Affiq Berlebaran !!!

Affiq Berlebaran !!! - Lebaran tahun 2005 ini kami lalui di kota tempat tinggal ibu mertua saya, di Pare Pare, kota pantai berjarak 155 km sebelah utara Makassar. Affiq sangat senang di sini karena ia melihat banyak hal baru.

Kamis, 3 November 2005

Lebaran nih ...
Pagi ini Affiq susah sekali dibangunkan. Sekalinya bangun dia tiba-tiba mogok mandi dan marah-marah terus. Tidak jelas masalahnya apa. Mungkin badannya terasa capek. Memang dia kadang-kadang begitu kalau capek. Saat tetangga yang sedianya mau ditumpangi ke lapangan UMPAR (Universitas Muhammadiyah Pare Pare) memanggil, kami – terutama Affiq belum siap. Nenek mengira Affiq bisa dibawa dalam kondisi seperti itu, tidak perlu dimandikan dan diganti bajunya. Saya bilang tidak bisa, bukan masalah dia ganti baju atau tidak, kalau dalam keadaan marah-marah seperti ini ia dibawa secara paksa, bisa-bisa dia merepotkan di jalan, kalau Affiq mengamuk bakal merepotkan sekali. Saya minta Nenek dan Tante Leha berangkat saja duluan biar kami ke masjid dekat rumah saja. Nenek tidak mau, Nenek masih berharap kami bisa semuanya bersama-sama berangkat ke lapangan Andi Makkasau.

Setelah menunggu cukup lama sementara Affiq belum mempan dibujuk rayu untuk mandi dan mengganti baju, Nenek dan Tante Leha pun naik becak ke lapangan Andi Makkasau.

Affiq berlebaran

Akhirnya Affiq mau juga ke kamar mandi. Seperti biasa, upacara kamar mandi berlangsung cukup lama sehingga membuat saya dan Papa mulai tidak sabar. Affiq memang paling senang main di kamar mandi. Keluar dari kamar mandi, masih ada upacara lain: mengeringkan badan dengan handuk. Anak lelaki kecil ini maunya dia sendiri yang mengeringkan badannya dengan waktu yang tidak singkat.


Akhirnya rangkaian upacara melelahkan pagi ini berakhir juga dengan sukses: Affiq ikut shalat Id ke masjid dekat rumah dengan mengenakan baju koko baru lengkap dengan songkoknya dari Nenek, dan sajadah baru berwarna hijau dari Tante Leha dan berbekal ransel hijau birunya yang diisi susu cair dan beberapa makanan kecil. Untung saja shalat belum dimulai. Papa dan Affiq adalah orang terakhir yang tiba di shaf lelaki sementara saya menjadi orang dengan nomor urut kedua dari terakhir yang tiba di bagian jamaah perempuan. Menguntungkan bagi saya karena saya yang sedang berhalangan shalat bisa mendapatkan tempat yang tidak mungkin ditempati shalat yaitu persis di ujung tangga di lantai atas masjid. Bagi beberapa orang, saya terlihat aneh karena ternyata hanya saya satu-satunya perempuan dewasa yang hadir di tempat itu tetapi tidak shalat. Seorang ibu sampai merasa perlu menanyakan apakah saya sedang haid.

Sulit juga menyimak apa yang dikatakan khatib karena sound system masjid tersebut tidak bagus. Belum lama khatib berkhutbah, beberapa perempuan di baris belakang meninggalkan tempat shalat. Kelakuan mereka diikuti oleh yang lain, akhirnya saat khatib tiba di kata-kata penutup setengah jamaah perempuan sudah meninggalkan tempat shalat mereka. Saya yang duduk di ujung tangga, tidak berani masuk terlalu jauh ke dalam masjid karena sedang berhalangan jadi saya hanya bergeser sedikit ke arah dalam dan tetap duduk sementara di sekeliling saya dipadati oleh jamaah perempuan yang hendak keluar masjid. Saat sedang merasa setengah konyol berada dalam kondisi seperti itu – di antara ’pagar betis’, tiba-tiba mata saya menangkap sosok mungil balita laki-laki yang sedang mengenakan baju koko persis seperti yang dikenakan Aff ... eh ... tunggu dulu, ternyata itu Affiq. Ya ampun, bagaimana caranya ia bisa naik ke sini sementara tangga sedang padat-padatnya dengan jamaah perempuan yang bergerak ke luar masjid sementara ia dan Papa tadi shalat di lantai bawah ? Ya Allah, apa ia menerobos naik arus besar yang sedang bergerak turun ? Atau mungkin ada tangga lain di masjid ini ?

Affiq cengar-cengir saja saat saya serbu dengan beberapa pertanyaan. Akhirnya saya tahu bahwa ia ternyata menerobos naik ke lantai atas. Ia bingung saat menyadari saya tidak ada di dekat ia dan Papa. Dan kemudian mencoba mencari saya di lantai atas.

Pulang ke rumah, setelah salam-salaman sama Nenek dan Tante Leha, saya pinjam telepon untuk interlokal Oma dan Ato’ di Makassar. Hanya Oma dan Tante Mirna yang ada di rumah. Ato’ dan Om Uyi pergi bersama Om Pai dan Ifa ke rumahnya kak Nur-Jaya mengambil soto pesanan Oma. Affiq tidak mau bicara dengan Oma, katanya ia mau bicara dengan Ato’ saja.

Kami menelepon Om Pai untuk berbicara dengan Ato’. Dari HP Papa yang bernomor Matrix, ada tarif khusus (diskon) jika kami menghubungi HP Om Pai dan Tante Mirna karena sewaktu mendaftar Matrix kami boleh mengajukan nomor dengan tarif diskon yang sama-sama berada di bawah operator INDOSAT. Affiq juga ikut bicara dengan Ato’ dan Ifa. Akhirnya Affiq mau bicara dengan Oma dari HP Papa ke HP Tante Mirna. Syukurlah, Oma jadi terobati rasa kecewanya.

Jarum jam tengah menuju angka sebelas saat kami semua berangkat ke Pinrang. Nenek hendak mengunjungi keluarga di desa Malimpung. Affiq belum pernah ke sana. Kelihatannya ini saat yang tepat membawa Affiq ke kampung halaman Nenek itu. Ada tantenya Nenek, namanya Nenek Satto yang belum pernah sama sekali melihat Affiq, dan beliau sudah sangat tua. Kami mengambil pete-pete di Jl. La Halede menuju terminal Soreang lalu berhenti di daerah perbatasan dengan kabupaten Pinrang lalu ganti kendaraan. Papa, Affiq, dan saya turun untuk membeli minuman. Tadinya Affiq tidak hendak dibelikan minuman karena ia sudah dibekali dengan Fruit Tea kemasan kardus dan susu cair INDOMILK. Jadi Papa dan saya memilih Fruit Tea black currant 500 ml kemasan botol plastik. Tante Leha memilih Fanta. Terlihat Affiq ingin juga dibelikan minuman, saat ditanya ia memilih Fanta merah seperti pilihan tante Leha. Saya tidak membolehkannya, minuman bersoda itu akan membuat perutnya penuh – kembung, dan bisa membuatnya muntah sementara perjalanan ke Malimpung belum setengah jalan. Pare Pare – kota Pinrang berjarak 28 km, sementara Pinrang – desa Malimpung berjarak 14 km. Affiq mulai menunjukkan mimik keras kepalanya. Ia ngotot mau Fanta merah saat saya tawari susu cair. Untungnya ibu penjual membantu kami, ia berkata tidak menjual lagi. Beberapa menit kemudian baru Affiq melunak dan mau dibelikan susu cair Indomilk. Kami pun melanjutkan perjalanan ke pasar Paleteang yang sekaligus terminal di kota Pinrang.

Pasar yang biasanya ramai dengan penjual, pembeli, kendaraan umum termasuk ojek yang berseliweran kini sepi hanya ada beberapa becak yang tidak mungkin menempuh jarak 14 km naik-turun bukit ke Malimpung. 15 menit menunggu, ada 1 motor yang menghampiri kami, ternyata pengendaranya adalah adik dari om Jalal, suaminya pung Ampe. Untuk ke Malimpung kami membutuhkan 4 ojek. Akhirnya setelah menunggu sekitar 15 menit lagi, lengkaplah 4 motor ojek yang siap mengantar kami ke kampung halaman Nenek. Motor yang tadi menghampiri kami itu tidak jadi mengantar tetapi ia menemani kami menunggu.

Motor yang bergerak paling depan ditumpangi tante Leha. Saya di urutan kedua, lalu Papa bersama Affiq, dan terakhir Nenek. Beberapa kelurahan dan desa dilewati, ada yang bernama Madimeng, Paleteang, Sulili, Ambo Alle, ada pula sawah-sawah yang membentang, rumah-rumah panggung, dan pekuburan Cina. Saat melihat pekuburan Cina Affiq berkata: ”Papa, banyak rumah ...”. Dia mengira bangunan makam di atas bukit itu rumah-rumah kecil.

Perjalanan bermotor yang memakan waktu lebih dari 20 menit itu berakhir di depan rumah Pung Tati & Nenek Arafah. Di Malimpung, kami mengunjungi beberapa rumah keluarga Nenek. Rencananya pulang sore tetapi ternyata sulit mendapatkan ojek kembali ke kota Pinrang. Sekalinya ada tumpangan, sudah terlalu sore sehingga kemungkinan kecil sekali untuk mendapatkan kendaraan umum dari kota Pinrang balik ke Pare Pare.

Affiq senang sekali mendapatkan banyak hal baru di Malimpung. Rumah-rumah panggung, bale-bale di bawah rumah, ternak ayam dan bebek serta kucing-kucing peliharaan yang sangat jinak, dan juga anjing-anjing pemburu. Kucing-kucing itu tidak melawan dikerjai oleh Affiq. Saya yang gemas melihat Affiq. Diberi tahu kemungkinan kucing-kucing itu melawan, ia tidak peduli – ’Toh tidak demikian kenyataannya’, mungkin itu yang ada di pikirannya. Akhirnya ia sampai ke percobaan ke sekian dengan kucing-kucing itu. Satu per satu digiringnya ke bagian belakang rumah panggung lalu melemparkan mereka ke bawah. Jarak lemparan Affiq ada sekitar 3 meter! Kucing-kucing yang memiliki kepasrahan yang sedemikian besar itu tidak kapok, mereka kembali naik ke rumah. Alhasil, Affiq yang masih cekikikan senang, kembali mencengkram mereka untuk dilemparkan kembali ke bawah. Salah satu dari mereka hampir saja jadi santapan anjing yang mengira ada lemparan makanan untuknya!

Di setiap rumah yang dikunjungi, Affiq tidak pernah betah berlama-lama di dalam rumah. Ada saja kesibukannya: mengejar-ngejar bebek, ayam, atau kucing, naik-turun tangga, atau sekedar duduk-duduk di teras depan/tangga rumah sambil mengoceh tidak henti. Sesekali ia minta pipis atau BAB. Acara pipis dan BAB ini pun membuatnya excited karena kamar mandi di kampung tidak seperti kamar mandi di kota: kalau bukan pipis/BAB di bagian belakang rumah panggung (kamar mandi darurat: di sela-sela papan lantai rumah) maka tuan rumah menunjukkan kamar mandi di bawah-samping rumah panggung yang berdiri sendiri, terpisah, merupakan bangunan kecil dari kayu atau semi batu dengan model kloset/bak mandi yang belum pernah selama i ni dilihat oleh Affiq. Ia betah berlama-lama di kamar mandi, di samping hal-hal baru itu, ia memang doyan main air! Sering kali kesabaran saya hampir habis menghadapinya di kamar mandi karena kesulitan mengajaknya keluar !

Di Malimpung ternyata masih banyak sepupu Nenek yang tentu saja disebut ’Nenek’ juga saat dikenalkan kepada Affiq dan meminta Affiq menyalaminya. Setiap rumah pasti ada satu ’Nenek’, terkadang malah sampai lebih dari tiga. Satu, dua, tiga, sampai sekitar 5 ’Nenek’ masih mau disalaminya. Setelah itu ia membuang muka saat dikatakan padanya: ”Affiq, ini Nenek, salim Nak!”. Jangankan menyalami, melihat pun ia tidak mau! Saat ditanyakan padanya berapa banyak Nenek di Malimpung, ia menjawab ”Seratus”, di saat lain ia menjawab ”Seribu”, atau ”Satu juta”. Bagi Affiq, Malimpung adalah kampung ”Sejuta Nenek” ..... !
Malamnya, saya khawatir kalau-kalau Affiq tidak nyenyak tidurnya karena kecapaian dengan ’kesibukan’-nya dengan hal-hal baru di Malimpung. Ternyata tidak, alhamdulillah tidurnya nyenyak sekali, apalagi didukung dengan udara malam Malimpung yang dingin. Ia tidur enak, nyaris tidak bergerak sampai pagi. Malah saya yang kewalahan dengan tenggorokan yang sakit. Pharingitis saya kumat. Untungnya di warung sebelah menjual anti biotik, obat yang terpaksa saya konsumsi jika sakit di tenggorokan ini tak tertahankan.

Jumat 4 November 2005

Sekitar pukul 9 pagi, kami balik ke Pare pare naik pete-pete menuju kota Pinrang dengan bermacam oleh-oleh dari Nenek Arafah. Ada kelapa dan beras. Sampai di terminal kota Pinrang, kami mengganti pete-pete ke arah kota Pare Pare.

Ada pete-pete kosong. Karena masih harus menunggu sampai pete-pete penuh, kami memutuskan untuk menunggu di terminal, duduk di kursi tunggu yang ada di terminal lebih nyaman daripada duduk menunggu di dalam pete-pete. Tidak lama, pete-pete terisi, hampir penuh. Di perjalanan Affiq nangis keras. Dia protes karena harus dipangku sementara dia merasa mendapatkan pete-pete tersebut dalam keadaan kosong tadi dan ia mendapatkan tempat duduk tiba-tiba saat pete-pete berangkat ia harus dipangku dan pete-pete dalam keadaan penuh, berdesak-desakan. Tante Leha menyesalkan Papa yang tidak mengambilkan Affiq satu tempat duduk. Tetapi Papa dan saya sependapat, sekali-kali Affiq harus bisa berbagi, tidak selamanya apa yang ia inginkan terpenuhi, termasuk kali ini. Salah kami adalah, tidak memberitahu kepadanya terlebih dahulu apa saja kemungkinan yang terjadi sepanjang jalan menuju Pare Pare. Jika sudah diberitahu terlebih dahulu, biasanya Affiq lebih menerima keadaan yang terjadi. Misalnya, ia harus diberitahu bahwa pete-pete yang akan membawa kami ke Pare Pare mungkin saja penuh, dan jika kemungkinan pete-petenya penuh maka ia harus mau dipangku. Sampai di Pare Pare Affiq masih ’istiqamah’ ... menangis ....

Sabtu 5 November 2005

Hari ini ziarah kubur Bapak Tahir Parenta. Affiq diberitahu bahwa kakeknya kini terbaring di bawah kubur itu, di dalam tanah. Ternyata ia pernah bertanya pada Nenek sambil menunjuk ke foto kakek Tahir di ruang tamu, ke mana kakeknya, koq tidak pulang-pulang. Kami baru tahu setelah diceritakan oleh Nenek.

Kami berangkat ke Pangkajene Sidenreng dengan sambung-menyambung pete-pete. Ziarah ke rumah pung Cummi yang sedang mempersiapkan pesta pernikahan Supi.

Seperti saat di Malimpung, di Pangsid Affiq senang sekali. Ia tidak pernah berlama-lama diam di dalam rumah. Rumah pung Cummi seperti rumah tradisional Bugis lainnya, merupakan rumah panggung yang terbuat dari kayu dan di bawah rumah terdapat rumah semi batu yang didiami anak pertama pung Cummi beserta anak dan istrinya. Hal yang membuatnya agak lama duduk di dalam rumah adalah mesin tik yang dipakai mengetik label undangan pernikahan. Selain itu tidak ada, ia menyibukkan diri dengan keluar-masuk rumah (atas dan bawah), naik-turun tangga (di depan dan di belakang rumah), atau sekedar duduk-duduk sebentar di tangga/teras. Ia bahkan melakukan suatu hal: lari mengelilingi rumah bawah, kurang lebih 20 kali ! Saya stres menjaganya. Papa, Nenek, dan Tante Leha sempat istirahat, tidur siang. Saya tidak bisa. Sebentar-sebentar saya lari ke pintu depan berteriak memanggil nama Affiq beberapa saat kemudian saya lari ke pintu belakang untuk melakukan hal yang sama. Sesekali saya turun ke bawah untuk melihat apa yang sedang dilakukannya di saat ia berhenti berlari. Saya baru tenang setelah mendengar teriakannya mengiyakan saya dan mengetahui posisinya. Untungnya sumur berpagar rendah yang berdiameter sekitar 2 meter di belakang rumah tidak menjadi tujuan eksplorasinya. Ia hanya tertarik melempar timba ke dalam sumur di saat saya membersihkannya setelah pipis. (Hal itu juga bikin saya berteriak karena tali pada timba ukurannya pendek dan tidak disangkutkan pada suatu tempat sehingga jika dilempar ke dalam sumur ... terpaksa tuan rumah harus membuat timba baru sampai timba lama bisa diangkat kembali ke atas !!).

Kami pulang setelah makan selepas maghrib lalu menunggu pete-pete bersama seorang tantenya Papa beserta cucu beliau. Karena bertujuh, kami mencari mobil langsung ke Pare Pare, siapa tahu ada yang mau mengangkut kami. Sekian menit menunggu akhirnya ada mobil yang bersedia mengangkut kami, sepertinya jenis Kijang atau Panther. Mobil yang lumayan nyaman.

Yang saya tahu, mobil itu sudah sekitar 10 menit jalan ketika tiba-tiba berhenti dan sopirnya turun lalu masuk ke salah sebuah bangunan di seberang sana. Saya kemudian menyadari bahwa ternyata kami berhenti tepat di tempat kami naik tadi. Sang sopir kemudian muncul setelah lebih dari 5 menit bersama seorang laki-laki. Mereka mendekati mobil yang masih terdapat kami di dalamnya hanya untuk sebuah percakapan singkat yang akhirnya membuat kami semua terpaksa turun dari mobil dan mengulangi kembali ’proses menunggu’. Percakapan singkat itu, ringkasnya begini: ”Ke mana ?”, ”Ke Pare Pare, 6 orang” (ket: Affiq tidak dihitung karena ia dipangku saja), ”Tidak bisa”.

Hati saya berbisik (dan saya suarakan ke telinga Papa dan Tante Leha): ”Mohon maaf para penumpang, Anda terpaksa kami turunkan di tempat Anda naik tadi, untuk alasan yang tidak jelas” .... lalu tawa saya meledak, keras sampai perut saya terasa sakit dan mata saya berair sampai memancing Tante Leha tertawa dan Nenek serta Papa tersenyum. Menyebalkan (sedikit), tetapi lebih besar rasa lucunya bagi saya ... untuk apa coba, tadi ia membawa kami berkendara mobil sekitar 10 menit ? hanya untuk menghibur ??? .... J
What a great entertainer ......

Tapi itu dari satu sudut pandang saja, kini (dari sudut pandang lain) saya memahami ... pikirannya .... mungkin ... tadinya sopir itu memang mau mengangkut kami tetapi kemudian ia bimbang karena butuh waktu sekitar sejam untuk sampai di Pare Pare sementara trayek mobil itu mungkin seharusnya lebih jauh dari Pare Pare ... lalu kemudian ia berubah pikiran ... lalu mencoba mencari penggantinya untuk menyopiri kami ... lalu ..... kami pun diturunkan tanpa pesan dan permohonan maaf .....

Catatan:
Nenek : panggilan Affiq untuk ibu mertua sayaOma: panggilan Affiq untuk ibu sayaAto’: dari kata ”Lato’” (bahasa Bugis), panggilan Affiq untuk bapak sayaNenek Arafah: nenek dari suami sayaTante Leha: panggilan Affiq untuk adik perempuan suami sayaTante Mirna: panggilan Affiq untuk adik perempuan sayaOm Uyi: panggilan Affiq untuk adik laki-laki sayaOm Pai: panggilan Affiq untuk suami adik sayaIfa: anak dari Mirna & Pai’Pung’: panggilan untuk orang yang lebih tua/dihormati dan masih ada keturunan bangsawan di daerah Bugis


Share :

0 Response to "Affiq Berlebaran !!!"

Post a Comment

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^