MIWF 2016: Colliq Pujie the Unsung Hero of Buginese Classical Literature

Hari kedua Makassar International Writers Festival (MIWF) 2016, tanggal 19 Mei, serangkaian acara menarik kembali digelar. Saya memilih menghadiri Pannel Discussion: Colliq[1] Pujie the Unsung Hero of Buginese Classical Literature yang diselenggarakan di Aula Aksa Mahmud, Universitas Bosowa pukul 10.00 – 12.00. Kali ini, suami saya turut hadir bersama saya dan ... si bungsu Afyad.


Pak suami paham sekali kalau menghadiri acara seperti ini, saya harus mengerahkan segenap perhatian saya kepada pembicaraan yang tengah berlangsung supaya bisa menulis dengan baik sehingga selama diskusi berlangsung, beliau sepenuhnya mengawasi putra kami yang lincah.

Pada diskusi ini, dihadirkan dua nara sumber: Pak Alwy Rachman yang dikenal sebagai budayawan dan Pak Ahmad Saransi, Kepala Bidang Pembinaan dan Kerja Sama Kearsipan. Pak Alwy Rachman yang selalu memukau saya dengan diksinya yang unik, indah, dan bermakna dalam, kembali membuat saya terpukau di sesi ini. Sementara Pak Ahmad Saransi, ternyata saya pernah membaca buku karya dirinya dan timnya yang berjudul Colli’ Pujie: Lontara’ Bilang, Mozaik Pergolakan Batin Seorang Perempuan Bangsawan. Buku tersebut berisi sedikit sejarah Colli’ Pujie dan cuplikan beberapa karyanya berikut terjemahannya. Saya sudah pernah menuliskan tentang buku itu di tulisan: Perempuan Pencipta Aksara

Moderator - Bobby KBJ, Pak Alwy Rachman, dan Pak Ahmad Saransi


Merawat Ingatan


Sebelum masuk ke ruangan tempat diskusi berlangsung, di meja registrasi dibagikan materi Pak Alwy Rahman yang berjudul Merawat Ingatan Budaya berupa tulisan sepanjang 2 halaman folio. Isinya mengenai bagaimana media tradisional dan media global “bertarung” pada masa kini, dalam kehidupan kita. Saya tertarik mengutip paragraf akhir materinya:
Pada akhirnya Sulawesi Selatan sejatinya meyakini bahwa soal kebudayaan adalah soal ingatan. Kita seharusnya tak hanya memberi ruang ingatan terhadap “kekuasaan” semata-mata. Kita juga sejatinya menyediakan ruang ingatan kita bagi tokoh-tokoh budaya. Jika tidak, pelak tapi pasti, kita sendiri yang akan kehilangan ingatan akan lokalitas, tempat kita hidup dan berkebudayaan. Kita mestinya dapat mendengarkan Earnest Renan yang mendalilkan bahwa “bangsa adalah lokalitas”.
Hm, menarik. Mungkin karena itulah, semakin mengenal kebudayaan daerah, saya merasa semakin mencintai Indonesia.

Pak Alwy menggugah para hadirin mengenai pentingnya memilah-milah apa yang akan kita simpan di dalam “tugu ingatan” kita dan mewaspadai gadget yang bisa membuat jauh dari budaya kita.

Matthes, tentang orang Bugis (tahun 1883) dari buku  Colli’ Pujie: Lontara’ Bilang,
Mozaik Pergolakan Batin Seorang Perempuan Bangsawan

Colli’ Pujie, Bukan Sekadar Hero


Colli’ Pujie yang diperkirakan lahir tahun 1812 terbiasa membaca dan menulis. Ini karena orang Bugis (juga orang Makassar) sudah punya aksara sendiri dan mencatat kebudayaannya dengan aksara itu. Aksara Lontara’ namanya. Sebagai orang yang berasal dari kalangan bangsawan dan terpelajar (ayah Colli’ Pujie seorang kesatria, panglima perang sedangkan ibunya memiliki titisan darah intelektual dari ayahnya – Ince Bagea, seorang syahbandar pada waktu itu).

Colli’ Pujie memiliki keluasan berpikir. Matthes – seorang missionaris dari Belanda yang memintanya menyadur karya-karya klasik memujinya berkali-kali. Colli’ Pujie bahkan menciptakan aksara Lontara’ Bilang dengan mengubah angka-angka Arab dengan cara yang tidak biasa.

Colli’ Pujie tidak hanya mengumpulkan dan menyalin La Galigo, ia juga membuat karya-karya sendiri yang dalam penerjemahannya diakui sulit oleh tim penulis buku Colli’ Pujie: Lontara’ Bilang, Mozaik Pergolakan Batin Seorang Perempuan Bangsawan. Mengapa? Karena kemampuan berbahasanya tinggi. Dalam menuliskan syair, misalnya ia kerap menggunakan banyak nama benda seperti nama buah, pohon, dan kampung sebagai simbol yang artinya  baru dapat ditemukan setelah menggali lebih dalam lagi apa yang ada di balik benda-benda tersebut. Di samping itu, bahasa Bugis sangat kaya. Contohnya, ada 6 kata yang berbeda untuk “hari” dan ada 10 sinonim untuk “emas” (halaman xxi buku Colli’ Pujie: Lontara’ Bilang, Mozaik Pergolakan Batin Seorang Perempuan Bangsawan).

Menurut Pak Ahmad, mengapa Colli’ Pujie menjadi sedemikian encer otaknya dalam menulis, alasannya adalah karena 3 hal: kecintaannya kepada almarhum suaminya, konflik di Tanete, dan fitnah yang berhembus mengenai hubungan gelapnya dengan Matthes. Oya, mengenai kehebatan perempuan ini, silakan simak di tulisan berjudul Perempuan Pencipta Aksara. Tentangnya, Pak Alwy Rachman berujar, “Barangkali Colli’ Pujie bukan sekadar hero. Dia adalah wisdom.” Menurut Pak Alwy, lebih berharga menjadi bijak, “Tak ada gunanya jadi hero sampai mati.”

Semua peserta mendapat buku Colli’ Pujie: Lontara’ Bilang,
Mozaik Pergolakan Batin Seorang Perempuan Bangsawan dari Pak Ahmad Saransi

Mungkinkah kita membaca sejarah dan budaya lokal yang ditulis secara populer?


Pada awal pertemuan, Pak Alwy sempat melontarkan ide untuk membuat semacam pusat studi sejarah Sulawesi Selatan karena menurutnya, sekarang kampus-kampus tak menyediakan hal itu. “Literasi adalah aksi politik, aksi kebudayaan. Kalau tidak ada literasi, kita tidak bisa membaca kebudayaan kecuali yang sudah ditulis orang lain. Seharusnya sekarang kita membaca kebudayaan kita,” demikian ungkapnya.

Pada bagian ini, saya memberi ruang untuk pikiran sederhana saya. Saya ingin menanggapi ucapan Pak Ahmad Saransi yang ini, “Tidak perlu bangga pada karya La Galigo yang merupakan karya sastra terpanjang di dunia kalau tidak pernah membaca naskahnya.”

Baiklah, untuk orang yang berusaha mencintai lokalitas, saya hanya bisa sampai taraf berbangga pada saat ini, Pak. Saya kira – setidaknya saya punya sedikit kepedulian dengan rasa bangga itu. Saya lahir dari keluarga “belasteran” Bugis – Gorontalo dan besar di Makassar. Saya tak bisa semua bahasa daerah, baik Bugis, Makassar, maupun Gorontalo. Namun khusus bahasa Gorontalo, saya masih bisa mengerti secara pasif karena dulu ibu saya biasa menggunakannya bercakap-cakap dengan kerabat yang tinggal di rumah kami.

Salah satu karya Colli' Pujie
Kalau saya tak perlu berbangga dan ditantang untuk membaca aksara Lontara’, saya bisa apa? Tak adil kalau ada yang salahkan saya yang hanya sebentar menerima pelajaran bahasa daerah. Saya hanya mendapatkannya di kelas 5 sekolah dasar, oleh wali kelas yang berasal dari Gorontalo. Itu pun bahasa Makassar sementara bahasa Makassar berbeda dengan bahasa Bugis. Sehari-harinya bahasa pengantar di rumah kami adalah bahasa Indonesia. Sewaktu “perintah” untuk “berbahasa Indonesia yang baik dan benar” di zaman Soeharto menggema, kota Makassar sudah menerapkannya dengan sangat baik. Di mana-mana di kota ini, orang menggunakan bahasa Indonesia. Salahkah saya tak menguasai aksara Lontara’ dan bahasa Bugis?

Ah seharusnya, ini saya sampaikan di forum diskusi saat itu, ya? Maafkan saya, saya baru bisa merangkai kata-kata ini sekarang. Saya pulang dari diskusi itu dengan membawa PR berupa kata-kata Pak Ahmad Saransi. Lalu saya berusaha menguraikan PR itu dan kini membuat tulisan ini.

Kalau boleh, saya ingin mengusulkan sesuatu. Mengingat masih adanya orang-orang yang peduli dengan naskah Lontara’, supaya menuangkannya ke dalam tulisan populer sehingga mudah dipahami oleh siapa pun, termasuk saya. Saya berharap sekali pada jurusan Sastra Daerah agar dapat menyebarkan kepada kami-kami yang tak menguasai bahasa daerah ini pengetahuan yang ada di dalam naskah-naskah kuno Lontara’ guna menyalakan api kecintaan kami kepada budaya kita. Kalau kami tak boleh berbangga atau harus membaca naskah-naskah kuno itu dulu baru bisa berbangga, hanya kepada mereka yang mungkin bisa menjadi “jembatan”-lah kami menaruh harap (ketimbang mengharuskan kami memahami aksara Lontara' dan keluar-masuk gedung Arsip yang butuh birokrasi untuk mengaksesnya).

Tolonglah kami dengan menuliskan kebudayaan kita dalam bahasa populer. Sebarkanlah di internet. Agar tugu ingatan kami bisa terisi dengan warna lokal dan gadget bukan sekadar alat yang berpotensi menghancurkan kebudayaan. Please?

Makassar, 30 Mei 2016

Baca juga:






[1] Ada yang menuliskannya “Colli’ “ (dengan apostrof) dan ada yang menuliskannya dengan “Colliq” tetapi penyebutannya sama saja.


Share :

2 Komentar di "MIWF 2016: Colliq Pujie the Unsung Hero of Buginese Classical Literature"

  1. Komentar kecil saja: Anda salah menulis tanggal di akhir tulisan Anda :). Selebihnya saya ingin mengatakan saya senang membaca ino. Apalagi saya tidak sempat menghadiri diskusi ini, padahal saya ingib tahu lebih banyak mengenai Colliq Pujie :-)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Untung diingatkan hehehe. Terima kasih sudah membaca. Tanggalnya sudah saya perbaiki. Saya benar-benar tidak sadar sudah menulis tanggal (bulan Juni lagi. duh) sebelum membaca komentar Anda :)

      Delete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^