Allah, Ia-lah Sang Penggerak Hati

         Jika tak mengalami sendiri, saya tak percaya ada anak berumur satu tahun mau berhenti sendiri menyusu pada ibunya secara sukarela. Karena sering sekali saya mendengar ibu-ibu kesulitan menyapih anak mereka yang sudah berusia dua tahun. Bahkan ada yang ‘menyusui’ anaknya hingga sang anak berusia empat tahun saking sulitnya melepas anak tersebut dari kegiatan yang sangat disukainya itu.
            Saat sulung saya – Affiq (kini berusia 10 tahun) masih berusia 1 tahun 2 bulan, dengan tiba-tiba ia tidak mau menyusu. Mulanya ia menolak. Tetapi dari gelagatnya saya menyimpulkan sesungguhnya ia mau menyusu. Jadi saya berusaha menyusuinya. Ia menggigit dengan keras. Tetapi karena gelagatnya yang terlihat kemudian menunjukkan keinginannya untuk menyusu, kembali saya berusaha menyusuinya. Ia menolak lagi, menggigit lagi, lalu menangis keras. Berkali-kali hal ini terjadi hingga berkali-kali pula saya dan ia sama-sama menangis frustrasi. Saya menangis menahan rasa sakit dan juga keinginan yang sangat besar untuk tetap menyusuinya hingga usianya dua tahun, takut jika ia benar-benar berhenti menyusu. Namun karena ia tak kunjung benar-benar mau menyusu, akhirnya Affiq berhenti total dari kegiatan yang kami nikmati bersama itu. Saya pun pasrah saja, mau bagaimana lagi.

            Awal Ramadhan ini, kejadian itu berulang kembali kepada si bungsu Afyad. Afyad yang dua bulan lagi insya Allah berusia dua tahun, tiba-tiba memutuskan berhenti menyusu. Saat saya mau menyusuinya, ia menggeleng. Jika saya tetap hendak menyusuinya, ia menggigit ringan. Awalnya saya pikir ia sedang bermain karena ia melakukan itu sembari tertawa. Jadi saya masih berusaha menyusuinya. Ternyata ia tetap menolak. Begitu terus, berulang dari pagi hari hingga malam menjemput. Ia yang biasanya sangat menyukai kegiatan menyusu sebelum tidur, kali ini bersikukuh menolak. Saya baru berhasil menyusuinya saat ia gelisah, merengek tengah malam dengan mata terpejam. Biasanya ia memang menyusu beberapa kali hingga subuh. Kali ini, sementara matanya terpejam - kelihatannya ia lupa dengan penolakannya saat ia terjaga tadi. Ia menyusu dengan lahapnya. Duh, saat inilah salah satu kenikmatan menyusui saya rasakan dan tak ingin itu cepat berlalu: yaitu saat mengamati wajah puasnya tengah lahap menikmati ASI-nya. Inilah nikmat dalam naluri keibuan. Nikmat tak terhingga yang bernilai amal ibadah di sisi-Nya – Sang Penggenggam Nyawa.
            Keesokan paginya, di waktu ia biasa menyusu, kembali saya meletakkannya di tempat tidur hendak menyusuinya. Adegan sehari sebelumnya berulang: ia menolak dengan manis lalu menggigit saat saya ngotot menyodorkan wadah ASI-nya. Adegan itu berulang terus hingga malam menjelang. Ia baru mau disusui saat tengah malam, setelah merengek setengah sadar. Keesokan harinya, adegan yang sama berulang, tetapi malam harinya ia sama sekali tidak menyusu lagi. Sejak itu, Afyad resmi tersapih – atas kehendaknya sendiri.
            Lain pula cerita tersapihnya Athifah (usia 4 tahun 10 bulan), putri kedua saya. Saat ia berusia 2 tahun 2 bulan, saya menutup wadah ASI-nya dengan kain kasa yang diberi sedikit warna dengan spidol merah. Saat ia minta menyusu, saya memperlihatkan kepadanya. Karena takut berbohong, saya mengatakan, “Ini nenennya merah, seperti berdarah.” Athifah yang sudah bisa diajak berkomunikasi balik bertanya, “Berdarah, Mama?” Saya menjawab, “Seperti berdarah ya?” Ia bertanya lagi, “Sakit?” Saya menjawab, “Seperti sakit.” Athifah belum paham arti kata “Seperti” dan ia tidak tertarik untuk bertanya lebih lanjut. Ia terdiam dan tidak meminta lagi. Namun usahanya tidak hanya sekali dua kali. Berkali-kali, ia masih mencoba mendapatkan kembali minuman favoritnya. Berkali-kali saya memberikan jawaban yang sama. Berkali-kali pula ia terdiam, mengerti. Ia tahu rasanya sakit karena berdarah. Beberapa waktu sebelumnya di kepalanya tumbuh bisul besar yang pecah dan berdarah. Ia paham seperti apa rasa sakit karena berdarah, dan ia mengira saya pun mengalaminya. Akhirnya dalam beberapa hari, ia pun tersapih total.
            Dari ketiga pengalaman ini, saya tercenung, “Allah, Engkaulah pemilik hati. Kalau bukan Engkau, siapa lagi yang bisa menggerakkan hati ketiga buah hati saya yang masih sangat belia untuk berhenti menyusu? Betapa banyak ibu yang kesulitan menyapih putra-putri mereka, walau sudah puluhan trik mereka coba tetapi tidak kunjung berhasil. Dan kepada saya, Engkau berikan kemudahan?”
            Subhanallah, sekali lagi Engkau perlihatkan tanda-tanda kebesaran-Mu pada hal sederhana ini. Engkau sungguh Maha Penggerak Hati.
Makassar, 13 Agustus 2011


Share :

0 Response to "Allah, Ia-lah Sang Penggerak Hati"

Post a Comment

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^