Akibat Kesalahan Komunikasi – Si anak sulung kelabakan dengan serangan nyamuk di kamarnya. “Ada obat nyamuk bakar, Ma?” tanyanya suatu hari. “Ada tapi sudah Mama buang karena terendam banjir,” saya mengingat-ingat sisa obat nyamuk bakar jadul berbentuk spiral yang letaknya di bagian bawah sebuah lemari. Saya sudah membuang obat nyamuk itu karena terendam banjir saat bencana hidrometeorologi bulan Februari lalu.
Dia tidak bertanya lagi,
hingga keesokan harinya dia meminta uang untuk membeli obat nyamuk bakar di
warung sebelah. Sayangnya, kata orang sebelah, obat nyamuknya sudah habis. Saya
bilang pada si sulung untuk mengecek warung depan, siapa tahu ada jual obat
nyamuk bakar di sana. Kami sering lupa ada warung di depan, di kos-kosan.
Kebiasaan belanja di warung sebelah, tidak tengok-tengok lagi ke warung depan
sana.
Tiba-tiba saya terpikir untuk mengatakan bahwa ada obat nyamuk kertas yang dibakar saya simpan. Saya katakan pada si sulung tentang obat nyamuk bakar kertas itu. “Obat nyamuk kertas mi yang saya maksud,” ujarnya.
“Ooh … Mama kira
yang bentuknya spiral itu yang warna hijau. Yang bentuk spiral itu yang Mama
sudah buang karena terendam banjir,” ujar saya. Si sulung pun mengambil
beberapa lembar yang sodorkan dan membawanya ke kamarnya untuk dibakar.
Begitulah komunikasi,
rentan mengalami kesalahan walaupun sudah berada di ruang dan waktu yang sama.
Apatah lagi jika dua orang terpisah jarak, tambah lagi terpisah waktu. Pakai “katanya”
pula, hanya dengar dari orang lain.
Saya pernah ditanya
kerabat, apakah benar saya akan ke Gorontalo dengan adik-adik saya usai
meninggalnya ibunda kami. Saya kaget, loh kapan saya ngomong begitu ya?
Bisa saja berita tersebut sampai di kerabat yang jaraknya ribuan kilometer dari
saya tanpa saya pernah berkata-kata seperti itu.
Saya mengingat-ingat,
mungkin karena pernah membuat tulisan berjudul Menyelesaikan Kewajiban Orang Tua yang Telah Berpulang dan posting di Facebook sehingga
ada yang salah kaprah. Tapi tetap saja saya heran karena di tulisan itu pun
saya sama sekali tidak menyebutkan akan ke kampung ibu saya. Berarti salah
kaprahnya karena mengartikan sendiri, tanpa konfirmasi pula, lalu menyebarkan. Untungnya
tak berefek apa-apa.
Jadi ingat suatu bentuk
kesalah komunikasi yang akibatnya runyam. Ketika ada 2 lelaki bersaudara, sebut
saja A dan B. A sudah menikah, B belum menikah. Suatu ketika mereka ada di
rumah yang sama, yakni di rumah lelaki yang sudah menikah. Ada juga nenek
mereka di situ. Si nenek mengatakan kepada istri A bahwa pacar dari A datang.
Kontan berubah raut wajahnya.
Padahal yang sesungguhnya
terjadi adalah, kekasih dari B yang datang. Si nenek salah menyebut nama
cucunya. Untungnya ada saksi yang melihat langsung semua kejadian yang bisa memberi
penjelasan kepada istri A. Kalau tidak? Wah, bisa terjadi perang dunia!
Well, itulah komunikasi. Jangankan
dengan orang yang jauh, dengan keluarga kecil saja bisa terjadi kesalahan
komunikasi. Antar suami-istri yang seranjang bisa terjadi. Antar saya dan suami pun sering, alhamdulillah
bisa diluruskan dengan melakukan pengecekan kembali. Pengecekan kembali
dengan mencari tahu semua fakta dan mencoba menelisik semua sudut pandang.
Siapalah kita ini, hanya
manusia yang sangat subyektif. Kadang-kadang yang namanya manusia itu merasa
tahu atau sok tahu padahal begitu banyak hal yang tidak diketahuinya karena
sesungguhnya dia terbatas. Punya pengalaman kesalahan komunikasi juga?
Makassar, 30 Maret 2023
Share :
Haha, saya sering mengalami dari orang lain begitu kak. Saya suka posting sesuatu. Nanti disampaikan pula ke suami. Suami saya yang gak tau apa-apa kadang suka sebel jadiny sering bilang ke saya untuk tidak posting sering-sering.
ReplyDeleteSaya jadi heran sama orang tersebut. Kenapa dia gak tanya saya, kan saya yang posting. Mhhhh
Lah ... kenapa ke suami ya Mbak? Apa itu bentuk laporan?
DeletePadahal gampang ya buat tanya langsung.