Menilai yang Layak Disebut Berita

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari dua tulisan sebelumnya: PerempuanMenulis untuk Perempuan dan Mengapa Perempuan Perlu Belajar Gender, Seks, dan HAM

Usai mendengarkan pemaparan dari Salma Tadjang, kami (para peserta) diminta untuk menganalisis fotokopi berita yang berasal dari media cetak secara berkelompok. Saya bersama Zulkhaeryah dan Gee Gee mendapatkan berita yang dirilis tanggal 17 Mei 2015. Tak ada nama media di fotokopian yang kami dapatkan.

Karena pernah mendapatkan pelatihan analisis media, saya langsung merasa muak membaca berita itu. Judulnya saja sudah kelewatan: “Disetubuhi Pria Mabuk, Gadis Manado Lapor Polisi”. Itu baru judul, terlebih lagi isi beritanya.


Ina Rahlina
Zulkhaeryah dan Arnis Puspitha
Poin-poin keberatan kami atas berita ini adalah:
  • Terlalu menempatkan perempuan sebagai “objek penderita” berkali-kali (bias gender). Nama korban tidak disamarkan, nama kawan korban pun tidak disamarkan, dan pemakaian kata-kata yang berkata dasar – maaf – “setubuh” sampai 6 kali dalam berita ini sudah keterlaluan. Pemakaian kata ini dan cara wartawan menuliskan beritanya bisa membuat efek baru. Pembaca malah bisa membayangkan apa yang terjadi dengan kronologi yang dituliskannya. Di samping itu, berita ini bias SARA. Terlalu menyudutkan dengan menyebutkan sebanyak 3 kali nama sebuah daerah dan mengait-kaitkannya dengan peristiwa tak menyenangkan itu.
  • Penggunaan kata-kata berkata dasar – sekali lagi, saya mohon maaf (saya menuliskannya untuk memberi contoh kepada pembaca mengenai berita yang tak layak disebut berita) “setubuh” lebih baik diganti dengan kata lain yang lebih sopan atau menggunakan kata “diperkosa/memperkosa”.

Grup para gadis: Halia, Muthmainnah, Tami, Nurfaisyah
Grup para mamak: Arnis, Zulkhaeryah, dan saya
Menurut kami, wartawan yang menulis berita ini perlu ditatar supaya bisa menulis dengan lebih baik lagi. Salma Tadjang – nara sumber mengatakan bahwa ia tak menyalahkan wartawan yang menulisnya. Menurutnya, adalah tugas bersama untuk membenahi yang seperti ini.

Saya diam saja. Tapi jujur saja, di dalam hati saya masih protes. Kalau ditayangkan di surat kabar, seharusnya berita itu sudah melewati proses bukannya langsung dimuat begitu saja dari wartawannya. Lantas, mana peran editor dan redakturnya? Kalau wartawannya tak bisa serta-merta dipersalahkan, berarti hal ini kesalahan editor dan redakturnya, kan?

Ah, sudahlah ... mari kita pindah ke tugas berikutnya. Selanjutnya kami praktik berkelompok lagi. Simulasi menilai kanvas feature dan kanvas straight news dari 5 media yang disediakan panitia. Kami harus memilih berita yang kental isu perempuannya dan lagi-lagi menganalisanya.

Kelompok saya (saya masih bersama Gee Gee dan Zulkhaeryah) memilih berita tentang meninggalnya Tuti Adhitama (feature) dari majalan dan berita tentang perempuan-perempuan di tengah isu radikalisme (straight news) dari surat kabar. Kami lalu menelaahnya berdasarkan:
  • Unsur layak berita (aktual, besar, penting, tenar, dekat, baru, unik/langka, human interest).
  • Unsur layak muat (kelengkapan unsur 5W+1H, relevan, obyektif, seimbang, angle, prestisius/eksklusif, tak langgar kode etik/ketentuan hukum/SARA).
  • Isu yang diangkat.

Tami mempresentasikan tugas kelompoknya (kelompok para gadis)
Upi mempresentasikan tugas kelompoknya
Saya mempresentasikan hasil kerja kelompok 1 (Zulkhaeryah, Arnis, dan saya) 
Saya tidak begitu mantap dengan berita tentang meninggalnya Tuti Adhitama yang kami tetapkan sebagai feature. Saat menuliskan ini, usai mengikuti workshop Literary Journalism yang dibawakan oleh Profesor Janet Steele di Fort Rotterdam tadi, baru saya sadari kalau saat itu kami salah memilih feature. Kata Janet, berita hangat itu bukan feature ... saya jadi berpikir, saat berita Tuti Adhitama diangkat di majalah, berita itu masih hangat karena ia baru-baru saja berpulang dan Tuti Adhitama adalah seorang jurnalis senior yang amat dihormati di Indonesia, jadi sebenarnya tidak tepat kami menetapkannya sebagai feature.

Tak ada penilaian benar-salah mengenai tugas yang kami lakukan dan presentasikan tetapi kami mendiskusikan beberapa hal terkait tugas tersebut dengan Andi Hajrahmurni, pemateri berikutnya. Wartawan Jakarta Post itu juga menjawab pertanyaan kami dengan baik.

Makassar, 4 Juni 2015


*Bersambung ke tulisan berikutnya*


Share :

3 Komentar di "Menilai yang Layak Disebut Berita"

  1. menarik sekali mbak mugniar, saya juga dapat ilmu dari postingan ini..ditunggu postingan selanjutnya ya.

    ReplyDelete
  2. Untuk media cetak, memang kadang pemilihan kata menyesuaikan segmen pembaca mbak....itu menurut saya lho mbak. Kan ada tu koran specialis kriminal ato hal-hal gaib yang segmennya level pendidikan menengah ke bawah....klo make bahasa yang halus, malah nggak diminati. Kadang klo wartawannya nulis ala koran 'putih'...tetep aja dirombak bahasanya ma redaktur

    ReplyDelete
  3. nulis kya gitu mungkin cuma mencari trafik mbak, agar mudah viral

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^