Saya datang agak terlambat ke acara Sosialisasi Perpustakaan Bersama Sastrawan yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional di Hotel Sahid pada tanggal 30 Maret lalu. Makin terlambat lagi karena saya harus mengambil jalan memutar. Pintu yang biasanya terbuka saat ada acara seperti ini ditutup, jadi saya harus mengambil jalan memutar agar bisa masuk. Saat saya tiba di meja registrasi, terdengar musik tradisional sedang dimainkan di dalam ruangan. Sepertinya sedang ada sajian tari tradisional.
Prolog:
Sedikit Insiden
Petugas
registrasi memperlihatkan daftar nama di mana tertera nama-nama anggota IIDN
Makassar yang sudah saya daftarkan sejak tanggal 14 Maret lalu. Satu nama
tercoret dan digantikan nama seorang lelaki. Anggota IIDN Makassar tidak ada
lelaki, nama juga “Ibu-Ibu Doyan Nulis”. Pengganti nama kawan yang dicoret itu
... seharusnya kawan saya dari organisasi yang sama, kan? Saya harus
membereskan insiden ini. Kasihan kalau kawan saya yang menjadi pengganti tak
boleh masuk ke dalam ruangan!
“Kenapa
nama teman saya diganti, Bu? Saya sudah kordinasikan supaya teman saya bernama
Evi yang gantikan teman yang tidak hadir! Saya ketua IIDN Makassar, Bu. Dan
saya sudah koordinasikan teman pengganti itu!” protes saya kepada panitia.
“Tadi
Pak ............. yang coret, Bu,” ibu itu menyebut nama seseorang yang saya
tahu berpengaruh pada acara tersebut.
Saya
menghela napas lalu mencoba menelepon teman yang sedianya menggantikan teman
yang berhalangan hadir.
“Saya
sudah ada di dalam ruangan, Kak. Tadi saya mau mendaftar sebagai pengganti nama
yang kita’ bilang itu tapi sudah ada
yang gantikan ki,” kawan yang saya
telepon menjelaskan.
Fiyuh,
syukurlah. Untungnya dia diperbolehkan masuk, dengan menggantikan nama lain yang
ada di daftar nama. Eh, kasihan juga nama yang dicoret itu. Kalau dia datang,
bagaimana? Ah sudahlah, itu urusan panitia. Maka saya melangkah masuk ke dalam
ruangan dengan perasaan lega.
Tentang
Literasi
Tidak
berapa lama, Syarif Bandu, MS naik ke
atas panggung untuk membuka acara. Beliau adalah putra daerah Sulawesi Selatan
yang menjadi Kepala Perpustakaan Nasional. Menurutnya, ada korelasi antara
perdamaian dunia dan kesetaraan pemahaman, “Mustahil ikut perdamaian dunia
tanpa kesetaraan pemahaman!” Melalui apa kesetaraan pemahaman diperoleh?
Melalui membaca! Syarif menerangkan tentang pentingnya buku. Semua profesi
dibentuk oleh kekuatan buku. Buku yang kuat membentuk opini dan pemahaman.
“Malu mengaku sastrawan kalau tidak bisa memahami nilai-nilai dalam masyarakat,”
pungkasnya.
Saat acara
inti, yaitu talkshow hendak berlangsung,
Syarif kembali naik ke atas panggung bersama 3 nara sumber lain (seorang bapak yang mewakili Kepala Perpustakaan Daerah Sulawesi Selatan, Ajiep Padindang
(anggota DPD RI), dan novelis Tere Liye) dan Nur Fitri Ishak sebagai moderator.
“Tidak mungkin perpustakaan tidak relevan
lagi,” penuh percaya diri Syarif mengatakan hal ini saat menjelaskan
mengenai paradigma perpustakaan. Selanjutnya ia menekankan pentingnya bagi
perpustakaan menerapkan teknologi informasi bagi masyarakat.
Masuk
kepada pengertian literasi, Syarif mengatakan,
“Literasi adalah kemampuan menelusuri informasi-informasi yang relevan agar
seseorang eksis dalam bidangnya.”
Ada 5
tingkatan literasi yang disampaikan Syarif:
- Kemampuan anak pra sekolah (saya tidak bisa mencatat detailnya).
- Tingkat kemampuan kenal kata, kelas 1 – 3 sekolah dasar.
- Kemampuan mengenal hubungan sebab-akibat (SMP).
- Mengaplikasikan ilmu (SMA).
- Menerapkan literasi sesuai bidang masing-masing. Berbeda antara satu dengan lainnya. Misalnya literasi untuk penyelam berbeda dengan literasi untuk marinir.
Paradigma
perpustakaan yang lainnya adalah bahwa buku
membentuk opini dunia. Para pustakawan bukan hanya sekadar ahli menjajarkan
buku.
Tak
berpanjang kata lagi, giliran panelis berikutnya, bapak yang mewakili Kepala
Dinas Perpustakaan dan Arsip Sulawesi Selatan. Ia menjelaskan mengenai
keseriusan Sulawesi Selatan dalam mengelola dan merawat perpustakaan. Misalnya pada
zaman gubernur A. Pangerang Pettarani, dia membangun gedung perpustakaan negara
yang waktu itu bertempat di Gedung MULO, sampai tahun 1980-an. Perpustakaan
kemudian pindah ke Benteng lalu ke Tala’ Salapang (jalan Sultan Alauddin).
Selain itu, di Makassar ada universitas yang membentuk jurusan Ilmu
Perpustakaan. Alumninya dimanfaatkan di seluruh Indonesia. Sekarang ini, di UIM
ada S2 Ilmu Perpustakaan.
Dr.
Ajiep Padindang memaparkan tentang budaya lisan di Sulawesi Selatan. Seperti daerah-daerah
lain di Indonesia, Sulawesi Selatan menganut tradisi lisan. Pada abad XVII
muncullah kebiasaan menulis, seperti menulis silsilah atau pesan di atas daun
lontar dengan aksara Lontarak. Sementara dalam Islam, perintah yang pertama
turun adalah “iqra’” (membaca).
“Mendengar
itu ujungnya imajinasi dan ingatan. Sementara membaca ujungnya adalah berpikir,”
tandas Ajiep.
Sampai di sini saya berpikir kalau
Pak Ajiep meminta hadirin menghubungkan sendiri apa-apa yang dituturkannya.
Ia kemudian
menjelaskan mengenai apa yang dilakukannya terkait pelestarian bahasa daerah di
Indonesia sebagai anggota DPD dari Sulawesi Selatan (yaitu dengan merancang UU
Pelestarian Bahasa Daerah).
Sayangnya Ajiep terburu-buru.
Sepertinya ada agenda berikut yang harus ia hadiri. Dalam hati saya
menyayangkan karena saya sebenarnya berharap ia hadir sampai acara selesai.
Mana tahu dari acara ini ada usulan mengenai RUU yang patut dibuat terkait
literasi, perpustakaan, penerbit, atau penulis di Indonesia. Tapi, yaah mau
bilang apa.
TERE LIYE, nara sumber terakhir pada acara ini
adalah yang paling saya tunggu-tunggu. Sebuah kesempatan emas hadir di acara
yang ada penulis terkenal! Tere berbicara data, untuk kepandaian membaca 93,9%
masyarakat kita pandai membaca (data Unesco). Namun literasi tidak hanya
tentang membaca. Berdasarkan survei CSU, Indonesia berada pada ranking 60 sebagai “Most Literate Nation”.
Terkait
hal ini, jika ditanya bagaimana minat baca di Indonesia, Tere Liye akan menjawab,
“Selalu baik.” Saya menangkapnya, dengan demikian kesan optimis akan terjejak. “Kalau
tidak (menjawab demikian), masa depan Indonesia suram sekali,” Tere Liye
tertawa getir.
Tere
sepakat dengan Syarif Bandu saat mengatakan, “Jangan sampai pustakawan
mengatakan bahwa minat baca orang Indonesia rendah!” Dia melanjutkan, “Kita
punya metode mengajarkan generasi berikut tentang apa itu literasi. Literasi
sangat penting untuk jadikan masyarakat terdidik!”
Mengapa
literasi penting?
- Lebih dari 6 juta orang menjadi buruh migran. Mereka melakukan pekerjaan yang tidak butuh literasi.
- Kualitas dan daya saing lulusan sekolah dibanding negara lain.
- Yang bisa menyaring kabar hoax adalah mereka yang literasinya tinggi.
Jika ada
yang mengatakan bahwa gadget itu
mengancam literasi, Tere Liye tak sependapat. Gadget itu hanyalah benda mati. Yang berbahaya adalah gadget illiterate. Nah, semua orang
bertanggung jawab atas rendahnya tingkat literasi di Indonesia:
- Penulis. Maka produktiflah menulis. Berilah masyarakat alternatif bacaan yang baik. Di Indonesia sedikit penulis yang menulis 1 buku dalam satu tahun.
- Pemerintah. Berilah insntif buku. Perlu diketahui bahwa pajak penulis itu tinggi sekali. Dua kali lipat dari profesi lain.
- Komunitas. “Jadilah komunitas yang tahan banting, buktikan kalian melakukan sesuatu,” kata Tere Liye.
- Warga. Biasakan anak-anak membaca. Orang tuanya juga. Guru, juga berperan dalam hal ini.
Saat
ada yang menanyakan tips menulisnya, Tere Liye mengatakan, “Pastikan niatnya!”
Dengan niat baik, tugas penulis adalag fokus produktif menulis. Mengenai
pengertian literasi secara sederhana baginya, Tere Liye mengatakan, “Berapa
banyak buku atau berapa ribu kata yang dibaca setahun terakhir.” Saya suka
dengan pendapatnya. Sebab membaca di zaman ini tak selalu harus buku yang
menjadi obyeknya.
Epilog:
yang Tak Kesampaian
Sayang
sekali saya tidak kebagian giliran bertanya. Padahal saya ingin beruneg-uneg,
siapa tahu bapak Kepala Perpusnas atau Pak Ajiep bisa memberikan solusinya. Ini,
nih yang mengganjal di pikiran saya:
- Begini, saya ingat ketika masih mahasiswa (tahun 90-an), dulu banyak buku bacaan berukuran saku. Harganya murah, amat ramah dengan kantong mahasiswa. Buku ukuran kecil seperti itu saya pikir cukup ampuh untuk memancing minat baca. Soalnya sekarang ini, penerbit mempersyaratkan buku yang terbit minimal sekian ratus halaman. Tebal-tebal euy.
- Penerbit sebenarnya banyaaak sekali. Tapi tidak semuanya produknya masuk Makassar. Saya tahu karena saya berteman dengan banyak sekali penulis dan mengamati banyak penerbit. Banyak sekali buku bagus yang tidak masuk ke Makassar. Di toko buku Gramedia, yang paling banyak dijual adalah buku-buku terbitan Gramedia dan penerbit-penerbit dalam kelompoknya. Kalau akan memiliki buku yang tidak masuk Makassar, ongkos kirim yang ditanggung pembeli terbilang mahal. Asyiknya kalau bisa seperti di Amerika Serikat, distribusi buku di sana gratis. Pesan buku, dari satu wilayah ke wilayah lain ongkos kirimnya gratis. Kebijakan di negara kita seharusnya mempermudah distribusi buku.
- Menulis adalah perkara kemauan keras untuk terus menulis. Di zaman ini, teknologi sangat memudahkan untuk belajar maupun mempunyai wadah. Seperti blog yang saya gunakan ini. Kalau sulit pakai laptop, ada koq kawan-kawan saya yang pakai gadget untuk upload tulisan. Ada pustakawati yang menjadi blogger. Keren sekali, dia. Namanya Luckty Giyan Sukarno. Andai banyak pustakawan(wati) seperti dia, betapa menyenangkannya dan cerdasnya sosok pustakawan(wati) itu. Yang ingin tahu sosoknya silakan langsung ke blognya: https://luckty.wordpress.com/. Luckty ini suka bagi-bagi buku, dari penerbitnya langsung tentu saja, dengan mengadakan giveaway di blognya. Saya pernah memenangkan salah satu giveaway yang diselenggarakannya.
Berfoto bersama Pak Syarif Bandu, Kepala Perpusnas |
Ah
puas, bisa menuliskan uneg-uneg saya di sini meski tempo hari tak bisa
mengucapkannya di forum karena berkali-kali angkat tangan meminta hak bertanya sampai berdiri pula tapi diabaikan oleh moderator 😅.
Inilah beruntungnya menulis di blog. Bisa dibaca orang kapan saja. Walaupun ada sedikit yang tidak enak yang baru saya ketahui usai makan siang, yaitu teman saya yang lain hampir tidak bisa masuk ke tempat acara berlangsung karena namanya sudah dicoret dan digantikan nama lain. Setidaknya, terlihat kerja keras panitia menyelenggarakan acara ini. Selain ada goodie bag dan snack pagi serta makan siang, panitia membagikan lembar review untuk penilaian oleh hadirin. Untuk hal ini saya harus mengucapkan terima kasih sebagai pribadi. Dan mengucapkan terima kasih mewakili kawan-kawan saya dari komunitas IIDN Makassar. Semoga di kegiatan berikutnya kami masih diundang lagi.
Inilah beruntungnya menulis di blog. Bisa dibaca orang kapan saja. Walaupun ada sedikit yang tidak enak yang baru saya ketahui usai makan siang, yaitu teman saya yang lain hampir tidak bisa masuk ke tempat acara berlangsung karena namanya sudah dicoret dan digantikan nama lain. Setidaknya, terlihat kerja keras panitia menyelenggarakan acara ini. Selain ada goodie bag dan snack pagi serta makan siang, panitia membagikan lembar review untuk penilaian oleh hadirin. Untuk hal ini saya harus mengucapkan terima kasih sebagai pribadi. Dan mengucapkan terima kasih mewakili kawan-kawan saya dari komunitas IIDN Makassar. Semoga di kegiatan berikutnya kami masih diundang lagi.
Makassar, 5 April 2017
Sayangnya saat sesi foto-foto, Tere
Liye dengan lihai menghilang. Jadi kami tak bisa memamerkan kepada kawan-kawan
yang tak hadir bahwa kami “bertemu” Tere Liye di acara itu.
Share :
Sepertinya sekarang mulai gencar sosialisasi agar generasi sekarang melek literasi. Ya semoga saja cepat atau lambat usaha ini akan membuahkan hasil yang baik :)
ReplyDeleteAamiin. Insya Allah aamiin.
DeleteSekarang kegiatan literasi tengah digiatkan ya. Saya senang karena berharap nantinya membaca akan menjadi budaya. Harapan saya pun semoga akan mewabah perpustakaan kece kaya di film-film yang nyaman dan enak buat dikunjungi yang hadir di daerah2.
ReplyDeletePerpustakaan kece seperti itu bakal bikin betah ya, Peh. Sama, saya juga berharap begitu.
DeleteGenerasi literer harus diwujudkan dari rumah kita sendiri. Anak2 kecik jangan hanya diperkenalkan dg gadget, tapi juga tumbuhkan rasa cinta mereka terhadap buku.
ReplyDeleteSetuju Mbak
Deletesetuju banget dengan kalimat ini " yang bisa menyaring isu hoax adalah yang memiliki literasi tinggi".
ReplyDeleteToss kakak.
DeleteTApi memang kenyataannya minat membaca dinegara kita masih rendah, mau dibilang gimana lagi ya ?
ReplyDeleteBuku-buku mahal dan bahkan mutunya masih rengah.
Pemerintah hanya mengejar pajak kadang lupa/kurang memberi intensif bagi penulis.
Keren banget bisa ikutan acara seperti ini.
ReplyDeleteKeren loch kaka acaranya, tidak menyangka bisa meet up langsung dengan Tere liye. Makasih kak, udah kasih info kegiatan ini.
ReplyDeleteWah, terharu ada namaku mejeng di sini. Makasih, Bu. Semangat menumbuhkan literasi :*
ReplyDeleteWaaah asikk bangeet acaranyaaa ada bang darwis tere liye jugaa 😁😁😁
ReplyDeleteUrgent banget mbaak ya skrng menggalakan generasi literer supaya yaa bisa bersaing dalam era globalisasi ini. Tfs bermanfaat bangeet infonya 😁😊
bagus banget nih acara, sangat apresiatif.. Good lah
ReplyDeleteSemoga kedepannya semakin banyak event dan workshop seperti ini demi generasi yang lebih baik.
ReplyDeletemakasih tips nya...semoga kedepan lebih baik.
ReplyDelete