2020, Idul Fitri yang Berbeda

2020, Idul Fitri yang Berbeda - “Sampaikan kepada yang menganggap remeh virus ini – kata-kata mereka kepada para keluarga nakes yang meninggal, seperti keluarga perawat yang lagi hamil itu!” kata seorang kawan.

Saat itu, di sebuah grup kami membincangkan tentang mereka yang tak peduli dengan seruan di rumah saja selama PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Kepada mereka yang menganggap pelonggaran berarti kebebasan berkumpul-kumpul kembali. Termasuk kepada mereka tak mau memakai masker ke mana-mana.

Kami resah tapi tak bisa berbuat apa-apa lagi selain berusaha melindungi diri dan keluarga sendiri semaksimal mungkin. Kami bukan covinoid (covid paranoid), terlebih bukan covidiot (covid idiot). Sebab kalau kita mencari tahu di sumber yang terpercaya, Covid-19 – penyakit baru bagi semua manusia, di belahan bumi mana pun, ras dan agama apapun ini sangat unik.


Sehingga kita membutuhkan cara baru dalam memperlakukan diri dan sekitar kita. Sayangnya penyakit ini belum ditemukan vaksinnya. Sesiapa yang sudah pernah positif, tidak lantas bebas lantaran masih bisa diserang kembali pada gelombang kedua, ketiga, dan mungkin yang seterusnya.

Bahkan belum selesai gelombang pertama pun, dia masih bisa kena. Kalau diistilahkan mungkin bisa dikatakan gelombang 1A, 1B, dan seterusnya. Jika bahan bacaan meluas, berbagai informasi kita terima namun tidak berarti yang berlawanan ditolak mentah-mentah. Ingin mengingkari herd immunity namun bisa saja, itu terjadi.

Reaksi umat Islam dalam menjalani tata cara beribadah berbeda. Saya tak ingin menjelaskan di sini perihal mana yang benar dan mana yang salah. Saya mengikuti suami mengikuti tuntunan MUI – Majelis Ulama Indonesia. MUI diikuti, kan bukan hanya sekadar dalam penentuan hilal hari raya.

Sebagian masyarakat sepaham dengan MUI, katakanlah Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Wahdah Islamiyah, dan masih banyak lagi. Sebagian yang lainnya berbeda sikap, mengikuti kata hatinya, kata akalnya, dan kata pemerintah lokal.

Oke, baiklah. Saya tidak mau memusingkan pilihan orang-orang yang berbeda. Entah yang pilihannya berbeda, apakah pusing dengan pilihan orang yang tak sama dengannya?


Karena “mengajak kepada kebaikan” kini berbeda versi. Versi saya dengan versi mereka berbeda. Versi Anda juga mungkin sama atau berbeda dengan saya. Dan barangkali kita semua ingin menyerukan semua orang kepada kebaikan.

Hari ini sebagian besar di rumah kami memutuskan untuk melaksanakan shalat Id di rumah saja, seperti seruan MUI pusat hingga MUI provinsi Sulawesi Selatan. Pun seruan gubernur Sulawesi Selatan. Apalagi kota dan kecamatan kami zona merah. Kelakuan sebagian besar masyarakat masih seperti tidak ada apa-apa.

Namun ayah saya yang usianya jelang 80 tahun memutuskan ikut shalat Id di masjid sebelah yang tetap buka selama sebagian Ramadhan dan akan buka besok shalat Id. 

Para orang tua  - lansia termasuk golongan yang rentan terpapar. Sudah begitu kecamatan kami termasuk zona merah. Di lorong (gang) kami belum ada yang positif. Tapi di lorong dekat sini sudah ada yang positif dan suaminya sering “ main” dan shalat di dekat sini. Entah apa ukurannya zona hijau itu, apakah RT atau RW? Terus bagaimana dengan potensi OTG yang makin banyak?


Tapi sudahlah, kami menghormati saja keputusan Ayah yang rupanya sulit digoyahkan. Saya dan adik perempuan tak bisa berkata apa-apa lagi. Mungkin adik laki-laki bisa berbicara padanya.

Di satu sisi, Ramadhan dan lebaran kali ini membuat saya lega. Saya bukan orang yang suka dipusingkan dengan penampilan, baju baru, dan segala pernak-pernik duniawi. Setiap Ramadhan dan lebaran saya gelisah karena tidak bisa benar-benar menerapkan apa yang saya harapkan berhubung masih tinggal bersama orang tua yang punya keinginan berbeda.

Hari ini, saya lebih lega. Tak perlu ada kepusingan akan penampilan diri, akan penampilan rumah, dan sebagainya yang menghabiskan waktu dan tidak tahu apa esensinya. Mungkin saya anti mainstream ya hehe. Saya inginnya lebih fokus kepada pencarian makna Ramadhan dan Idul Fitri saja.


Di sisi lain, perbedaan yang ada sekarang mengejutkan juga. Okelah kalau masing-masing mau menghargai pendapat yang berbeda dengannya. Kalau demikian, tak mengapa. Semoga tak ada pergesekan keras.

Cukup kita saling memahami saja bahwa masing-masing kita akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah subhanahu wata’ala kelak di akhirat. Apa yang menjadi landasan dari keputusan yang diambil haruslah kuat dan tidak perlu pertentangkan dengan yang berbeda pendapat. Bagaimana pun juga sesama muslim itu bersaudara. Iya, kan?

Selamat Hari Raya Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin, ya.

Makassar, 23 Mei 2020



Share :

2 Komentar di "2020, Idul Fitri yang Berbeda"

  1. Selamat Idul Fitri ka, walau tahun ini gak pulang untuk merayakannya bersama keluarga gapap dehhh hihi...

    ReplyDelete
  2. Lebaran yang akan teringat dan menjadi kisah istimewa yang akan diceritakan oleh anak keturunan kita kelak.

    Sedih karena tak bisa berbas saling berkunjung seperti biasa, namun harus diterima dengan lapang dada sebagai satu ketentuan dari Rabb kita. Pasti ada hikmah di baliknya.

    Betul, jauh lebih baik patuh kepada aturan, daripada ngotot mempertahankan keyakinan yang belum tentu benar. Demi terciptanya kemaslahatan bersama.

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^