Inspirasi Kak Yati yang Dipoligami - Sosok Kak Yati (bukan nama sebenarnya) yang saya ceritakan di dalam tulisan berjudul Dari Sedu-sedan Poligami Hingga Inspirasi Tanpa Batas masih menyimpan banyak kisah. Tulisan sepanjang itu belum bisa menggambarkan bagaimana kehidupan yang dijalaninya selama 9 tahun dipoligami.
Bagaimana
dia melepaskan semua beban dengan mengikhlaskan suaminya bersama perempuan lain,
tanpa pernah kembali ke rumah mereka kecuali sebagai tamu saja, bagi saya
bagaikan fenomena mengingat sulit sekali bagi kebanyakan perempuan untuk
bersikap demikian.
Saya
masih ingat ketika ibu saya masih hidup, beliau marah besar terhadap suami Kak
Yati. Sayangnya tak pernah berani lagi lelaki itu datang ke rumah. Andai masih
berani, entah apa yang akan dia terima dari ibu saya.
Kalau
Kak Yati datang berkunjung, perilaku poligami suaminya selalu saja menjadi
topik yang disinggung oleh ibu saya dengan berapi-api, penuh emosi yang
meledak-ledak. Ibu saya marah luar biasa! Tahu apa yang dilakukan Kak Yati
mendapat respon seperti itu berulang kali?
Setiap
kali ibu saya marah-marah, setiap kali itu juga Kak Yati menghampiri ibu saya,
mengusap-usap punggung ibu saya. Sembari mengusap punggung Ibu, diiringi tawa
ringan, Kak Yati berkata, “Sabar Tante …. sabar.” Saya terpana dan membatin
geli, “Yang menikah lagi sebenarnya suami siapa? Kenapa yang suaminya
berpoligami ini justru menanggapi ringan padahal dia yang menjalani sementara
orang lain dipenuhi emosi negatif?”
Bagi
saya pribadi, sejak Kak Yati mengabari suaminya telah menikah lagi, saya memutuskan
hanya melihat bagaimana kondisi Kak Yati – itu yang paling penting. Tak penting
suaminya mau bagaimana, lagi di mana, sedang ngapain – tak penting itu.
Saya langsung memindai, apakah Kak Yati terpuruk? Marah? Kecewa? Sedih?
Menyesali pernikahannya? Hancur? Bahagia?
Yup,
dia pasti hancur. Dia pernah marah, kecewa, dan sedih
secara bersamaan. Namun demikian, ketika menghubungi saya setelah 6 bulan
suaminya berpoligami, tak ada lagi emosi-emosi negatif itu. Pun dia tak
menyesali pernikahannya yang tahun ini sudah menginjak angka 26 tahun.
Saat
pertama kali mendengar kabar poligami itu, saya mendapati kak Yati sudah IKHLAS
dan mencoba mencari kebahagiaan dirinya dengan caranya sendiri MAKA ITULAH
YANG SAYA DUKUNG.
Saya
tak mau marah-marah tak jelas. Ngapain? Yang menjalaninya saja sudah
sedemikian santai kelihatannya. Dia sudah melewati masa sulitnya. Dia sudah
merasa cukup bahagia tak perlu mengurusi segala keperluan bocah tua nakal itu
lagi. Dia merasa cukup fokus kepada kebahagiaan dirinya dan anak semata
wayangnya yang sudah pemuda. Lalu untuk apa orang luar marah-marah dan
mencaci-maki suaminya?
Kak Yati tak pernah menuntut suaminya meskipun jelas-jelas dia diperlakukan tak adil. Hanya sekira setahun saja mendapatkan uang belanja bulanan dari 9 tahun pernikahan poligami - bukankan itu tak adil? Kak Yati tak peduli juga ketika rumah yang tadinya dikira akan dia tempati ternyata ditempati istri baru suaminya. Dia pasrah saja. Tak pernah pula saya mengajarinya harus menuntut ini itu. Saya menganggap tak perlu mengajarinya kalau dia tak mau.
Saya ingat, lebih 8 tahun lalu, saya bilang begini: "Jangan mau kalau nanti dia titip anaknya ke Kak Yati." Mengapa? Karena saya tahu Kak Yati ini orangnya baik hati. Dia kerap mengasuh keponakan-keponakan suaminya. Rumah petak yang ditempatinya yang masih milik ibu mertuanya menjadi tempat ngumpul keponakan-keponakan suaminya. Kak Yati kerap memasakkan keponakan-keponakan suaminya, ipar-iparnya, dan ibu mertuanya.
Ternyata kejadian, sang suami pernah datang membawa anak-anaknya untuk dititpkan ke ibunya. Kak Yati berbaik hati menjaganya. Saya tak ingin dia menjaga anak-anak tirinya sebab suami dan istri keduanya akan berlaku seenak jidat mereka kepada Kak Yati. Sudahlah urusan jaga anak kecil, Kak Yati sudah mengasuh anak kandungnya dan keponakan-keponakannya, masa harus mengasuh anak tiri lagi?
Saya
gemas dengan orang-orang yang bereaksi berlebihan kepada Kak Yati terkait
pernikahan poligaminya. Ada yang menyalahkan Kak Yati, katanya terlalu begini
begitu sehingga suaminya menikah lagi. Ada yang marah-marah tak jelas pula seperti
almarhumah ibu saya. Padahal jika dipikir-pikir, untuk apa sebagai orang luar
bereaksi ajaib seperti itu sementara yang menjalaninya tenang-tenang saja?
Bukankah lebih baik kita dukung orang yang kita anggap korban ini dengan
membantunya mencari solusi kebahagiaan dirinya?
Kak
Yati pernah mengeluhkan reaksi emosional negatif sejumlah perempuan kepadanya.
Dia bilang bahwa tidak suka bercerita kepada perempuan-perempuan yang bereaksi
berlebihan itu. Dia merasa nyaman bercerita kepada saya karena – mungkin alasannya
– saya tidak pernah bereaksi berlebihan, sekali pun pertama kali diceritakan
kisahnya, saya sampai meneteskan air mata karena menahan geram dan kecewa.
Poligami
memang wajar dan hak laki-laki yang beragama Islam namun merasa kecewa atas
perlakuan lelaki yang tak adil juga wajar karena saya peduli pada Kak Yati.
Namun demikian, saya tak pernah mengungkapkan kemarahan dan kekecewaan ketika
Kak Yati curhat. Tak ada gunanya!
Saya
fokus pada kebahagiaan Kak Yati. Fokus pada kebutuhannya. Jika ada yang dia
butuhkan dan saya bisa bantu, saya lakukan atau berikan. Kak Yati pun demikian.
Alih-alih playing victim atau merasa paling menderita sebagai korban,
dia tetap berbuat baik kepada saya sebagai bentuk kepeduliannya kepada saya.
Saya
berharap dia tetap mampu mencari kebahagiaannya sendiri dan terus bergerak “ke
depan”, mencari kesejatian dirinya dalam penghambaan kepada Allah, melalui
kehidupan yang tak mudah. Baarakallahu fiik, Kak Yati.
Makassar, 16 Juli 2025
Share :
0 Response to "Inspirasi Kak Yati yang Dipoligami"
Post a Comment
Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^