Sanggupkah Menyebar Aib Orang yang Sudah Meninggal? Peristiwa
pembunuhan itu bikin shock padahal saya tak kenal baik pelaku maupun korban.
Keduanya sejoli yang masih mahasiswa.
Saya
tak mau cerita dengan detail. Yang jelas, apa yang terjadi menjadi aib bagi
keduanya, juga bagi keluarga besarnya.
Media
online, seperti biasa, berkali-kali menurunkan beritanya. Sebagian besar
mengulang-ulang berita sebelumnya, sementara perkembangannya hanya sekuku.
Nama
lengkap tersebar, termasuk nama daerah asal, nama orang tua, dan nama kerabat
korban dan pelaku.
Komentar
netizen macam-macam. Ada yang menghujat seolah dia manusia tanpa dosa.
Yang
saya bayangkan, bagaimana perihnya hati keluarga mereka ya. Di dunia maya, ada
hukum kekejaman, bahwa rekam jejak bisa terpatri demikian kuatnya. Kalau di
media cetak, kau robek medianya, beritanya hilang. Lalu tak lama kemudian kau
lupa nama-nama yang ada di dalamnya. Apalagi detail peristiwanya, kau akan
melupakannya.
Tapi
di internet, namamu akan dikenang sepanjang usia server beritanya!
Sepanjang usia media sosial!
Ya
Tuhan, saya berharap keluarga besar kedua muda-mudi itu tabah.
Saya
juga berharap, kelak anak-cucu saya jangan jadi penulis berita yang menyebar
aib orang. Aib kita sendiri tak bisa kita jaga sepenuhnya, masih harus kita
pertanggungjawabkan di akhirat.
Bagaimana
pula dengan menyebarkan aib orang yang kemudian dikomentari dengan nyinyir,
julid, nan buas? Apa sanggup kita memikul dosanya?
Ustadz Dhanu, tentang menyebar aib orang lain.
Apa yang saya tulis di atas adalah status saya di
Facebook kemarin. Sudah jelas point-nya menunjuk kepada ajakan untuk
tidak menyebut-nyebut aib keduanya. Point-nya adalah mengajak agar kita
sama-sama hati-hati dalam bersikap di dunia maya. Tahan jempol!
Saya tidak ingin pacidda’ baik korban maupun
pelaku.
Jadi komentar yang pacidda’ tidak akan saya
tanggapi.
Pun komentar yang mengajak membongkar aib atau
meminta link-nya. Pacidda’ itu artinya
semacam
bilang “rasain” atau “makanya”.
“Makanya jangan begini, makanya jangan begitu. Itu
akibatnya kalau begini!”
Coba perhatikan, dengan kalimat macam begitu, siapa yang
hendak kita nasihati? Siapa yang di-pacidda’ sebenarnya? Sampaikah pesan
yang ingin disampaikan? Efektifkah? Kira-kira, orang lain bisa ternasihati
dengan kalimat macam begitu? BELUM TENTU!
Coba ingat-ingat ketika kita terjatuh dan ada orang yang
mengatakan, “Rasain jatuh!” atau “Makanya jatu, kamu sih ... salah
sendiri, bla bla bla.” Enakkah rasanya? Tentu tidak, bukan?
Kira-kira kita berdosa tidak, kalau berkomentar secara
tidak proporsional lalu berkelanjutan, berbalas-balasan dengan orang lain dan
jadi membongkar aib si korban dan pelaku lagi? BISA JADI!
Sumber: salingsapa.com |
Kalau memang ingin mengambil pelajaran, boleh browsing sendiri. Teman saya ada yang akhirnya mendapatkan beritanya tanpa saya kasih petunjuk apa-apa. Pada jaman now, kita memang harus pandai memilih kata kunci untuk mendapatkan informasi, teman!
Di jaman now, kita juga perlu melatih diri untuk
lebih terampil MENULIS di media sosial dan aplikasi chatting.
Baik korban maupun pelaku tentu tak bisa membaca segala hujatan, pacidda’,
dan caci-maki, teman. Yang berpeluang membacanya hanyalah KELUARGA BESAR keduanya.
Mereka pasti sudah demikian terpukul dengan berita ini.
Tegakah kita menambah beban mereka dengan kata-kata yang tak pantas? Siapa yang
hendak kita hukum? Bukan mereka, kan? Adilkah yang dilakukan dengan menghujat,
mencaci, mem-pacidda’? Please, gunakan hati nurani. Tempatkan
diri kita, tidak usah pada posisi korban dan pelaku – pada posisi keluarganya,
pada posisi ibunya!
Sumber: Islamedia.com |
Kalau memang ingin memberi atau membagi pelajaran. Please, jangan di ruang terbuka media sosial. Cukup by JAPRI (jalur pribadi) atau bahasa kerennya direct message, atau di grup tertutup, Itu pun tetap harus menjaga etika.
Kadang-kadang kita lupa, katanya ingin berdakwah atau
menyebar kebaikan tapi cara yang dilakukan salah. Bagaimana bisa mendapatkan
manfaat kalau caranya salah bahkan menyakitkan orang-orang lain yang sebenarnya
tak boleh disakiti? Sekali lagi, yang akan tersakiti di sini keluarga
besarnya, bukan korban atau pelaku.
Untuk pelaku, dia pasti sudah mendapatkan pelajaran yang
sangat besar dari peristiwa ini. Usianya masih sangat muda. Suatu saat dia bisa
saja bertobat dan menjadi orang shalih. Tetapi pasti jadi lebih sulit karena
sudah terlalu banyak di antara kita yang menambah-nambah tersebarnya aib di
internet. Dunia maya telah menyimpan nama buruk untuknya dengan
cara yang kejam!
Ustadz Adi Hidayat
Kita sudah menjadi bagian dari orang-orang yang membunuh karakter dan potensi baik yang masih mungkin muncul dari seseorang seumur hidupnya! Teganya! Berdosanya kita!
Makassar, 16 Desember 2019
Share :
Astagfirullah, diam memang lebih baik daripada akhirnya mengatakan keburukan orang, baik itu nyata atau justru malah hanya fitnah yang muncul dari mulut ke mulut. Terutama di zaman sekarang, meski keluarga dekat sendiri, sekarang sy memilih tidak menanggapi misal ada yang memancing mau bicara hal buruk tentang orang lain, terlebih kalau itu memang tidak sy ketahui kebenarannya. Jangan-jangan sy hanya menjadi bagian dari orang yang senang menyebar hoax :(
ReplyDeleteBegitulah. Kita sebenarnya dituntut untuk selalu belajar bersikap dengan tepat. Kalau untuk orang Islam, harus dengan cara yang sesuai tuntunan agama karena pasti kita harus mempertanggungjawabkannya kelak.
Delete