Mencandai Kenangan Melalui Jurnalisme Plat Kuning

Judul buku: Jurnalisme Plat Kuning
Penyunting: Anwar Jimpe Rahman
Penyelia naskah: Anwar Jimpe Rahman, Ahmad M. A., Ipul Gassing, Asmunandar, Kamaruddin Azis, M. Aan Mansyur, Sartika Nasmar, dan lain-lain.
Penerbit: Tanahindie Press bekerja sama dengan Makassar Nol Kilometer DotCom
Tahun terbit: 2014
ISBN: 978-602-99866-2-4
Ketebalan: 404 + x halaman
Ukuran: 19 cm x 12 cm

Nostalgia adalah salah satu hal manis yang dicari banyak orang dalam kehidupannya. Mengenangnya mampu membangkitkan perasaan yang lain daripada biasanya. Mungkin ada rasa rindu. Mungkin ada penyesalan. Mungkin ada pahit, getir, atau manis yang bercampur-aduk. Tetapi hanya cukup mengenangnya saja, tidak lebih. Mengenang tak berarti ingin kembali. Hanya mengenang.

Tapi kalaupun dengan mengenang masa lalu menyebabkan masih ada yang bisa diperbaiki untuk masa depan, itu lain soal. Karena kenangan dalam buku ini adalah kenangan tentang daerah. Juga tentang budaya khas, kebiasaan masyarakat, dan ruang yang ada di dalamnya.



Buku yang berisi 71 tulisan yang disaring dari 250 tulisan yang ada di website www.makassarnolkm.com ini terdiri atas 5 bagian besar: Fenomena, Sejarah dan Tokoh, Komunitas, Ruang, dan Kelas Menulis.

Buku ini di beri judul Jurnalisme Plat Kuning karena berisi tulisan dari warga biasa yang kesehariannya menggunakan angkutan berplat kuning, bukan plat hitam apalagi plat merah. Jurnalisme warga biasa (citizen journalism) diidentikkan juga dengan jurnalisme plat kuning.

Bab Fenomena berisi peristiwa-peristiwa menarik dalam denyut Kota Makassar, mulai dari dinamika dalam sebuah warung kopi di Pasar Cidu (halaman 3), kisah tentang tembakau yang pernah membuat segelintir orang di Sulawesi Selatan kaya-raya hingga bisa memiliki kendaraan roda empat termutakhir dan bisa menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang perguruan tinggi (halaman 10), kesemrawutan jalanan dalam pandangan seorang warga perantau (halaman 42), hingga dua tulisan mengenai investigasi terkait perkembangan minimarket yang bagai tsunami baru di Kota Makassar sehingga menenggalamkan banyak gadde-gadde (warung-warung kecil) akibat sistem predatory pricing-nya (halaman 89 dan 94).

Sejarah dan Tokoh memuat sejumlah tulisan tentang sejarah Kota Makassar (halaman 105 dan 123), sejarah masuknya agama Kristen dan Islam di tanah Bugis pada abad ke-16 (halaman 131), hingga cerita tentang pertemuan seorang penulis dengan “legenda dunia siaran Makassar” bernama Will Ferial yang akrab disapa Opa (halaman 166).

Bab Komunitas berisi tentang kegiatan-kegiatan positif yang dilakukan beberapa komunitas di Makassar. Kegiatan-kegiatan itu merupakan kegiatan yang melibatkan masyarakat umum. Ada cerita tentang Kedai Baca dan Warung Kopi Sipakainga 43 yang terletak di Jalan Veteran Utara (halaman 189). Pemilik kedai buku dan warung kopi ini bernama Anwar Amin (64 tahun) yang melengkapi koleksi kedai bukunya dengan berbagai bahan bacaan. Bangunan kedai buku yang seadanya menyebabkan banyak buku rusak dimakan usia dan dibasahi air hujan. Aktivis Arkom (Arsitek Komunitas) membantu merancang ulang kedai buku ini dan pada suatu hari di bulan Desember 2012, sejumlah relawan bekerja bakti membersihkan kedai buku. Mereka merencanakan melakukan kegiatan itu selama seminggu sekali setelah hari itu.

Bab Ruang berisi tentang cerita-cerita unik pada beberapa bagian Kota Makassar. Ada 5 tulisan yang menyoroti revitalisasi Pantai Losari, pembangunan Pantai Losari sebagai Center Point of Indonesia, dan kerusakan lingkungan di sekitar Pantai Losari (halaman 321 – 345).

Terakhir, pada bab Kelas Menulis dimuat tulisan-tulisan hasil Kelas Menulis (pelatihan) yang diadakan oleh Makassar Nol Kilomter DotCom. Ada tulisan tentang sejarah Mie Awa yang kondang (halaman 357), pernak-pernik politik dari sudut pandang unik penulisnya (halaman 362), suara hati dan diskriminasi yang diterima penyandang disabilitas netra (halaman 367 dan 371), kisah tentang pedagang sepatu yang pernah berjaya di tahun 1980 - 1990-an (halaman 374), hingga sebuah cerita dari konser musik Rock in Celebes (halaman 382).

Dari tulisan-tulisan yang hampir semuanya menarik (menarik di sini sifatnya subyektif), saya paling terkesan dengan cerita tentang seorang perempuan bernama Famajjah (halaman 142). Perempuan bergelar Opu Daeng Risaju asal tanah Luwu ini mendirikan PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) cabang Palopo dan menjadi ketuanya. Sejarah telah mencatatnya sebagai perempuan pertama yang menjabat sebagai ketua partai di Indonesia. Keberaniannya untuk bersikap non-kooperatif pada pemerintah Belanda membuatnya dimusuhi Belanda dan disidang oleh keluarga besarnya yang merupakan bangsawan Luwu. Ia dianggap mencederai derajat kaum bangsawan Luwu. Namun dengan beraninya ia berkata, “Keluarkanlah darah bangsawan dalam tubuh saya ini sehingga saya bebas melakukan perjuangan saya!”

Buku ini mengingatkan saya kepada buku Makassar di Panyingkul yang terbit tahun 2007. Bedanya, buku Makassar di Panyingkul tulisannya lebih panjang, lebih dalam, dan lebih rapi struktur kalimatnya. Di dalam buku Jurnalisme Plat Kuning ini masih ada sedikit kesalahan ketik. Tetapi buku ini masih lebih kaya karena memuat lebih banyak cerita dan "warna".

Membaca buku ini membuat saya menyadari bahwa ternyata banyak sekali yang saya tidak ketahui tentang kota saya. Sekaligus juga membuat saya merasa bangga memiliki darah Sulawesi Selatan. Bukan kebanggan yang berlebihan karena kemudian saya makin mencintai Indonesia. Besarnya nama Indonesia juga dari identitas daerah-daerah yang ada di dalamnya, kan?


Makassar, 31 Desember 2014


Untuk mendapatkan buku ini, silakan ke Kampung Buku, Jl. Abdullah Dg. Sirua No. 192 E 
Telepon: 0411 433775 atau email ke tanahindie@gmail.com
http://tanahindie.org

Tulisan ini diikutkan Indiva Readers Challenge


Share :

14 Komentar di "Mencandai Kenangan Melalui Jurnalisme Plat Kuning"

  1. Sekalian mau ngucapkan Selamat Tahun Baru 2015. Semoga di tahun 2015 ini kita semua mendapatkan kesuksesan yang lebih fenomenal lagi. Kesuksesan yang tidak hanya untuk diri sendiri, namun juga untuk seluruh anggota keluarga, saudara, kerabat dan handai taulan. Semoga tahun 2015 ini bangsa Indonesia menjadi lebih sukses, aman damai tidak
    ada lagi KORUPSI. Heihiehieeiiee

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin semoga korupsi dan pelakunya enyah dari muka bumi ya Pak Asep :D

      Delete
  2. Berarti ini buku antologi atau gimana, Mbak?

    Tertarik dengan bab komunitas. Apa komunitas dibahas dari yang dulu sampai yang sekarang?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Naz, ini antologi. Kalo yang tentabg komunitas, isinya tentang kegiatan2 komunitas. Ada yang menyelenggarakan kegiatan semacam nostalgia - kegiatannya sering dilakukan dulu tetapi tidak lagi sekarang. Kalaupun ada yang melakukannya, sedikit sekali, tidak seperti dulu :)

      Delete
  3. Kata-katanya memang keren y mak niar, "Keluarkanlah darah bangsawan dalam tubuh saya ini sehingga saya bebas melakukan perjuangan saya!". Salut sama sosok Famajjah.

    ReplyDelete
  4. jadi jurnalisme kuning itu sama nggak sih dengan koran lampu merah? itu loh.. koran yang sering diindentikan dengan berita miring?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Koran kuning? Hehehe beda, Mbak. Ini PLAT KUNING, dianalogikan dengan angkot yang biasa dinaiki masyarakat umum. Jadi maksudnya, ini jurnalisme warga biasa (citizen journalism), ini istilah lainnya saja :)

      Delete
  5. Andai saya menjadi bagian dari tim Plat Kuning pasti seneng deh bisa juga belajar langsung sama Mak Mughniar hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Andai ...... saya juga bisa belajar dengan ABu Zaini :)

      Delete
  6. Menjadi seorang Jurnalis, barangkali setiap anak yang akan di tanya mengenai apa cita2 mereka saat mereka besar kelak, hampir pasti tidak ada yang menyebut ingin menjadi Jurnalis, jurnalis sebuah profesi yang lebih mengutamakan moralitas dalam setiap aspek kegiatannya, banyak kisah2 jurnalis tanah air yang penuh dengan haru biru seiring perjalanan dunia tulis menulis di tanah air,.... pasti banyak kenangan yang terjadi,.. seperti yang di tulis di buku tersebut,....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bedanya, yang di buku ini jurnalisnya warga biasa, bukan jurnalis profesional. Mereka punya banyak cerita dan kenangan :)
      Terima kasih :)

      Delete
  7. Kamu tidak akan mengerti betapa istimewanya arti air mata sebelum kamu benar-benar membiarkannya keluar dari pelupuk matamu dan meleleh di pipimu . .

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hm ... anda sudah pernah komen, persis seperti ini di tulisan saya yang sebelumnya ..... you are a spammer!

      Delete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^