Awalnya saya malu untuk menceritakan peristiwa ini tapi seiring berjalannya
waktu, saya pikir tidak apalah. Sekaligus belajar menertawakan diri sendiri,
belajar menekan ego (halah bilang saja kepingin dapat buku Cenat-Cenut Reporternya mbak Wuri!).
Oke ding, saya sebenarnya naksir
dengan buku Cenat-Cenut Reporter karya mbak Wuri makanya saya memberanikan diri
menuliskan ini (hiks ... terbongkar deh kartu).
Reporter, setahu saya adalah orang yang bertugas meliput sebuah acara atau
kegiatan untuk ditayangkan di televisi. Seumur hidup, baru pertama kali saya
diwawancarai oleh seorang reporter dalam sebuah acara. Acara yang saya maksud,
sudah pernah saya ceritakan di tulisan berjudul Kopdar
dan Masuk Tivi!
Kedengarannya keren ya? Diwawancarai reporter! Fiuuh. Keren bila saya “pemeran utamanya”. Ini biasa saja, karena
saya hanya sebagai figuran.
Jadi ceritanya, sebuah stasiun TV tertarik meliput kegiatan Erlina Ayu – koordinator
wilayah IIDN Makassar. Salah seorang kru TV mendapatkan nomor HP Ayu – sapaan akrab
Erlina Ayu, dari blog pribadinya. Ayu sudah
beberapa kali dihubungi pekerja media dan komunitas-komunitas lain semenjak
tampil di ajang TedX Makassar – sebuah acara lokal yang diadopsi dari sebuah
acara berskala internasional yang menampilkan ide-ide brilian yang bermanfaat
dibagi kepada khalayak.
Sumber: thetownreporter.com |
Singkatnya, janjianlah kami di sebuah food
court di pusat kota. Sementara kami berbincang-bincang mengenai dunia
kepenulisan, kru stasiun TV tiba. Sekilas reporternya menceritakan kepada Ayu
dan kami skenario peliputan hari itu.
Action.
Ayu diarahkan untuk sedikit berakting. Ceritanya ia baru datang, mendekati
kami yang sedang bercakap-cakap, dan menyalami kami. Lancar. Kalau tidak salah
hanya satu atau dua kali diulang adegan itu.
Lalu giliran kru TV berakting. Sang reporter terlihat gugup. Apa ia
reporter baru? Entahlah. Ah ya, mungkin
karena ia harus berakting di depan ibu-ibu muda dan dua gadis anggota IIDN
Makassar nan menawan (uhuk-uhuk).
Akting sang reporter benar-benar tertantang. Keringat mulai mengalir turun
di jidat dan pipinya. Beberapa kali diulang, lebih banyak daripada yang harus
diulang oleh Ayu tadi. Lebih dari sepuluh pasang mata milik kami menatapnya,
menyemangatinya dalam hati.
“Kenapa Mas, gugup ya?” sergah Uty, salah seorang gadis kami dengan tak
berperasaan. Untungnya kebanyakan kami adalah ibu-ibu yang masih menjaga
keanggunan sikap jadi kami hanya tersenyum manis melihatnya bereaksi atas
sergahan Uty. Benar-benar senyum yang membuat kami terlihat makin anggun!
Hei, tidak bohong lho, kami memang anggun. Kalau tidak,
pasti kami sudah ngakak atau cekikikan tak karuan sembari memukul-mukul meja
atau menarik-narik kerah baju para kru dengan semangat membara.
Untungnya peliputan kegiatan diskusi kami akhirnya berjalan lancar. Setelah
itu masuk sesi peliputan wawancara Ayu. Makan waktu bermenit-menit. Usai itu
Ayu mendekati saya. “Kak, nanti mau diwawancarai juga sama kru,” Ayu mengabari
saya sebuah berita gembira.
“Oya? Saya harus bicara tentang apa?” saya bertanya balik.
“Tentang pengalaman bergabung di IIDN Makassar,” Ayu menjelaskan.
Saya mengangguk.
Kenapa saya ya? Oh iya, di antara teman-teman, setelah Ayu saya merupakan
anggota terlama yang ada di situ. Okeh,
baiklah.
Tak urung kegugupan mulai menyerang saya, tapi ada sedikit perasaan senang
juga. Saya belum pernah diwawancarai. Ini pengalaman pertama saya diwawancarai
reporter televisi (yeayy)!
Reporter dan para kru mengambil posisi, duduk di sebuah kursi. Saya duduk
tepat di depan sang reporter. Sebuah clip
on diserahkan kepada saya, harus saya selipkan di balik jilbab.
Belum apa-apa bibir saya mulai terasa kering.
Tenggorokan ikut-ikutan kering.
Reporter yang masih terlihat gugup itu mulai melontarkan
pertanyaan-pertanyaannya (aih, bukan gugup deh kayaknya. Sepertinya memang
karakternya seperti itu). Hanya sedikit dan gampang saja menjawabnya karena hanya seputar
pengalaman saya bergabung dengan komunitas IIDN.
Tapi ... kenapa kepala saya terasa pusing? Padahal sedang duduk. Aneh deh saya ini.
Sepersekian detik terlintas di pikiran, “Bagaimana kalau saya pingsan di
sini?”
Aduh malu-maluin saja kalau
sampai pingsan, lalu harus digotong beberapa orang. Masa iya diwawancarai
sambil duduk bisa sampai pingsan? Pertanyaannya sangat mudah lagi, bukan soal
integral susun tiga atau cara kerja sistem telekomunikasi, juga bukan soal Teori
Medan atau Matematika Teknik zaman kuliah dulu.
Huaaa jangan sampai kepingsanan
saya masuk berita!
Cut. Khayalan yang
sungguh terlalu.
Istighfar.
Tenang.
Alhamdulillah tak terjadi apa-apa. Saya berhasil mengatasi kegugupan dan
kepeningan saya.
Beberapa jam setelahnya, saat saya mengingat-ingat jawaban saya kepada sang
reporter, saya menyesal setengah mati dan merasa malu sendiri. Seandainya bisa
diulang sesi wawancara itu, mau deh saya
diulang. Diulang? Waks, figuran
berharap wawancaranya diulang? Mana bisaaaa.
Saat ditanya tentang pengalaman saya bergabung dengan IIDN Makassar, (saya lupa
tepatnya tapi kurang lebih) saya menjawab, “Kalau berminat menulis, kita mesti
mencari teman yang berminat sama supaya semangat tetap terjaga. Bergabung
dengan IIDN membuat saya bisa saling sharing
dengan teman-teman yang senasib sepenanggungan.”
Reporter terlihat agak bengong.
Saya mengulangi sekali lagi istilah “senasib sepenanggungan” itu.
Sang reporter mengangguk. Sepertinya ia paham dengan maksud saya. Atau
pura-pura paham?
Saya memikirkan kembali jawaban saya.
Senasib sepenanggungan?
Ya ampun, ini namanya sok mendramatisir.
Bilang saja “sesama ibu rumahtangga”.
Selama berhari-hari saya merasa konyol sekali dan berharap tak ada orang
yang mengenali saya menonton acara itu.
Makassar, 28 April 2013
Tulisan ini diikutkan giveaway Cenat-Cenut Reporter
Silakan juga
disimak:
Share :
bisa juga dibilang senasib sepenanggungan mbak,lah kan ngerasain suka dukanya jadi penulis. :)
ReplyDeleteAh terimakasih atas pengertiannya mbak Wina :)
DeleteHehehe... tulisan kakak lucu n menarik....
ReplyDeleteqiqiqiqiqi....
yup... senasib dan sepenanggungan..
Good luck ya kak ^^
Kita eh Nunu kan belum senasib sepenanggungan dengan saya? :D
Deletesaya paham kok maksud senasib sepenanggungan, hihi
ReplyDeletetapi memang aneh ya, hubungannya apa sama nulis? kok kayak korban gempa? hihii
Iya apa hubungannya coba? Kenapa kata2 itu yang terpikir waktu itu ya? :D
Deletesukses ya
ReplyDeleteTerimakasih ya
Deletekalu waktu siaran di radio padahal ga ada yang lihat .. itu aja gemetaran hehe
ReplyDeletePadahal gak ada yang liat ya hehehe
DeleteSenasib sepenanggungan? hehehehe jadi inget jaman di kost-kostan x_X
ReplyDeleteKalo di kos-kosan memang cocok ya? Ini ... waah jawaban yang memalukan x_X
DeleteHihihi...asyik, diwawancara :)Jadi ikutan grogi #lho
ReplyDeleteSemoga sukses kontesnya yaaa :)
Aseeek mak Riweuh ikutab groqi qiqiqiq
DeleteSenasib sepenanggungan ya, Mbak, hehe... menarik memang buku Mbak Wuri Nugraeni itu... :) moga sukses ya Mbak...
ReplyDeleteIya mas .. hiks memilukan ya.
DeleteTerimakasih :)
Hihihi, mungkin krn mbak penulis jadi kata "senasib sepenanggungan" adalah biasa.
ReplyDeleteLha kalau reporter yang biasa pake bahasa to the point ya... agak janggal di telinga, hehe.
terima kasih tulisannya.
SIalnya berjam2 setelahnya baru saya sadari, kata2 itu pasti janggal buat sang reporter :)
DeleteMoga berkenan ya mbak Wuri... saya naksir berat sama bukunya lho *kedip2*
Haruse sampean minta rekaman acaranya mbak.. saya kan penasaran tuh gak bisa liat Blogger masuk Tipi ihihihi
ReplyDeleteHuaaaa tidak mau. Kalo ada pasti bawaannya pingin menghapusnya mas Lozz. Kalo perlu dimusnahkan sekalian CDnya :D
Deletejadi pingin lihat rekamannya nih mbak :) semogda dapat ya bukunya
ReplyDeleteUntung stasiun TV lokal, mbak Lidya :D
Deletesenasib dan sepenanggungan.
ReplyDeletekayak perantauan aja sob.
Iya ya ... dasar konyol sayaah ....
Delete