Pengorbanan Sepanjang Waktu

Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu ketiga.

“Ibu mau ke Manokwari lagi,” kata suami saya.
Hah. Mau balik ke sana?” tanya saya.

“Iya. Dua ART berbeda, yang membantu Suleha menelantarkan anak-anaknya. Yang pertama, disuruh beli makanan tidak membelikan untuk anak-anak, hanya buat dirinya sendiri. Ada yang mengunci anak-anak di dalam rumah lalu dia pergi entah ke mana,” panjang lebar suami saya menjelaskan.

Suleha adalah adik suami saya. Ia bersama suami dan kedua anaknya tinggal di Manokwari. Sebagai ibu bekerja (PNS – guru di sebuah SMK), ia menggunakan jasa ART (asisten rumahtangga atau pembantu rumahtangga). Ibu mertua saya pernah ikut Suleha. Suleha sangat terbantu dengan kehadiran Ibu yang senantiasa membantu mengasuh kedua jagoannya.

Hampir setahun ini ibu mertua kembali ke Pare-Pare yang letaknya sekitar seratus lima puluh kilometer dari Makassar. Berita tentang cucu-cucunya yang ditelantarkan ART membuatnya tergerak untuk kembali ke Manokwari.


Sungguh kagum saya pada beliau. Saya pernah menyaksikan bagaimana beliau membuatkan susu, menyuap sambil mengejar-ngejar, juga menceboki cucu-cucunya yang lasak itu. Ahmad dan Althaf[1] –pernah dibawanya ke Pare-Pare karena ada hal mendesak yang membuat Suleha harus berpisah sementara dengan anak-anaknya.

Ahmad terkena cacar air ketika itu. Mengingat ada seseorang di kampung yang bisa mengobati penyakit itu dengan cara tradisional, ibu mertua bergegas berangkat ke kampung. Bersama Ahmad, ia menumpang ojek. Butuh waktu sekitar satu jam naik motor untuk sampai ke kampung. Ibu tak mengeluh. Seandainya butuh sepuluh jam pun, ia pasti menjalaninya. Setelah diobati, berangsur-angsur Ahmad sembuh.

Saya kagum sekali dengan ibu mertua. Di masa lalu ia membesarkan tiga orang anak. Saat bapak mertua meninggal di tahun 1994, ia berjuang sendiri membiayai kuliah ketiga anaknya. Di masa sekarang, ia selalu tulus membantu, tanpa diminta bila Suleha – anak perempuan satu-satunya butuh pertolongan.

Bukan hanya kepada Suleha, kepada dua anak laki-lakinya demikian pula sikapnya. Apapun pertolongan yang bisa diberikannya, ia segera memberi. Entah itu tenaga atau biaya. Waktu saya sakit sehabis melahirkan Afyad, saya tak punya tenaga untuk mencuci pakaian saya sendiri. Pakaian-pakaian kotor hanya saya rendam dalam ember, menunggu suami mencucinya. Ibu mertua kelihatannya sudah berniat hendak mencucikan.

Kepada suami saya berbisik dan mendelik, “Awas kalau Ibu yang cucikan. Kita’[2] yang cuci!” Galak ya? Ya, begitulah saya bisa galak juga. Saya kan sakit usai melahirkan, yang punya andil hingga saya harus melahirkan kan si Papa, jadi kalau saya belum sehat ya dia dong yang harus mencucikan baju-baju saya, bukan ibunya.

Pernah, tiba-tiba saja saya terserang sesak nafas semalaman. Duh, amat tidak nyaman. Baru sekali ini saya merasakan yang namanya sesak nafas. Walau mengantuk dan lelah, tak bisa baring. Mau duduk pun susah. Mana si bayi Afyad menangis minta disusui sementara semua posisi yang saya ambil rasanya serba salah.

Suami tentu tak bisa tidur, ia menemani saya begadang, memijat-mijat punggung dan menggendong Afyad. Untungnya ada ibu mertua yang bergantian shift dengan suami. Saya masih mengingat wajah khawatirnya memandangi saya. Saya masih ingat jemarinya memijat-mijat punggung saya. Ah, Ibu ...

Kabar yang disampaikan Suleha melalui telepon tentang para ART-nya hanyalah curhat seorang anak kepada ibunya. Bukan meminta beliau untuk menjadi pengasuh cucu-cucunya. Tapi oleh ibu mertua, langsung ditanggapinya dengan niat untuk segera berangkat ke Manokwari. Ia takut terjadi apa-apa dengan cucu-cucunya bila hanya ditinggalkan dengan ART.

Padahal perjalanan ke Manokwari bukan perjalanan singkat. Setiap ke sana, beliau hanya mau naik kapal laut, di kelas ekonomi pula. Bila ditanyakan, “Kenapa tidak pilih kelas?” Beliau menjawab, “Enak naik ekonomi. Banyak teman.”

Di zaman sekarang, menjadi ibu bekerja sangat dilematis. Meninggalkan anak dengan siapa selama ibu bekerja tentu bukan hal sepele. Meninggalkan anak dengan ART? Sang ibu mesti selalu memastikan apakah anak-anaknya aman sentosa di tangan ART.

Patut dipahami oleh ibu yang meninggalkan anaknya kepada ART bahwa mengasuh anak sambil mengerjakan pekerjaan rumahtangga tentu tak mudah. Saya paham sekali karena nyaris sepanjang usia pernikahan saya yang sudah masuk angka empat belas tahun ini, saya tak menggunakan jasa ART.

Bila satu rumahtangga memiliki dua ART, mungkin lebih mudah. Para ART bisa membagi beban. Tapi kalau hanya satu ART menangani segala tetek bengek pekerjaan rumahtangga plus mengasuh anak (apa lagi bila itu lebih dari satu anak)? Wajar sekali kalau ART menjadi lalai atau stres. Wong ibunya sendiri bisa stres koq.

Sumber: redcrosspdx.blogspot.com
Beruntung sekali ibu-ibu yang memiliki ibunda seperti ibu mertua saya ini. Insya Allah, saudari ipar saya akan tenang meninggalkan anak-anaknya dalam pengawasan beliau nanti.

Saya kemudian bertanya kepada suami, “Tapi, nanti Suleha tetap mengambil ART kan? Kasihan Ibu kalau harus menjaga kedua anak itu dan mengerjakan pekerjaan rumah. Ibu sudah tua, tak sekuat dulu.”

“Nanti Saya bilang sama Suleha supaya mencari ART,” kata suami saya.

Iya dong. Ibu kan hanya bertindak sebagai pengawas. Untuk kerjaan rumah, baiknya tetap mengambil ART. Tidak tega saya membayangkan kalau Ibu ikut membantu mencuci pakaian, mencuci piring, dan memasak. Kasihan, dua tahun lagi usia beliau masuk kepala 7.

Saat ibu mertua ke Makassar mengunjungi kami, saya menanyakan rencana keberangkatannya. Beliau sudah bulat mau ke Manokwari. Beliau menceritakan lagi kepada saya ulah para ART itu, “Pembantu yang pertama itu, dilaporkan sama tetangga ulahnya kepada Suleha. Katanya ia suka memukul anak-anak dan tidak memberikan makanan kepada anak-anak. Yang kedua, menguncikan pintu anak-anak baru dia pergi. Waktu Suleha pulang, Ahmad menutup mukanya dengan bantal, marah dia sama mamanya.”

Mendengar lebih lengkap cerita ini, membuat saya bertanya-tanya. Anak-anak saya kelak, di zaman yang mungkin lebih kompleks dari sekarang, bagaimana mereka mengasuh anak-anak mereka? Apakah mereka mengharap saya turun tangan menjadi penjaga dan pencebok anak-anak mereka?

Hm ... Affiq, Athifah, dan Afyad, kalau kalian membaca tulisan ini, pikirkan baik-baik hal itu ya?

Makassar, 22 April 2013

Postingan ini disertakan dalam  #8MingguNgeblog Anging Mammiri


Beberapa tulisan tentang perempuan inspiratif ini:


Silakan juga disimak:







[1] Ahmad dan Althaf sekarang berusia hampir 5 tahun dan 2 tahun
[2] Kita’ : kata ganti orang kedua (halus/sopan). Biasa ditujukan kepada orang yang dihormati. 



Share :

18 Komentar di "Pengorbanan Sepanjang Waktu"

  1. kalo aq di desa mah ngga banyak yg pake ART mbak, paling pol kerjaannya satu. kalo ngasuh ya ngasuh aja, kalo dapur/nyuci ya nyuci aja. Ngga banyak yg dobel.

    Yah menghawatirkan juga. Salut buat mertuanya Mbak :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, mengkhawatirkan ... terimakasih yaa :)

      Delete
  2. kalau pake jasa ART memang sangat mengkhawatirkan, banyak kasus terjadi dari penyiksaan sampai pembunuhan ngeri nntn di TV...begitulah kasih sayang ibu sepanjang masa kepada anaknya :), nice post kk saya suka sukses ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jangankan ART, baby sitter saja tanda tanya :)
      Terimakasih yaa

      Delete
  3. kalo ngomongin soal ART nih jadi serba salah saya mbak.tapi memang anak" lebh baik di jaga sama keluarga entah itu ibu, kakak, bibi atau adik, membangun chermistri dengan ART memang susah, dan anak" itu kan memang ikut kemauannya bukan ikut pikiran kita yg udah dewasa
    btw, pekanbaru dulu di mananya mbak?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya serba salah ya mbak ...
      Dulu saya di Rumbai :)

      Delete
  4. hal yang paling sulit memang memelihara dan membesarkan anak kecil. Ibu yang bekerja di luar rumah bakal sangat sulit menjalani hal (kewajiban) ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pasti sulit, dihadapkan pada pilihan2 yang tidak mudah

      Delete
  5. mertuanya baikkk >.<
    semoga mertua saya nanti juga mau mengasuh cucu2nya
    *eh
    telaten sekali mertua Mak Mugniar, beruntungnya ... :)

    semoga terpilih kisah ini, Mak! ^^

    sebentar, sepertinya saya juga pernah membaca kisah serupa. Apa dulu pernah ikutan lombanya Mbak Aida? Yg tentang wanita hebat itu?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah, tapi walau beliau baik saya bersyukur tak pernah merepotkan beliau mengurusi anak2 saya mbak :)

      Iya benar, dengan kisah yang berbeda, saking ngefansnya saya sama beliau

      Delete
  6. Semoga saya nantinya bisa mendapatkan ibu mertua sebaik beliau :) Yaampun ngerinya mempekerjakan ART sekarang ini >.<

    ReplyDelete
  7. masyaAllah, kak niar beruntung punya mertua yg inspiratif... Salam sama beliau yah, kak :')
    semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  8. Waduh.. sama dengan mertuaku mbak..
    Makanya saya kadang menyembunyikan pakaian kotor kalau belum sempat saya cuci. Kalo tidak, di angkat semua sama mertua tuk di cuci...

    ReplyDelete
  9. Duh miris juga yah kak baca ceritanya, apalagi yang sampai gak kasi makanan. Memang harus cermat milih ART, mungkin syarat yang biasa terpasang di iklan lowongan kerja "Bersedia bekerja dibawah tekanan" harus digunakan juga :)

    ReplyDelete
  10. Subhanallah... ibu mertua yg baik sekali...

    ReplyDelete
  11. Semoga ibu mertunya selalu sehat, dan iparta semoga diberi ART yang amanah, aamiin :)

    ReplyDelete
  12. Subhanallah beruntung punya ibu mertua penyayang mbak..aku merasakan punya ibu mertua cuma bentar bgt ;(

    ReplyDelete
  13. Ngeri juga ya dengan model ART seperti itu. Beruntung sekali Mak Mugniar punya Ibu mertua yg luar biasa. Semoag beliau sehat selalu, aamiin.

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^