saya lebih bisa menata kata-kata dalam bentuk tulisan ketimbang lisan. Mudah-mudahan lebih mengurangi dosa .. atau malah tidak mendatangkan dosa. Yang jelas, metode demikian sangat menghemat energi. Tidak percaya? Coba deh ...
            Psst ... beberapa ‘sms omelan’ itu masih ia simpan lho di inbox-nya, belum dihapus sampai sekarang. Saya pun belum menghapus beberapa sms itu, maksudnya jika suatu saat si dia ‘jatuh ke dalam lubang yang sama’ (melakukan hal menyebalkan yang sama, maksudnya), saya tinggal mengirim kembali sms omelan saya. Ups ... mudah-mudahan tidak ... jangan sampai.
            Alhamdulillah, jika melihat saya sedang garang, suami saya diam saja. Saya kira dia pun sedang berusaha menata hati. Jadi, pada akhirnya masalah-masalah yang ada bisa kami sikapi dengan lebih baik. Saya pun mencoba demikian, jika suami saya sedang kelihatan garang, saya berusaha untuk diam dulu. Selanjutnya, kalau memang perlu dibicarakan baru dibicarakan kembali. Kalau tidak ... ya dipendam ... he ... he ... he.
            Tak terasa, bahtera rumah tangga kami kini sudah berlayar dua belas tahun lamanya. Mudah-mudahan Allah meridhai sakinah mawaddah wa rahmah bagi kami, berkah dunia-akhirat, dan semoga Allah senantiasa menerangi jalan kami ke depannya hingga di akhirat sana. Amin yaa Rabb.
Makassar 15 April 2011


Share :

0 Response to "SMS OMELAN"

Post a Comment

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^