Tulisan ke-5 dari Seminar
Internasional bertajuk Kartini Zaman Baru: Reflections on the Condition of
Contemporary Indonesian Women yang diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Sejarah
FIB UNHAS.
Pada sesi panel kedua tampil 4 nara sumber lainnya. Keempat nara sumber tersebut adalah Ibu Yulianeta (dari UPI Bandung), Bapak Rasyid Asba (UNHAS), Bapak Dias Pradadimara (UNHAS), dan Bapak Muhammad Hasyim (UNHAS). Diskusi dipandu oleh Bapak Edward Poelinggomang sebagai moderator.
Kiri-kanan: Pak Hasyim, Pak Rasyid, Pak Edward, Pak Dias, dan Bu Yulianeta |
Penelitian
Ibu Yulianeta berfokus pada tokoh perempuan pada novel-novel karya Pramoedya
Ananta Toer, judul makalahnya adalah Membaca Semangat Perjuangan Kartini dalam Novel-Novel Pramoedya Ananta
Toer. Salah satu
yang disebutkannya adalah tokoh Larasati dalam novel Larasati yang
mempresentasikan perempuan sebagai subyek, bukan obyek. Ia menyebut pula beberapa
tokoh lainnya. Selain itu, di akhir presentasinya, Ibu Yulianeta menyimpulkan 2
hal ini:
- Pramoedya menampilkan citra kemenangan perempuan, bahwa perempuan merdeka, bersemangat, penuh sumber daya, dan mampu bertarung melawan penindas sebagaimana halnya Kartini dengan semangat juangnya.
- Perempuan dipandang memiliki peranan penting dalam bangsa, sebuah ruang publik yang selama ini dianggap milik laki-laki.
Bapak
Prof. Dr. A. Rasyid Asba menyampaikan makalahnya yang berjudul Citra Wanita Aceh: Cut Nya’ Din dalam Perspektif
Kolonial. Saat
hendak menuliskan kembali, saya baru sadar kalau saya tidak menuliskan catatan
apa-apa dari presentasi Pak Rasyid ini. Saya pun tidak mendapatkan file-nya
dari panitia. Ini kelalaian saya, bukan karena materinya tak menarik. Kita ke presenter berikutnya, yah.
Berikutnya
adalah Bapak Dias Pradadimara. Saya tidak sempat mencatat judul makalahnya,
juga tidak mendapatkan file-nya dari panitia tetapi saya menuliskan beberapa
catatan.
Pertama-tama,
Pak Dias mengungkapkan bahwa Kartini bukanlah pahlawan perempuan pertama yang
ditetapkan oleh Soekarno. Sebelumnya Cut Meutia dan Cut Nya’ Din sudah terlebih dahulu ditetapkan sebagai pahlawan
nasional. Nah, lho ... ini menjawab
pertanyaan yang dilontarkan di luar sana mengenai hal ini. So, any problem after knowing this fact? I
hope not lah yah.
Dr. Bambang Sulistyo Edy, ketua jurusan Ilmu Sejarah UNHAS |
Pak
Dias juga mengatakan bahwa Hari Kartini sebenarnya bukannya baru dirayakan
setelah penetapannya sebagai pahlawan nasional pada tahun 1964. Hari Kartini
sebenarnya sudah dirayakan sejak tahun 1920-an.
Pada
pembahasan materinya, Pak Dias menekankan mengenai bagaimana perempuan bisa lebih nampak dalam sejarah dan secara mandiri
menentukan nasibnya sendiri. Pak Dias lalu melontarkan pertanyaan, “Kalau
bisa menulis sejarah, bagaimana bentuknya?” Ehm,
mudah-mudahan ada sebagian jawabannya pada tulisan saya sebelum ini (judulnya Sama
Seperti Kartini, Kami pun Menulis).
Beberapa
cara menuliskan sejarah perempuan adalah:
- Menuliskan kelompok-kelompok perempuan.
- Melihat tokoh-tokoh tertentu.
- Bagaimana usaha penguasaan rezim kolonial di kelompok pribumi adalah dengan menguasai kelompok perempuan.
Dalam
hal ini, perhatian tentang perempuan di Indonesia belumlah banyak. Yang paling
penting sebenarnya adalah bagaimana
memosisikan perempuan dalam program besar sejarah nasional Indonesia.
Pemateri
terakhir adalah Bapak Dr. Muh. Hasyim, M. Si. Presentasinya berjudul Semiotika Fashion pada Perayaan Hari Kartini. Pak Hasyim memulai presentasinya
dengan menceritakan, bagaimana kebaya Kartini begitu lekat dengan diri Kartini.
Ia pernah mencoba “merekayasa” pakaian Kartini, dengan menggantinya dengan
pakaian modern dan orang tak mengenalinya. Berbeda halnya jika Kartini
mengenakan kebaya yang memang lazim dikenakan pada masanya.
Sebagai
pelindung yang tampak, fashion
(pakain/busana) tidak hanya sekadar bermakna denotasi namun juga bermakna
konotasi yang mampu berucap banyak hal tentang siapa diri kita sebenarnya.
Pada
aspek sejarahnya, ada 3 tahap penandaan pakaian Kartini:
- Produksi tanda, fashion kebaya sebagai identitas diri dan sosial
- Sirkulasi tanda: fashion Kartini dikomunikasikan melalui media
- Reproduksi/pertukaran tanda: masyarakat mereproduksi makna atas fashion kartini melalui perayaan Hari Kartini.
Pada poin ketiga di atas, saya
bertanya-tanya, sebenarnya itu “reproduksi” atau “reduksi”, yah?
Pada
akhirnya Hari Kartini dimaknai dengan memakai kebaya di mana-mana. Di
kantor-kantor, sekolah-sekolah, juga di area publik lainnya. Hari Kartini membahas
tentang perempuan yang bekerja di luar rumah yang mengenakan kebaya. “Sayangnya,
pada Hari Kartini tidak pernah ditampilkan perempuan sebagai ibu rumah tangga
di media,” begitu kira-kira disampaikan oleh Pak Hasyim saat merespon sebuah
pertanyaan
Segenap panitia dan nara sumber seminar internasional Kartini Zaman Baru: Reflections on the Condition of Contemporary Indonesian Women |
Seminar
internasional ini juga membahas banyak aspek emansipasi dalm peran perempuan
dan laki-laki. Beberapa nara sumber menilai banyak perempuan sekarang salah
kaprah dalam mengartikan perjuangan Kartini hingga kebablasan. Ada juga yang
menyoroti pentingnya laki-laki memiliki toleransi terhadap perempuan. Masih
banyak permasalahan mengenai batas-batas emansipasi dan permasalahan perempuan
untuk mengatakan “kita sudah bicara emansipasi” – begitu kata Pak Dias.
Bapak
Dr. Bambang Sulistyo Edy – ketua jurusan Ilmu Sejarah FIB UNHAS, dalam closing speech-nya mengatakan bahwa
bukan karena Kartini orang Jawa maka ia masih dibicarakan hingga kini. Membicarakan Kartini masih relevan di masa
kini. Kita perlu menangkap nilai-nilai apa yang diperjuangkan Kartini.
Saya
setuju. Setelah mengikuti rangkaian seminar ini, saya makin mantap menyatakan
bahwa Kartini benar-benar pantas dengan gelarnya sebagai “pahlawan nasional”. Ia
masih pantas dibicarakan karena perjuangannya menginginkan perempuan cerdas,
bukan semata-mata agar setara dengan lelaki. Sebab jika perempuan cerdas, ia bisa
memperjuangkan dirinya menjadi signifikan di tengah keluarganya, juga di dunia
ini.
Makassar, 12 Mei 2016
Selesai
Baca tulisan sebelumnya yaa:
Daan tulisan yang ada hubungannya ini yaa:
- Mengurai Empat Hal Perjuangan Kartini (opini saya di Harian Fajar bulan April lalu)
- Pengalaman Wawancara untuk Film Dokumenter Seminar Internasional Hari Kartini
- Perempuan Pewarna Sejarah (opini saya di Harian Fajar pada Hari Kartini tahun lalu)
- Perempuan Menulis, Demi Keabadian (opini saya di Harian Fajar pada Hari Kartini tahun 2014)
Share :
Alhamdulillah ya setelah sekian lama nda mampir ke halaman blog ini akhirnya kesampaian juga. Wah jadi nggak enak ini, mau alasan nanti dibilang klise, nda beralasan ya memang harus ada alasannya. Hehhehe.
ReplyDeleteMalu nih jarang mampir ke mari hihil Atas nama SIlaturahmi sesame penulis blog, saya hadir lagi hari ini walau hanya sekedar say hi aja. Hehiheiheihiehieie.
Sejak saya total di bisnis nyaris tidak sempat berkunjung ke bloh kawan kawan semuanya Walau tidak semuanya bisa saya datangi, namun percayalah saya selalu ingat Insya Allah. Jika ada yang urgent silahkan WA saya 08977749155 – Asep Haryono. Blogger Pontianak.
Yihaaaaaaa
Wow Pak Asep jadi bisnisman sekarang. Sukses ya Pak Asep :)
DeleteSama halnya dengan Midah Bergigi Emas dan Arok Dedes.dimana pada arok dedes, kekuasaan Tunggul Ametung ikut terpengaruh oleh Dedes. Dan Pram, memang selalu menyajikan sosok perempuan dan keikutsertaannya dalam sejarah Indonesia.
ReplyDeleteHanya saja, saat membaca Perempuan dalam cengkraman militer. Ini sejarah kelam Indonesia yang membuat saya geram.
makasih mbak dapat tambahan wawasan dari acara tersebut :)
ReplyDeleteeh baru tau saya mas. tambahan wawasan banget bagi saya mas
ReplyDeletehmmm perempuan. peranmu sangat tinggi
ReplyDeletewah dari tahun 1920an, hebat ya bisa trs abadi.. Pramoedya Ananta Toer salah satu penulis favorit saya juga nih :-)
ReplyDeleteBener! Cewek emang musti cerdas ... karna ... karna apapun!
ReplyDeleteFashion Kartini menurutku memang lebih ngehits sih dibanding fashion pahlawan perempuan yang lain, kayak Cut Nyak Dien gt.
ReplyDeleteemansipasi wanita, maju terus wanita Indonesia
ReplyDelete