Belajar Menuangkan Gagasan dengan Jurnalisme Sastrawi

Menjelang pukul 10 pagi, gerimis mulai turun. Pagi tanggal 4 Juni ini tak seperti biasanya. Seharusnya sekarang musim kemarau tapi sejak tadi awan-awan kelabu bergelantungan di langit dan udara terasa dingin. Saya mempercepat langkah menaiki tangga bekas chapel di dalam kompleks Fort Rotterdam. Bersamaan dengan ayunan langkah terakhir saya menaiki anak tangga, seorang perempuan bule keluar dari pintu chapel. Saya mengenali wajahnya. “Hai, nama Saya Janet. Silakan masuk,” sesungging senyum menghiasi bibirnya.

Saya langsung menyalami Janet. Perempuan ini terlihat anggun dalam busana sederhana yang dikenakannya: blus lengan panjang berwarna hitam dan rok berbahan kaus panjang berwarna abu-abu. Saya mengikuti talkshow yang ia menjadi nara sumbernya pada Makassar International Writers Festival (MIWF) tahun lalu. Saat itu ia membawakan materi tentang media dan Islam di Indonesia dan di Malaysia. Saya memang sedang berminat pada media dan jurnalisme sastrawi, makanya saya berusaha menghadiri sesi Janet di MIWF lalu dan di tahun ini.

Janet Steele adalah seorang profesor bidang jurnalistik di Jurusan Media dan Urusan Publik di Universitas George Washington, AS.  Ia menulis buku Wars Within; The Story Of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia (Equinox Publisher and ISEAS, 2005). Saat ini Janet tengah menulis buku tentang jurnalisme dan Islam di Malaysia dan Indonesia. Selain mengajar dan meneliti, ia aktif mengadakan pelatihan dan berbicara di berbagai forum di Indonesia[1].


Di meja registrasi, saya memperoleh 4 lembar bahan workshop berbahasa Inggris. Sebuah tulisan yang disusun ala Jurnalisme Sastrawi (Literary Journalism) karya Anthony Shadid yang dimuat di Washington Post tanggal 31 Maret 2003.

Acara tak langsung dimulai karena peserta yang datang belum banyak. Biasa, di Indonesia, peserta berangsur-angsur bertambah jumlahnya saat acara berlangsung. Dan memang, yang terjadi hari ini yang demikian. Beberapa peserta memanfaatkan “momen kosong” itu dengan berfoto-foto bersama Janet, termasuk saya dan Anna Asriani. Kami berdua mengapit Janet di foto itu. “Yang seperti ini tak terjadi di Amerika. Di sana, saya orang biasa. Terima kasih,” ucap Janet dengan ramah.

Janet langsung bertindak interaktif dengan mengajak para peserta merapat ke depan. Ia mengatakan kalau ia tak suka hanya duduk di kursi dan memakai mikrofon. Janet membuka workshop dengan pertanyaan: untuk apa orang menyampaikan sesuatu dengan cara “bercerita”.

Beragam jawaban muncul, di antaranya: menyampaikan informasi dan menyampaikan pesan moral. Janet mencatat semuanya dan membenarkan semuanya. Perempuan yang tertarik dengan bagaimana budaya dikomunikasikan melalui media massa ini mengatakan, “Tujuan jurnalisme sebenarnya sama dengan tujuan bercerita tapi itu tidak disampaikan oleh dosen.”

Janet mengatakan, kedatangannya ke Indonesia membuatnya merasa masuk ke dalam mesin waktu. Ia merasa bisa melihat masa depan. Seperti di Amerika, di Indonesia pun kecenderungannya sama: surat kabar makin lama akan semakin lemah dan media elektronik akan semakin kuat. Maka penting bagi orang untuk bisa menulis secara memikat di media cetak.

Mengapa koran di Amerika Serikat saat ini mulai menggunakan gaya literary journalism, adalah karena koran sudah mulai ditinggalkan. Orang-orang lebih cepat mendapatkan informasi dari media elektronik sehingga mereka tidak suka lagi membaca koran. Agar bisa menarik pembaca, penting untuk bisa menulis ala jurnalisme sastrawi. Washington Post adalah contoh koran yang sudah menerapkan model penulisan ini.

Di Amerika saat ini, koran-koran mulai menyediakan rubrik yang menayangkan tulisan bergaya literary journalism (jurnalisme sastrawi). Jurnalisme sastrawi memakai gaya bercerita untuk menyampaikan fakta.

Struktur piramida terbalik pada berita-berita surat kabar pada umumnya
Perbedaan struktur dari jurnalisme yang umum kita kenal (yang digunakan surat kabar) dan jurnalisme sastrawi adalah, jurnalisme biasa menggunakan struktur piramida terbalik. Pada struktur ini, bagian yang paling penting diletakkan paling atas. Konsep 5W1H (who, what, where, when, why, dan how) ada di bagian paling atas. Mengapa bentuk seperti ini digunakan? Untuk memudahkan pengeditan. Dengan bentuk seperti ini, lebih mudah memotong bagian-bagian tidak penting dari sebuah berita (misalnya bila ada tambahan iklan yang hendak diletakkan pada sebuah halaman).

Sedangkan jurnalisme sastrawi menggunakan struktur yang membentuk setengah lingkaran dengan 3 bagian: beginning, middle, dan end. Semua informasi penting ada di dalam tulisan dan tetap memenuhi tujuan jurnalisme: menyampaikan informasi penting bagi masyarakat.

Janet menceritakan pengalamannya mengikuti sebuah workshop yang dibawakan oleh Nora Ephron – seorang penulis skenario terkenal yang sekaligus mantan jurnalis. Salah satu karya skenario Nora Ephron adalah film komedi romantis terkenal When Harry Met Sally (tahun 1989). Nora mengatakan kepada para wartawan untuk menulis seperti cara penulis skenario menulis. Maksudnya, dengan menulis adegan demi adegan, dengan memasukkan unsur-unsur sastra seperti karakter tokoh, plot, dan setting.

Janet mengajak para peserta untuk menyimak foto kopian yang tadi dibagikan di meja registrasi. Ia memandu kami membaca tulisan (berita berbentuk naratif) sebanyak 1.537 kata yang berjudul A Boy Who Was ‘Like a Flower’: ‘The Sky Exploded’ and Arkan Daif, 14, Was Dead: [Final Edition]. “Newspeg” – kejadian penting/inti berita ini adalah: 3 anak lelaki tewas dan 7 terluka pada perang Amerika di Iraq di daerah Rahmaniya. Berita ini adalah berita hangat, bukan feature.

Struktur berita ala jurnalisme sastrawi
Sebelas alinea pertama tulisan itu merupakan bagian pertama (pembukaan/lede). Dalam 11 alinea tersebut terdapat unsur-unsur 5W1H:
  • Who: korban tewas: Arkan Daif dan 2 anak lainnya, para lelaki di masjid, ibu Arkan Daif.
  • Where: Rahmaniya, sebuah dusun di Iraq.
  • When: 11 a.m
  • Why: perang Amerika (di Iraq).
  • How: mungkin ada bom (karena ada yang melihat pesawat) dan 2 kemungkinan lainnya.

Janet menggarisbawahi, mengapa ia sangat menyukai artikel ini, “Kalau ada yang belum diketahui atau tidak yakin, harus diakui. Jangan tulis ‘ada bom’ kalau tidak yakin. Ini penting: harus transparan kalau ada yang tidak diketahui!” Anthony Shadid – penulis berita ini tidak sok tahu menuliskan penyebab kematian Arkan Daif. Ia hanya menuliskan 3 kemungkinan di dalam tulisannya, berdasarkan apa yang dilihat oleh orang-orang yang diwawancarainya: “Many insisted they saw an airplane. Some suggested Iraqi antiaircraft fire had detonated a cruise missile in the air. Others suggested rounds from antiaircraft guns had fallen back to earth and onto their homes”.

Tulisan Anthony Shadid ini dituliskan seperti menuliskan adegan demi adegan. Ia menulis dalam bahasa sederhana. Tulisannya tidak emosional. Istimewanya, adegan-adegan di dalam tulisan itulah yang memancing emosi pembacanya.  Misalnya ketika ibu dari Arkan Daif meratap: “My son! My son!” his mother, Zeineb Hussein, cried out. “Where are you now? I want to see your face!”

Janet memberikan tip penulisan ala jurnalisme sastrawi
Tulisannya membuat orang jadi lebih ingin mengetahui perasaan orang-orang tentang perang, juga apa yang terjadi pada anak-anak lainnya yang menjadi korban. Namun demikian yang kontra terhadap tulisan ini juga ada.

Bila pada tulisan-tulisan sastrawi, bagian pertengahannya ada konflik antar tokoh, pada tulisan Anthony Shadid ini bagian pertengahannya memuat informasi tentang latar belakang perang. Keistimewaan lain dari Anthony Shadid adalah ia pintar sekali menulis kalimat transisi (dari awal ke tengah dan dari tengah ke akhir).

Pada karya sastra, strukturnya seperti ini
Janet menunjukkan kepada para peserta, mana bagian transisi pada tulisan yang kami baca. Anthony Shadid “meletakkan do’a” pada kedua bagian transisi dalam tulisan ini. Contohnya pada bagian transisi dari awal ke tengah ini: As he spoke, the wails of mourners pouring forth from homes drowned out his words. He winced, turning his head to the side. Then he continued. “God will save us,” he said softly.

Kemudia Janet bertanya kepada kami, apakah yang diperoleh pembaca Amerika dari tulisan ini? Beberapa peserta menjawab, Janet membenarkan. Lalu ia menambahkan, hal-hal apa saja yang diperoleh pembaca di sana dari tulisan ini:
  • Sisi lain perang, akibat-akibat perang.
  • Persiapan upacara pemakaman dan bagaimana perasaan “sayang” mengantarkan jenazah ke pemakaman.
  • Sisi kemanusiaan dari adegan-adegan dalam tulisan, misalnya pada persiapan memandikan mayat.
  • Penjelasan tentang Syi’ah dan Sunni.
  • Banyak informasi lain yang bisa diserap dari gaya bercerita.
  • Di bagian tengah tulisan banyak dipaparkan latar belakang.
  • Di bagian akhir ada resolusi: kepasrahan.

Yang penting dalam literary journalism adalah lebih banyak reporting,” ujar Janet. Tulisan yang menggunakan gaya ini seperti memunculkan puncak gunung es. Yang terlihat hanya sedikit tetapi yang tak terlihat jauh lebih banyak.

Janet yang sepanjang workshop banyak melakukan interaksi dan bergerak selalu berusaha menjangkau semua peserta dengan menatap kami secara bergantian. Saya suka caranya mengisi workshop ini. Sayangnya, saya yang duduk di deretan kursi paling depan harus banyak-banyak menoleh ke belakang untuk memperhatikannya. Tak enak rasanya hanya mendengar suara, tak melihat si pembicara secara langsung. Maka yang terjadi adalah, tengkuk saya terasa pegal. Tapi saya menikmati workshop ini. Tak mengapalah tengkuk terasa sakit. Sedikit rasa sakit ini masih bisa dieliminasi dengan banyaknya pengetahuan yang dilimpahkan Janet kepada audiens. Diskusi dan tanya-jawab pun berlangsung menarik. Saya suka sekali melihat bagaimana Janet memberikan perhatian penuh kepada orang yang berbicara padanya. Menurut saya, ia pendengar yang sangat baik.

Janet menandatangani buku karyanya yang dibeli oleh peserta
Janet menceritakan tentang perdebatan yang muncul setelah tulisan Anthony Shadid ditayangkan oleh Washington Post. Menurutnya diskusi dan perdebatan terkait tulisan adalah hal yang penting, untuk memberi tempat kepada gagasan yang dimuat kepada masyarakat. Menyangkut bentuk tulisan, Janet mengatakan, “Memakai bahasa sederhana, kosa kata aktif, tak beremosi. Emosi muncul dari nara sumber.”

“Saya akan memberikan tips,” tangan Janet meraih spidol dan menuliskan 3 tahapan jurnalisme di Amerika Serikat.

Tiga tahapan jurnalisme tersebut adalah:
  1. Jurnalisme baru (1960-an). Tokoh pentingnya adalah Tom Wolfe. Jurnalisme ini mempengaruhi wartawan di Indonesia, seperti Gunawan Mohamad (Tempo).
  2. Literary journalism (1980-an) à Janet mengatakan, ia tak terlalu suka istilah ini. “Seperti ada perkawinan antara literary dan journalism,” katanya.
  3. Narrative journalism à Janet lebih suka istilah ini, ia mengajar tentang model jurnalisme ini selama 1 semester di Amerika Serikat.

Dekorasi ruangan di belakang Janet
Ada 4 unsur jurnalisme baru yang masih diterapkan hingga kini:
  1. Menciptakan kembali adegan demi adegan (jangan beri banyak penjelasan).
  2. Memakai dialog atau mencari kutipan yang sangat ekspresif (the revealing quote).
  3. Sudut pandang unik. Janet memberi contoh sebuah tulisan berjudul It’s an Honor yang ditulis dari sudut pandang seorang penggali kuburan. Bisa juga menggunakan lebih dari 1 sudut pandang dalam 1 tulisan.
  4. Detail. Detail yang menarik adalah yang sederhana tapi bagus. Keterampilan menulis detail bisa dipelajari.
Emosi yang ditangkap dari adegan demi adegan dalam tulisan Anthony Shadid bisa dikatakan lengkap:

  1. Di masjid, sekelompok laki-laki. Ada rasa marah, benci, poitical.
  2. Latar belakang perang. Marah, benci, political.
  3. Rumah. Para perempuan bercadar, ibu Arkan Daif. Emosional, puncak emosi.
  4. Kuburan. Pasrah.

Anthony dengan cerdas memilih memulai dari nomor 1. Struktur penyampaian sebenarnya bisa saja dibolak-balik. Anthony bisa saja memilih memulai dari nomor 2, 3, atau 4, tak menjadi masalah. Tetapi efek “rasa” dari masing-masing itu berbeda. Orang Amerika pun belum tentu bisa menerima dengan baik tulisan itu kalau urutannya diubah. Tetapi Anthony memilih memulai dari nomor 1 (adegan di masjid) karena bisa menyentuh perasaan terdalam dari banyak orang. Karena bagian itu menceritakan tentang “adegan” pembersihan dan pemandian mayat Arkan Daif yang sangat menyentuh. Adegan-adegan lain ada yang terlalu “ekstrem” bagi orang Amerika dan “terlalu emosional”. Adegan yang terlalu ekstrem dan terlalu emosional justru bisa menyebabkan penolakan dari banyak orang secara spontan.

Mengenai tokoh utama dalam narrative journalism, tokoh utama tersebut haruslah sempurna. Kesempurnaannya ditunjukkan dari: ia memiliki kelemahan dan tahu kelemahannya. Si tokoh ini menemui tantangan dan menjadi “orang baru” melalui tantangan tersebut. Gunawan Mohamad menjadi tokoh utama dalam tulisan Janet.

Janet kembali menekankan aturan dalam narrative journalism, “Menggunakan kosa kata sederhana, kalimat langsung, jangan berbunga-bunga, tidak didramatisasi, dan harus transparan tentang apa yang diketahui dan apa yang belum diketahui!”

Tatapan Janet menjangkau jam dinding yang berada di atas pintu masuk – kurang lebih 8 meteran dari tempatnya berdiri. Sudah waktunya ia mengakhiri pertemuan hari itu. Saya menangkap kesan semringah di wajahnya. Saya mencoba menebak, ia merasa terkesan dengan jalannya workshop hari ini. Tak lupa ia menuliskan alamat e-mailnya dan mempersilakan kami mengiriminya e-mail jika menginginkan artikel-artikel tentang media darinya. Ia bersedia mengirimkannya.

Dalam hati saya memasang niat, akan mencoba mengakrabi Janet melalui e-mail. Saya tertarik pada bidang yang ditekuninya. Saya juga ingin menagih janjinya, memintanya mengirimi saya artikel-artikel yang sepertinya akan sangat menarik bagi saya. Hari ini, banyak hal yang saya peroleh dari profesor yang tampak anggun di mata saya ini. Saya puas.

Terima kasih banyak, Janet.

Makassar.
Ditulis kembali pada 6 Juni 2015







[1] Sumber: http://makassarwriters.com/2015/page/2/


Share :

24 Komentar di "Belajar Menuangkan Gagasan dengan Jurnalisme Sastrawi"

  1. mbak Niar, ini acara bermanfaat banget ya, ibu Janet itu pintar mengulasnya ya
    dan mbak pun pandai menuliskannya lagi, jadi pembaca bisa ikut belajar

    terima kasih sudah berbagi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Kak Monda, beliau bagus sekali menyampaikan materinya. Salut sekali saya. Terima kasih ya sudah membaca :)

      Delete
  2. Mungkin Janet Steele ini yang pernah diceritakan Mas Gola Gong sebagai guru penulisan skenarionya? BTW saya tertarik belajar dari Janet. terima kasih sudah berbagi Mba Mugniar :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hm, sepertinya bukan Mbak Titi karena bidang beliau di jurnalisme dan jurnalisme sastrawi, bukan di penulisan skenario :)

      Delete
  3. Itu mesin tik'a masih berfungsi mba? apa cuma buat dekorasi saja?

    ReplyDelete
  4. Pasti seneng banget ya bisa belajar langsung dari pakarnya

    ReplyDelete
  5. Artikel ini memberikan wawasan terbaru buat saya, wacana pembahasan ini sangat bermanfaat. Terimakasih :)

    ReplyDelete
  6. Tidak rugi 'keluar sebentar' dari kantor mengikuti workshop ini dan berkenalan dengan miss Steele. Lima menit pertama workshop diam-diam dalam hati saya sudah memutuskan : Janet Steele akan saya jadikan 'pembimbing thesis' :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wow, kuliah lagi dalam bidang media, Vita? :)

      Delete
  7. Makasih banyak sharing ilmunya Mak Niar... Banyak anget wawas ttg literary jornalism dari workshop ini ya. Senangnya kalau bisa terus berkomunikasi dg Janet. Tambah banyak ilmu yg ishare nantinya... Keren ya cara dia membawakan materi :).

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Mak, puas sekali ikut workshop ini. Makasih ya sudah membaca ^^

      Delete
  8. Bagus sekali seminar seperti ini, Mbak. Terima kasih sudah berbagi.. ira

    ReplyDelete
  9. Sama2 mak Niar... Hehehe, pura-puranya saya Janet, mak.. *padahal Yanet ya... :D

    Tulisannya panjang, tapi sangat menarik mak. Saya baca sampai habis nggak bosan. Kayaknya ini juga udah menerapkan ilmu narative jurnalisme ya?! Seru, seolah saya juga ikutan workshopnya. TFS untuk sharingnya ya mak Niar! Sangat bermanfaat. ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aih senangnya Mak Yanet mengatakan sudah membaca secara utuh tulisan ini. Iya Mak, ini panjang sekali. Tadinya mau dipotong jadi dua bagian tapi saya ingin tulisan ini jadi istimewa dengan panjang hampir 2.000 kata ini. Saya yakin bagi orang2 yang benar2 ingin tahu ttg jurnalisme sastrawi pasti akan membaca semuanya. Eh tapi bukan karena saya yakin tulisan saya bakal memikat orang untuk betah membacanya hehehe.

      Delete
  10. Waaah...ulasannya detil banget, Mbak. Ikut workship semacam ini, tulisan yg dihasilkan tambah bagus dan menarik nantinya, ya.

    Masih pegal tak? Sini tak pijeti, Mbak. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Harapanya begitu Idaah hehehe. Ayo terbang ke Makassar, mau dong dipijat gratis sama Idah :D

      Delete
  11. Saya kebetulan ga begitu ngerti dg penulisan jurnalisme maupun jurnalisme sastrawi. Yg bikin saya tertarik malah justru bagaimana Janet menyampaikan materi dan berinteraksi dengan peserta. She's great... Saya suka sekali dengan orang yg penuh perhatian dan mau menjadi pendengar yg baik. Kebanyakan orang kan maunya ngomongin tentang dirinya sendiri.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar Mak Uniek. Itu pula yang membuat saya terkesan dengannya, selain penampilannya yang sederhana. Saya suka

      Delete
  12. jurnalisme sastrawi itu informasinya lebih banyak dan kesannya pun lebih dramatis ya...?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Fakta dan dramatis saya kira yang lebih tepat, Mbak Lia. Bukannya "lebih dramatis" :) soalnya ndak boleh terlalu drama juga.

      Delete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^