Menyemai Cinta Melampaui Murka

Banyak orang terperangah bila mendengar berita perceraian apalagi jika terjadi pada pasangan yang sudah menikah di atas dua puluh tahun. Saya pribadi, setelah menjalani rumahtangga selama 14 tahun memilih untuk mengamati, menjadikannya pelajaran. Karena saya tahu dan memaklumi, semakin panjang usia lembaga kecil bernama rumahtangga ini maka semakin keras pula ujiannya. Apalagi iblis yang pernah bersumpah akan memperdaya keturunan Adam, pasti akan menurunkan bala tentaranya dalam menggoda pasangan suami istri yang tengah berseteru.

Selalu saja ada riak dan gelombang besar di sela-sela kebahagiaan. Baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Terlebih lagi, semakin hari ego masing-masing membesar, mengiringi sapaan “istriku” dan “suamiku”. Karena ada kata ganti milik “-ku” di situ, membuat satu sama lain merasa memiliki. Memiliki identik dengan menguasai, sampai-sampai terlupa bahwa mereka satu sama lain sebenarnya saling memiliki. Bukannya saling menguasai yang seharusnya terjadi tetapi saling memahami, saling menghargai, saling menjaga, dan saling memberi.

Ego bisa lupa bahwa cinta sejati itu memberi, bukan menerima. Cinta sejati tak menuntut atau meminta balasan. Ketika konflik menjadi alasan ego untuk ngelunjak, diri terlupa menelisik bahwa cinta masih ada. Dan seharusnya, dengan meminta dan bersandar pada kekuatan cinta-Nya, konflik bisa diminimalisir bahkan ditiadakan. Sebab, seperti yang termaktub dalam sebuah hadits riwayat Al-Bukhari: Ketika Allah menciptakan makhluk-Nya, Dia menulis di dalam kitab-Nya di atas singgasana-Nya dan Dia menisbahkan kepada diri-Nya sendiri, “Sesungguhnya Cinta-Ku melampaui murka-Ku.”


Sumber: freegreatpicture.com
Allah Yang Maha Agung memenangkan CINTA-NYA di atas MURKA-NYA. Seharusnya sebagai makhluk yang menjadi khalifah-Nya, kita bisa meminta kekuatan kepada-Nya untuk mengalahkan konflik, masalah, ataupun murka atas nama cinta. Eits, cinta yang agung pula tentu. Cinta atas dasar asma-Nya. Cinta yang berlandaskan aturan-Nya. Bukan cinta membabi buta kepada makhluk semata apalagi yang hanya berlandaskan nafsu syahwat!

Waah, saya seperti seorang pakar tentang CINTA ya? Bukan. Saya sama sekali bukan pakar. Saya hanyalah seseorang yang sedang belajar tentang CINTA. Sampai sekarang pun saya masih berproses dalam merasakan, mengukur, mengekpresikan, dan merenungi hakikat cinta. Saya masih mencari CINTA. CINTA yang hakiki, yang bisa membuat saya menjadi pribadi yang lebih baik, yang bisa mengantarkan saya mendekati Sang Pemilik Cinta.

Saya mencoba mencintai makhluk-Nya sesuai porsinya, begitu pun dalam mencintai suami saya. Kalian bisa mengira kami tak ada konflik sama sekali karena saya dan suami bagaikan sahabat akrab. Tapi kalian salah. Tentu saja saya tak akan membuka kepada kalian tentang konflik yang pernah terjadi di antara kami. Melalui tulisan ini, saya hanya akan menceritakan pelajaran saya tentang menyemai cinta pada tempatnya, pada takaran yang tepat. Versi saya tentu. Jadi, kalau kalian tertarik dan setuju, mari terus menyimak. Jika tidak, silakan buat versi sendiri yaa.

Oke pembaca, inilah menyemai cinta pada pasangan, versi saya:

Menundukkan Ego

Ada orang yang tak menyadari dirinya tengah menjadi tawanan egonya. Tak ada lagi pikiran jernih dan hati lapang. Padahal bila menimbang-nimbang antara manfaat dan mudharat, hati nurani mestinya bisa menuntun untuk mengambil putusan yang bijak. Kecuali bila hati nurani sudah dipenuhi noda.

Dalam buku Membebaskan Jiwa, Tasirun Sulaiman[1] berpendapat:
Ketika seseorang dijadikan tawanan ego, dia akan jauh dari kekuatan Tuhan. Jiwa jauh dari Tuhan, dekat dengan setan. Lama-kelamaan jiwa meninggalkan Tuhan. Jadi bukan Tuhan yang meninggalkan hamba-Nya, tapi sebaliknya. Orang itu yang menyerahkan dirinya dikuasai ego. Ego bahkan bisa menjadi sesembahan.

Maka, mutlak diperlukan perjuangan menundukkan ego. Perjuangan? Wow, apakah tak berlebihan? Tidak, sebab hal yang paling sulit adalah mengalahkan ego di dalam diri. Kalau tak berjuang, kita tak mampu mencerna apakah hati nurani kita masih bersih atau sudah penuh kotoran lalu seenaknya saja bersikap dan berkata-kata dengan melakukan berbagai pembenaran yang naïf hanya karena perintah ego.

Sumber: www.priestsforlife.org

Bukan hanya orang kantoran yang bisa menggunakan metode SWOT. SWOT bisa juga digunakan dalam hal ini, setelah ego melemah. SWOT dia, tapi lupakan dulu kelemahannya. Jadi sebenarnya ini SWOT without weakness atau SOT saja.

Strengthapa saja kelebihan/kekuatan (strength) si dia. Ingat, fokus di sini. Ingat sebanyak-banyaknya kelebihannya hingga bisa bertahan dengannya sampai sejauh ini. Jujurlah pada diri sendiri.

Oppurtunity – atau peluang, tapi saya lebih suka menyebutnya dengan: apa saja manfaat bersama-sama dengannya dalam membina rumahtangga. Tentu saja ini butuh pemikiran dan perenungan yang mendalam. Juga butuh ilmu dan pengetahuan yang luas. Gali segala aspek dunia, akhirat, jasmani, dan ruhani. Hubungkan dengan pembinaan anak-anak dan proses pengembangan diri sendiri.

Threat – ancaman. Pikirkan dan renungkan apa saja bahaya yang mengancam bila tak bersama-sama dengannya. Sama dengan poin di atas: ini butuh pemikiran dan perenungan yang mendalam. Juga butuh ilmu dan pengetahuan yang luas. Gali segala aspek dunia, akhirat, jasmani, dan ruhani. Hubungkan dengan pembinaan anak-anak dan proses pengembangan diri sendiri.


Banyak kisah bijak yang mencontohkan bagaimana menghadapi konflik atau masalah. Di sini akan saya kutipkan tiga kisah dari buku 70 Kisah Teladan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis-Hadis Pilihan[2]:

Hajar – ibunda Ismail yang tegar ditinggal suami.

Ketika Ibrahim membawa Hajar dan Ismail yang masih menyusu ke Mekkah, saat itu tak ada manusia yang bisa bertahan hidup di tempat itu. Ibrahim menempatkan istri dan anaknya di dekat sumur kering (zamzam), dekat sebuah pohon besar.

Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail dengan bekal kurma dan segentong air. Hajar mengikutinya diam-diam. “Wahai Ibrahim, ke manakah Engkau akan pergi? Engkau meninggalkan Kami di lembah ini padahal tidak ada seorang pun manusia hidup di sini, serta tidak ada makanan tersedia di sini!” seru Hajar.

Ibrahim diam saja hingga Hajar bertanya, “Apakah Allah memerintahkanmu melakukan hal ini?”
“Betul, wahai Istriku,” jawab Ibrahim. “Kalau begitu, Allah tidak akan menyia-nyiakan Kami,” Hajar menjadi tenang dan kembali ke tempat semula.

Ibrahim kemudian berdo’a di Tsaniyyah agar istri dan anaknya menjadi orang-orang yang mendirikan shalat serta bersyukur, disukai orang-orang, dan diberikan rezekidari buah-buahan (QS. Ibrahim: 37).

Setelah perbekalan habis, Ismail menjadi pucat pasi karena kehausan. Hajar iba dan mendatangi bukit Shafa, dekat lembah Mekkah namun tak ada seorang pun yang terlihat. Ia menuruni Shafa, melewati sebuah lembah lalu mendaki bukit Marwah dan berdiri di sana cukup lama. Namun tak ada seorang pun yang ia temui. Ia bolak-balik sebanyak 7 kali dan akhirnya menangis. Malaikat Jibril ditugaskan Allah, menampakkan dirinya kepada Hajar, lalu menginjak-injakkan kakinya (sebagian riwayat menyebutkan “mengepak-ngepakkan sayapnya”) sehingga muncullah mata air, yaitu sumur zamzam.

Hajar membendung mata air itu seperti sebuah kolam. Ia mencidukkan tangannya untuk minum. Setiap kali ia menciduk, air bertambah banyak. Tak berapa lama kabilah Jurhum singgah di tempat itu, meminta izin untuk singgah kemudian menetap di tempat itu. Kabilah Jurhum hidup tenteram dan makmur dan tempat itu disinari oleh cahaya kenabian. Ismail tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan cerdas di tengah-tengah kabilah itu.

Sumber: wallpaperswide.com
Ummu Sulaim – Gelarannya “cucu Ayyub” karena kesabarannya

Namanya Ummu Sulaim Al-Anshariyyah. Ia diibaratkan seperti gunung yang bergeming diterjang angin dan badai. Suami pertamanya Malik, meninggal, meninggalkan satu anak: Anas bin Malik.

Abu Thalhah yang masih kafir melamarnya. Ummu Sulaim menolaknya. Ia mau menerimanya asalkan diberi mahar “Islam”. Ia tak meminta harta benda meski Abu Thalhah bisa memberikannya. Yang diinginkannya, Abu Thalhah menjadi seorang muslim. Abu Thalhah tergerak masuk Islam. Rasulullah berkata, “Abu Thalhah datang kepada kalian. Pancaran keislaman tampak di antara kedua matanya.” Maka menikahlah Abu Thalhah dengan Ummu Sulaim setelah ia masuk Islam.

Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki. Suatu saat anak itu sakit parah hingga Abu Thalhah sedih sekali. Tetapi sakitnya putranya tidak menghambat semangatnya dalam mempelajari Islam. Salah satu kebiasaan Abu Thalhah adalah shalat subuh berjama’ah dengan Rasulullah. Ia tetap bersama Rasulullah hingga menjelang siang. Ia pulang ke rumah hanya untuk istirahat dan makan siang. Lalu ia pergi shalat zuhur berjama’ah dan tidak pulang hingga waktu ashar.

Suatu sore, saat ia tidak berada di rumah, anak lelakinya itu meninggal. Ummu Sulaim berkata, “Tak ada seorang pun boleh memberitahu kabar ini kepada Abu Thalhah hingga ia bersedih hati.”

Pulang ke rumah, Abu Thalhah bertanya, “Bagaimana keadaan anakku?”
“Sejak tadi ia mengeluh, tapi sekarang ia sudah lebih tenang,” jawab Ummu Sulaim.

Ummu Sulaim kemudian menyiapkan makan malam untuk Abu Thalhah dan sahabat-sahabatnya. Setelah tamu-tamunya pulang Ummu Sulaim bersolek dengan sangat menawan dan mengenakan pakaian yang sangat indah. Lalu pasangan suami istri ini mereguk madu kebahagiaan yang amat manis.

Di akhir malam ketika suasana semakin hening dan dingin, Ummu Sulaim berkata, “Wahai suamiku yang tampan. Bagaimana pandanganmu jika ada sekelompok orang yang menitipkan sesuatu kepada sebuah keluarga lalu mereka mengambil lagi titipan mereka. Apakah keluarga yang dititipi itu berhak menahannya?” Abu Thalhah menjawab, “Jelas tidak, istriku.”

Ummu Sulaim berkata, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menitipkan seorang anak kepadamu lalu Ia mengambil lagi titipan-Nya itu. Sekarang, hendaklah Engkau bersabar dan menerima keadaannya.”

Betapa marahnya Abu Thalhah. Usai shalat subuh ia menceritakan pengalamannya itu kepada Rasulullah. Mendengarnya, Rasulullah bersabda, “Semoga Allah memberkahi malam Kalian berdua.” Selang berapa lama, Ummu Sulaim yang selalu mengikuti peperangan Rasulullah ini hamil. Meski sedang hamil ia ikut ke medan perang hingga selesai. Memasuki Madinah ia merasakan mulas yang teramat sangat dan kemudian melahirkan bayi laki-laki. Bayi itulah yang diceritakan dalam riwayat yang digendong Rasulullah dan menerima suapan kurma lumat darinya dan diberi nama Abdullah oleh Rasulullah. Kelak Abdullah mati syahid saat perang melawan bangsa Persia.

Perempuan yang bercita-cita mati syahid yang pernah meminta Rasulullah mendo’akannya agar gugur sebagai syahidah ini akhirnya menemui ajalnya di perjalanan pada perang Qabrash pada masa kekhalifahan Utsman. Saat melintasi laut tiba-tiba saja seekor binatang buas menerkamnya. Ummu Sulaim pun mati syahid.

Asiyah binti Muzahim – beriman saat menjadi istri Fir’aun yang zalim

Keimanannya kepada Allah tergerak saat melihat pembantunya yang beriman disiksa oleh Fir’aun lalu anak-anaknya disembelih di depan matanya. Saat ruh sang anak berbisik kepada ibunya tentang pahala yang akan diperoleh berkat kesabarannya, Asiyah langsung beriman.

Sebagian pendapat mengatakan, berimannya Asiyah ketika ia bertanya, “Siapakah yang akan mengalahkan Fir’aun?” ada suara tak berwujud yang menjawab, “Musa dan Harun”.

Ketika akhirnya mengetahui keimanan istrinya, Fir’aun hendak menyiksanya. Asiyah berdo’a, “Ya Tuhanku, bangunkanlah sebuah rumah untukku di sisi-Mu di dalam surge!” Do’a Asiyah dikabulkan Allah. Asiyah tertawa bahagia saat Allah memperlihatkan rumahnya di surga. Saat siksaan mematikan ditimpakan kepadanya, Allah mencabut nyawanya sehingga ia tak merasakan sakit sama sekali.

Mungkin ketiga kisah di atas terlalu agung untuk diterapkan oleh kita. Tetapi satu benang merah yang bisa ditarik dari kisah mereka dan dijadikan pelajaran bagi kita adalah mereka merupakan perempuan-perempuan yang memiliki pemikiran dan perenungan yang mendalam. Mereka juga memiliki ilmu dan pengetahuan yang luas. Mereka mampu menggali segala aspek dunia, akhirat, jasmani, dan ruhani sehingga bisa bersikap dengan sangat bijak.

Hajar, Ummu Sulaim, dan Asiyah adalah orang-orang yang mampu menyemai cinta dalam mengatasi konflik. Cinta mereka kepada suami mereka dikalahkan oleh cinta yang hakiki, yaitu cinta kepada Allah semata. Mereka mampu menempatkan cinta kepada suami pada takaran dan posisi yang tepat. Hanya aturan dan ilmu Allah-lah yang membuat mereka hingga kini menjadi perempuan-perempuan yang kehidupannya dicatat dalam sejarah.

Sumber: www.wordsonlife.co.uk

Menerima Masukan dari Orang Lain

Tausiyah adalah salah satu cara menyemai cinta, perlu juga mendengarkan nasihat untuk introspeksi diri. Kemarin, seorang saudari mengirim SMS yang sangat menyentuh (saudari saya ini memang senang mengirimkan SMS tausiyah kepada saya. Barakallahu saudariku, semoga kebaikan bagimu atas setiap huruf yang tertera di SMS-mu). Berikut saya kutipkan isi SMS-nya:

Di antara hak suami atas istrinya adalah: istri harus ridha dan menerima apa adanya, tidak membebani suami dengan yang tidak ia sanggupi. Allah berfirman: hendaklah orang yang mampu member nafkan menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah member nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan (Ath-Thalaq: 7).

***

Sekali lagi, menuliskan ini bukan berarti saya sudah mampu mengatasi semua permasalahan dengan sempurna, sesempurna apa yang tertera di sini. Ini adalah usaha saya dalam merumuskan dan menyemai cinta yang harus saya jalani. Cinta yang tak serampangan. Cinta yang berlandaskan cinta hakiki. Yang tak akan memperdaya saya saat sukacita menguasai hati dan tak akan menjatuhkan saya ketika dukacita menghampiri.

Makassar, 16 Juni 2013








[1] Sulaiman, Tasirun. Membebaskan Jiwa (Seri Sufi Modern 1). 2009. Penerbit Erlangga
[2] Murad, Dr. Mushthafa. 70 Kisah Teladan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis-Hadis Pilihan. 2006. Bandung: Penerbit Al-Bayan.



Tulisanini diikutsertakan untuk GA dalam rangka launching blog My Give Away Niken Kusumowardhani






Share :

27 Komentar di "Menyemai Cinta Melampaui Murka "

  1. sangat bermanfaat kak niar, walaupun saya blm menikah :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. setuju, dan paling penting adalah. saya seperti membaca sbuah buku yang komplit. kalau dijadikan buku bagus kak. setidaknya mencakup segalanya.

      “Sesungguhnya Cinta-Ku melampaui murka-Ku.”

      Masya Allah, sesungguhnya hanya sedikit saja yang mengerti.
      syukron ilmunya.

      Delete
    2. Saya pun masih merasa mengerti sedikit sekali. Semakin banyak dipelajari, semakin banyak yang tak dimengerti. Terimakasih juga sudah menyimak ya Tia, Annur :)

      Delete
  2. kalau dalam berumah tangga masih mengedepankan ego, bisa nggak bertahan lama. Tapi kalau dilandasi sikap saling pengertian dan selalu memupuk rasa sayang dinatara keduanya, insyaallah bertahan lama.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hmmm ... sudah siap nikah berarti nih. Ayo, segera saja lamar perempuan beruntung itu mas Hadi ^__^

      Delete
  3. Membaca semua kisah teladan diatas, sungguh membuat saya mengambil pelajaran, mbak Niar. Rasanya begitu banyak kekurangan saya sebagai istri.

    Terima kasih partisipasinya, sudah tercatat sebagai peserta.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya juga makin merasa banyak kekurangan, mbak Niken. Makasih ya dah mampir :)

      Delete
  4. *catet... catet... catet...

    mesti banyak belajar dr yg lebih senior neh :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sip, pengantin baru yang sedang berbunga2 memang perlu bacaan2 ini. Eh, saya juga ding, yang baru 14 tahun ^__^

      Delete
  5. Catatan yang indah mbak Niar..
    sebagai pengingat sekaligus kaca brenggala bagiku.
    terimakasih mbak

    Salam dan sukses

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih mas Insan, terlebih buat saya.
      Sukses juga untuk mas Insan, Devon, dan ibunya

      Delete
  6. huaaa.......lengkap banget ulasannya dan sungguh bermanfaat.

    semakin lama bahtera berlayar ujiannya makin berat ya mba????

    semoga keluarga kita sennatiasa samara ya mba

    barokumullah.....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bakal makin kencang anginnya mbak :)
      Aamiin semoga ya

      Delete
  7. cerita teladannya banyak ya, dan sangat bernamnfaat :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. ALhamdulillah, sangat bermanfaat juga buat saya, mbak :)

      Delete
  8. Insya Allah ikutan ah, doakan ya bisa menang juga:D

    ReplyDelete
  9. setuju banget mbak! makasih ya mbak ini artikelnya mak jleb banget, bagus :''')
    dulu nenek-kakek saya juga bercerai, entahlah apa yang mendasari mereka bercerai, padahal tinggal masa senja..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih mbak. KAlau kita memahami alasan mereka dan berusaha melihat di posisi yang senetral mungkin, saya kira kita bisa mengerti alasan mereka bercerai. Saya pun punya kerabat yang demikian, banyak yang ribut, "tak mengerti" katanya. Tapi saya maklum. Bila diteruskan, dengan kondisi demikian, tak ada perubahan dari kedua belah pihak (karena harus keduanya berubah) maka penikahan hanya membawa mudharat. Menurut saya kalo hanya membawa mudharat ya untuk apa dipertahankan. Bukankah tujuan pernikahan adalah untuk menggapai ridhanya? Untk menggapai ridhaya yang harus kita cari kan kemanfaatan, bukan kemudharatan?

      Delete
  10. Tulisan yang banyak memberi semangat dan manfaat...
    Moga Sukses kontesnya ya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih mbak Susi. SUkses juga buat mba :)

      Delete
  11. ketika menyemai cinta kita harus belajar menyingkirkan ego :)

    ReplyDelete
  12. fokus pada kelebihan ya mbakm terima kasih sudah diingatkan. Semoga sukses ya mbak di Ganya

    ReplyDelete
  13. Mba Mugniar udah bisa bikin buku nih... :-)

    ReplyDelete
  14. sy juga heran, masih ada aja yg berani memutuskan bercerai. di NTB, ada orang nomor satu di sini, seorang ulama besar, dari keturunan yg bagus, tapi sejarah keluarganya hampir sama. pernikahan kedua yg tidak dberitakan, membuat masyrakat di sini memberi tanda tanya besar. malah kemaren, berita di detik dot kom dan liputan6 dot kom memberitakan, sang suami menggugat cerai istri pertamanya di jaksel. ini buat sy, dan orang2 tsiqoh thdp ulama, malah semakin aneh melihat tabiat pejabat yg kawin-cerai-kawin-cerai. semoga kita rakyat kecil terhindar dari mendahulukan nafsu. ini jadi catatan pribadi saya: para suami yg sukses di jabatan dan kekuasaan, jangan belagak semua karena kemampuan diri sendiri. pasti ada wanita tangguh di belakang laki2 tsb. jangan berpikiran pendek, lihat bagaimana nasib anak2 yg akan kita tinggalkan bila cerai. demikian marah2 sy mba mugniar. maaf kepanjangan.

    ReplyDelete
  15. datang berkunjung...
    dapet banyak pelajaran dari sini, semoga yang posting dapet yang lebih lagi... :)

    ReplyDelete
  16. Nice sharing sangat bermanfaat buat saya sebagai bekal jika suatu saat saya menikah :) makasi mbak

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^