Semangat Berbagi di Setia Karya

Saya senang kembali ke tempat itu. Senang bisa berbincang kembali dengan bu Rini. Senang bisa melihat anak-anak di panti asuhan Setia Karya itu terlihat ceria, seolah mereka tak punya beban hidup apapun padahal di mata kita, merekalah segelintir dari anak-anak yang paling menderita di dunia.

Bagaimana tidak menderita kalau mereka nyaris tak mengenal ayah dan ibu kandung mereka? Beberapa di antara mereka bahkan resmi menjadi penghuni panti di saat usia mereka masih dalam hitungan hari! Hubungan gelap yang dilakukan para mahasiswa yang seharusnya menjadi orang tua mereka dijadikan alasan pembenaran untuk meninggalkan mereka di panti itu.

Bu Rini yang menceritakannya kepada saya. Ia adalah salah satu dari 12 anak pendiri panti asuhan Setia Karya. Enam orang dari mereka tinggal di area panti, mengurusi panti yang beranggotakan 65 anak yatim/piatu/ terlantar ini.


Beberapa anak panti sedang bermain "mobil-mobilan"
Kemarin adalah kunjungan saya untuk yang keempat kalinya ke sana. Seorang saudari muslimah di tempat lain menitipkan amanah untuk anak-anak panti kepada saya. Maka meluncurlah saya ke panti yang terletak di jalan Mannurukki itu bersama suami dan dua anak saya: Athifah dan Afyad.

Athifah senang karena ia punya dua teman baru di sana, dua kakak beradik yang ditinggal pergi ayah-ibu mereka. Bukan ditinggal pergi kerja seperti BMI yang meninggalkan anak-anak mereka. Melainkan ditinggal kawin dengan orang lain. Ayah dan ibu mereka bercerai dan masing-masing kemudian memilih menikah lagi dengan orang lain dan “menelantarkan” mereka. Bu Rini pula yang menceritakan tentang kisah pilu dua gadis mungil itu.

Saya masih ingat penggalan-penggalan percakapan terakhir kami:

“Anak-anak ini masih ada yang punya orang tua. Bapak-ibunya bercerai lalu kawin lagi. Ada yang meninggalkan anak-anaknya sama tetangga. Tetangganya tidak bisa urus, anak-anaknya dibawa ke sini. Orang tua mereka bukan hanya sekali kawin, bercerai lantas kawin lagi. Ada yang masing –masing sudah tiga – empat kali kawin-cerai,” bu Rini mengisahkan.

Saya melongo.

“Susahnya mengajarkan anak-anak ini tata krama. Biasa bagi mereka duduk mengangkat kaki di atas kursi, menyodorkan tangan kiri lantas berkata, ‘Bu, sini ko.’ Saya pernah naik pete’-pete’ (angkot di Makassar) yang ada musiknya. Seorang anak menaikkan telunjuknya kemudian kepalanya bergoyang-goyang. Waktu saya tanya, ‘Kenapa ko begitu?’ anak itu bilang, ‘Biasa ji yang seperti ini di kampungku, Bu.’ Ck ck ck, bayangkan ki’, Bu, kampungnya itu terpencil di Mamuju sana.”

Saya makin melongo.

Bu Rini dibantu oleh dua orang anak asuhnya
Anak-anak itu sebagian berasal dari sebuah kampung di kabupaten Mamuju. Di kampung itu, kawin-cerai lumrah sekali terjadi. Dan bisa berkali-kali. Banyak orang tua yang tidak pusing bagaimana nasib anak-anak mereka setelah mereka menikah lagi.

Anak-anak itu pun tak pernah diajar mengenal Islam meski di KTP orang tua mereka tertera Islam. Para pengurus panti sering mendapatkan pertanyaan seperti, “Kenapa harus shalat?” atau “Kenapa harus ada Allah?” dari mulut mereka.

“Ada yang orang tuanya datang menjenguk. Ya ampun, Bu, jangankan untuk bilang terima kasih, permisi-permisi saat datang dan saat mau pulang saja tidak. Kalau mau ambil anaknya, langsung saja diambil dan dibawa pulang, tidak bilang apa-apa sama pengurus di sini!” tambah bu Rini.

Waduh. Ternyata ada ya orang-orang yang hidup tanpa tata krama sama sekali?

“Tapi kita usahakan, anak-anak ini diajar tata krama, Bu. Alhamdulillah selama di sini mereka lebih mengerti. Kalau waktunya shalat, anak-anak disuruh shalat. Maghrib, Isya, dan Subuh, mereka harus berjama’ah. Kalau ada yang menolak, ada kakakku yang siap pukul pantatnya. Mereka juga diajar mengaji. Ada pengurus di sini yang ajari. Kalau masih ada waktu, Kami kasih siraman rohani dengan nasihat yang baik,” tutur bu Rini lagi.

Bu Lily menuliskan tanda terima
Saya kagum. Membayangkan betapa rempong dan menguras energinya mengurusi sekian banyak anak orang lain, belum ditambah anak kandung sendiri, tentu butuh keikhlasan yang luar biasa. 

Bu Rini dan saudara-saudaranya adalah generasi kedua yang memeluk Islam dalam keluarga mereka. Ayah mereka, lelaki Tionghoa bernama Koh Ti, berganti nama menjadi Muhammad Sangkala Saharuddin ketika menjadi muallaf adalah pendiri panti asuhan Setia Karya pada tahun 1976. Ibu mereka bernama Tan Swang King, alias Mince Senga Daeng Samin, menjadi muallaf setelah anak-anaknya lahir.

Empat kali berkunjung ke panti itu, tiga kali saya bersua dan ngobrol dengan bu Rini. Orangnya hangat, begitu pula suaminya, jadi saya merasa cepat akrab dengannya.

Di kunjungan kemarin, bu Rini sedang sibuk di dapur jadi yang menerima saya di ruang kantor adalah bu Lily – kakak kandungnya. Setelah menerima tanda terima dari bu Lily, saya ke dapur dan ngobrol bersama bu Rini dan suaminya yang sedang sibuk membuat kue donat dan jalangkote’ (pastel) untuk dititipjualkan di beberapa toko.

Berjualan kue merupakan salah satu pintu rezeki panti. Untungnya bu Rini memiliki kecakapan dalam hal membuat kue. Ia sekaligus mengajari anak-anak asuhnya agar kelak mempunyai keterampilan yang sama dengannya, dengan harapan pengetahuan itu bisa digunakan kelak untuk bertahan hidup.

Berfoto bersama bu Rini dan suaminya
Bu Rini menceritakan suka dukanya berjualan kue.

“Tidak bisa bikin terlalu banyak, Bu. Palingan seratus biji. Kasihan anak-anak, tidak bisa bantu, mereka kan mau sekolah,” ujar bu Rini sambil mencampur adonan.

Suami bu Rini memasukkan adonan tepung ke mesin pemipih adonan di pojok dapur lalu mencetaknya dalam bentuk lingkaran-lingkaran. Sesekali lelaki itu terlibat dalam pembicaraan kami seraya tetap membantu istrinya.

“Kelas berapa adek-adek itu, Bu?” tunjuk saya kepada dua orang anak perempuan yang membantu bu Rini.

“Kelas enam SD dan SMP. Yang SD ini sekolahnya gratis di Pertiwi. Dapat program bantuan yang hanya sekali dalam enam tahun,” bu Rini menjelaskan dengan ramah.

“Berapa anak ta’, Bu? Yang besar barangkali sudah mahasiswa, ya?” tanya saya lagi.

“Empat. Yang besar baru mau kuliah tahun ini,” bu Rini menjawab pertanyaan saya.

Kita’ tinggal di sini di’?” saya bertanya lagi.

“Iya. Sebenarnya ada rumahku di Palantikang tapi terlalu jauh. Jadi rumah di sana dikontrakkan, Kami tinggal di sini,” jawab bu Rini.

Wow. Padahal ia punya rumah pribadi di daerah Gowa. Kalau tinggal di sana, ia tak perlu direpotkan oleh anak-anak panti. Tapi rupanya ia dan suaminya lebih memilih tinggal di panti agar dapat mengurus anak-anak itu.

Kekaguman saya semakin bertambah kepada sosok bu Rini. Sungguh langka, di zaman ini masih ada orang-orang seperti bu Rini, suaminya, dan saudara-saudaranya yang mau mengurusi anak-anak orang lain seperti mengurusi anak-anak kandung mereka.

Sungguh besar pelajaran yang bisa saya peroleh dari bu Rini. Belajar untuk lebih optimis, lebih ikhlas, dan menjadi lebih bermanfaat. Semoga apa yang mereka tanamkan dalam diri anak-anak panti itu kelak akan berbuah manis berupa manusia-manusia bermanfaat yang juga kelak akan menebar manfaat di sekitar mereka. 

Makassar, 17 Juli 2014








Share :

29 Komentar di "Semangat Berbagi di Setia Karya"

  1. Persis sekali dengan panti yang sekarang saya tinggali.. susah buanget ngajarin mereka tata krama

    ReplyDelete
    Replies
    1. Karena mereka tak punya patron yang bisa ditiru ya Mas Huda :(

      Delete
    2. Betul sekali bu... berat memang untuk jadi panutan.. apalagi mereka dari berbagai latar belakang dan usia yang berbeda

      Delete
  2. Temen saya ada yg dari panti juga :). Memang sekarang jarang sekali orang yg mau dg ikhlas seperti bu Rini, suami dan kakaknya itu. Di sini ada malah yg membuka panti hanya agar menerima dana bantuan dari donatur, sedang anak pantinya dibiarkan makan mie kadarluasa, astaghfirullah..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yang kayak gitu banyak, Mak. Mereka meminta donasi seolah2 dari panti asuhan padahal memperkaya diri sendiri :(

      Delete
  3. memprihatinkan ya, butuh usaha keras untuk mendidik mereka memiliki tatakrama...

    salut untuk pengasuh panti dan donaturnya, semoga mndapat kemudahan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Pak. Butuh usaha keras karena mereka tak terbiasa memiliki tata krama.

      Aamiin. Semoga, dengan dibaca oleh banyak orang, dan didoakan, pengurus panti asuhan Setia Karya mendapatkan banyak kemudahan. Aamiin Yaa Rabb.

      Delete
  4. Tulisan bagus, mak. Semoga menang. Saya juga ikutan tapi belum daftar, belum melengkapi fotonya di blog. Dipajang dulu. :)
    Saya juga melongo bacanya, kok kawin cerai di Mamuju lumrah gitu? Gimana nasib anak-anaknya? Apakah tak ada lembaga perlindungan anak yang menggugat adat buruk macam itu?
    Innalillahi. Pedih banget, mak. Semoga Bu Rini dan Yayasan Setia karya tetap kukuh demi anak-anak masa depan yang terbuang. aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Di salah satu kampng di Mamuju, tepatnya Mak .... yah .. begitulah. kasihan anak2nya ya?

      Aamiin

      Delete
  5. begitulah mbk,kadang yang ngasih tau udah sampe keluar otot2nya tapi mereka tetep bahkan ada yang tidak menggubris sama sekali....semangat untuk bu rini,baarokalloh :D
    *kebetulan dirumah,ibu juga ngelola panti asuhan :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wow .. barakallah untuk ibu Mbak Hanna .... luar biasa beliau

      Delete
  6. anak-anak susah diajari tata krama..memang butuh proses...sekarang jamannya agak beda dengan dulu, banyak pengaruh eksternal yang membuat anak2 susah diajari tata krama...kalau pengajar atau pengurus panti asuhan tidak kuat..pastilah angkat tangan menyerah..., saat ini banyak suku Tionghoa yang mulai memeluk Islam..namun kurang terekspos...,meskipun ada komunitas Persatuan Muslim Tionghoa..
    semoga saja Bu Rini bisa tabah dan kuat mengurus panti asuhannya, meskipun harus rela meninggalkan rumahnya yang di palantikang...
    selamat berlomba ya...semoga menjadi salah satu yang terbaik...
    keep happy blogging always..salam :-)

    ReplyDelete
  7. subhanallan sebuah kisah yang inspiratif mak :))

    ReplyDelete
  8. wah, belum nulis, belum nemu ide....semoga berhasil memboyong tabletnya ya mak :)

    ReplyDelete
  9. Keren, Bunda. Mantap tulisan reportasenya. Angkat jempol :D

    ReplyDelete
  10. Subhanallah ya mak sanggup mengurus 65 anak-anak yang minim tata krama >.< perjuangan banget pasti..

    ReplyDelete
  11. Salut pada Bu Rini... hebat sekali beliau ini.

    Itu cerita tentang anak2 yang diterlantarkan orang tuanya kok ngenes banget ya mak. Kasihan banget mereka... orang tua mereka begitu egoisnya. Hiks...

    ReplyDelete
  12. Subhanallah super sekali... semoga hidupnya berkah. :) Mulia sekali mau mengurusi anak-anak yang akan jadi penerus generasi untuk jadi yang lebih baik. :))

    ReplyDelete
  13. Subuhanallah, Inspirasi banget. Berbagi yang ikhlas dan ... wah :)
    Haru. Pelajaran yang indah.
    Semangat berbagi :)

    ReplyDelete
  14. Assalamu'alaikum...
    Terima kasih sudah berbagi cerita inspiratif ini, ya!
    Good luck! ^_^
    Emak Gaoel

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^