Selamatkan Tulang Punggung yang Rawan

Penyakit adalah ujian yang harus dilalui semua manusia, bahkan semua makhluk hidup. Baik itu penyakit ringan maupun berat, pasti ada konsekuensi yang harus “dibayar” penderitanya. Minimal meringis menahan sakit.

Penyakit berat, bahkan menjadi pengingat bahwa kematian begitu dekat. Sedih. Pilu. Begitulah perasaan yang meyayat ketika menyaksikan keluarga sendiri tengah berjuang melawan penyakit berat yang dideritanya.

Bila maut menjemput barulah kita benar-benar percaya bahwa kematian itu begitu dekat. “Kita ini langganan dengan mati,” begitu kata seorang guru saya. Langganan, karena sebenarnya kematian bisa datang kapan saja. Ia mengintai siapa saja. Kemarin anggota keluarga kita, bisa jadi besok kita yang dijemput paksa olehnya.



Ingatkah Kawan tentang kisah A Long yang pernah saya ceritakan di blog ini? Ah ya, saya berikan link-nya supaya Kawan bisa membacanya ya? Ini dia: Jangan Lagi Ada A Long – A Long Lain.

Sumber: www.5election.com
A Long yang baru berusia 6 tahun terpaksa tingga sendirian di gubuk kecilnya. Ayah dan ibunya meninggal akibat koinfeksi TB paru dan AIDS. A Long amat tabah karena ia bisa mengurus dirinya sendiri. Ia mandi sendiri, bermain sendiri, mencuci pakaiannya sendiri, dan memasak sendiri makanannya.

Ia merebus beras bersama sayur sawi tanpa garam. Bubur sayuran itulah makanannya. A Long sebenarnya masih punya seorang nenek. Tetapi neneknya hanya sesekali saja menengoknya. Bila bertandang, ia membawakan cucunya makanan. Saat ditanya mengapa ia tak tinggal bersama cucunya, ia tak menjawab.

Darah daging sendiri saja enggan memeliharanya, apalagi penduduk desa. Penduduk desa setempat menjauhinya karena mereka sudah tahu orang tua A Long adalah pengidap TB dan AIDS. Siapa yang siap tertular kedua bibit penyakit itu? Dalam tubuh A Long hampir dipastikan mengandung kedua bibit penyakit mengerikan itu!

Selain takut tertular, kemiskinan juga menjadi kambing hitamnya. Biaya berobat yang mahal, membuat penduduk desa menghindari A Long ketimbang membantu membiayai perawatannya. Begitu pun nenek kandungnya sendiri. Kasihan A Long.

Kedua orang tua A Long kini seolah bebas. Mereka meninggalkan dunia tanpa perlu merasakan beban penyakitnya. Tapi sayangnya mereka mungkin tak pernah memikirkan beban ekonomi yang mereka tinggalkan, yaitu beban kehidupan yang terletak di bahu A Long.

Mereka mungkin tak pernah membayangkan, bagaimana A Long akan bertumbuh dalam kemiskinan, apalagi membayangkan bagaimana A Long akan memperoleh pendidikan dalam ketiadaan biaya di samping beban penyakit berbahaya yang dikandung oleh tubuhnya. Siapa pun tahu, hal ini akan lebih mudah bila orang tua A Long telah menyimpan tabungan untuknya tetapi kenyataan berkata tidak.

Cukup A Long saja yang mengalaminya. Namun mengingat data WHO tahun 2011, bahwa lebih dari 95% kematian akibat TB terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Dan mengingat bahwa dari jumlah penderita TB di seluruh dunia, lima puluh persennya terdapat di Asia Tenggara. Juga mengingat perkiraan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki penderita TB terbanyak di dunia, bersama-sama dengan India dan Cina, dan setiap tahunnya 500.000 orang di kawasan ini meninggal dunia akibat penyakit tersebut, maka siapa pun akan bergidik ngeri, membayangkan kemungkinan adanya A Long-A Long lain di tempat-tempat yang tidak terjangkau.


Mengetahui fakta tentang kematian memang mengerikan. Namun kita perlu mengetahuinya agar bisa mencari cara mengantisipasinya. Angka kematian akibat TB di dunia mencapai 1,3 juta jiwa per tahun. Di Indonesia, setiap tahun terdapat 67.000 kasus meninggal karena TB atau sekitar 186 orang per hari.

TB adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan peringkat 3 dalam daftar 10 penyakit pembunuh tertinggi di Indonesia (SKRT 2004). Selain itu pada usia 5 tahun ke atas, TB merupakan penyebab kematian nomor 4 di perkotaan setelah stroke, Diabetes dan hipertensi dan nomor 2 dipedesaan setelah stroke (Riskesdas 2007).

Beban TB di Indonesia masih sangat tinggi mengingat setiap tahun masih ada 460.000 kasus baru. Dalam sebuah jurnal berjudul Tuberkulosis dan Kemiskinan yang disusun oleh Tjandra Yoga Aditama, dari Departemen Pulmonologi & Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta (2004) di sebutkan bahwa TB bukan lagi jadi masalah kesehatan masyarakat di satu negara bila jumlah penderita baru yang menular kurang dari satu orang untuk setiap satu juta penduduk.

Bila dihitung secara kasar, dalam keseluruhan jumlah penduduk Indonesia yang sebanyak 250 juta jiwa, dibagi 460.000 kasus baru, berarti setiap sebanyak 543 orang ada 1 orang yang baru tertular TB. Berarti ada lebih 200 orang yang baru tertular dalam setiap 1 juta penduduk Indonesia. Wow, sungguh angka yang fantastis!

Beban ekonomi akibat TB dan kemiskinan, berdampak juga pada masalah-
masalah kependudukan negeri ini
Di samping itu, penyakit TB pun mengakibatkan dampak ekonomi pada penderitanya. Salah satunya adalah, 75% pasien TB harus mengambil pinjaman atau berhutang untuk biaya pengobatan dan biaya sehari-hari. Bila ini terjadi maka slogan mencegah lebih baik daripada mengobati tinggal sebagai kata-kata mutiara belaka. Karena terbukti bahwa mengobati itu jauh lebih berat daripada mencegah.

Dalam jurnal Tuberkulosis dan Kemiskinan itu disebutkan pula bahwa penyakit dan kemiskinan dapat seperti vicious cycles. Karena miskin, orang jadi kurang gizi, tinggal di tempat yang tidak sehat, dan tidak dapat melakukan pemeliharaan kesehatan dengan baik. Akibatnya, si miskin akan jatuh sakit. Karena sakit maka dia terpaksa berobat. Biaya pengobatan itu cukup mahal, akibatnya si miskin akan makin miskin lagi, sehingga berhenti berobat, makin parah demikian seterusnya.

Publikasi WHO dalam rangka World TB Day 2002 yang mengambil tema Stop TB Fight Proverty menyebutkan di dalam poin kelimanya:
Penelitian menunjukkan bahwa 3 atau 4 bulan masa kerja akan hilang karena seseorang sakit TB. Hal itu berpotensi menyebabkan hilangnya 20-30% pendapatan rumah tangga dalam setahun. Bila seseorang meninggal akibat TB, maka keluarganya akan kehilangan sekitar 13-15 tahun pendapatan karena kepala keluarganya meninggal akibat TB.

Kehilangan sekitar 13 – 15 tahun pendapatan tentunya akan berdampak sangat signifikan bagi keluarga yang ditinggalkan oleh orang tua yang meninggal karena TB sementara anak-anak yang ditinggalkan sedang butuh-butuhnya curahan kasih sayang dan materi untuk tumbuh kembang dan pendidikannya. Maka kengerian berikut yang dihadapi adalah lingkaran kemiskinan dan kebodohan yang tak ada habisnya. Terbayangkah akan jadi apa-apa anak-anak ini kelak jika tak mendapatkan penanganan yang baik?


Di saat yang bersamaan, negara kita tengah mengalami masalah-masalah kependudukan karena laju pertumbuhan penduduk teramat pesat. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia saat ini adalah 1,49% per tahun (SP 2010) atau bertambah sekitar 4 juta jiwa per tahun. Laju pertumbuhan penduduk ini berdampak signifikan terhadap 6 hal berikut: kualitas penduduk, pendidikan, kesejahteraan, ketahanan pangan, lingkungan, serta pertahanan dan keamanan. Kemiskinan dan juga penyakit menular pun amat berperan dalam masalah-masalah kependudukan ini. Bila masalah kemiskinan dan TB tak terselesaikan dengan baik maka “kemiskinan dan TB” pun menjadi penyumbang signifikan dalam masalah-masalah kependudukan tersebut.

Untuk itu pemerintah telah berusaha semaksimal mungkin memberantas TB. Berdasarkan Surat Keputsan Nomor 1190/Menkes//SK/20014, pemerintah telah menyelenggarakan pengobatan gratis untuk TB. Masyarakat diharapkan dapat segera memeriksakan diri jika memiliki gejala penyakit TB  (batuk berdahak lebih dari 2 minggu bahkan hingga mengeluarkan darah, berat badan yang menurun drastis, demam, serta sakit  pada bagian dada) ke Puskesmas atau ke rumah sakit pemerintah. Sebagai anggota masyarakat, kita bisa membantu penyebarluasan informasi ini kepada warga yang terjangkit TB tetapi takut berobat karena memikirkan biayanya. Yuk, berantas TB agar tak ada lagi tulang punggung keluarga yang meninggalkan beban ekonomi besar bagi generasi penerus bangsa.

Makassar, 15 Juni 2014

Tulisan ini diikutkan Lomba Blog TB Sesi ke-6


Referensi:
  • Alvin Bintang, 2013, A Long, Kisah Pilu Bocah 6 Tahun yang hidup Sendirian di China, Amazing Depok.
  • http://www.tempo.co/read/news/2013/05/24/060482869/Bakteri-Tuberkulosis-Mati-karena-Vitamin-C
  • http://www.slideshare.net/simantak/penanganan-terkini-tuberkulosis-atau-tb
  • http://bola.kompas.com/read/2012/03/23/15415923/500.000.Orang.Meninggal.Tiap.Tahun.akibat.TB
  • http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=2145
  • http://blog.tbindonesia.or.id/
  • https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0CB8QFjAB&url=http%3A%2F%2Fmki.idionline.org%2Findex.php%3FuPage%3Dmki.mki_dl%26smod%3Dmki%26sp%3Dpublic%26key%3DOC0z&ei=6ACdU6CAJcmTuASzpoLADA&usg=AFQjCNEIScN39zdviH1z0fsLTkOlN0-Lww
  • Fact sheet berjudul Kependudukan dan Dampaknya dalam Pencapaian Tujuan Nasional, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.
  • http://www.tbindonesia.or.id/



Share :

5 Komentar di "Selamatkan Tulang Punggung yang Rawan"

  1. Wahh..tlisannya lengkap. Semoga beruntung ya Mak di serial ini :)

    ReplyDelete
  2. bagus mbak tulisannya. Sebenarnya pingin ikutan juga. Tapi sampai sesi 6 ini belum sempat terusss...... *nggak bisa ngalahin krucil

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih Mbak. Wah, saya kayaknya sedang egois makanya bisa selesai :)

      Delete
  3. Dulu saya juga pernah kena TB paru waktu bayi. Ketularan ayah saya. Ngga inget sih kaya gimana rasanya. Cuma diceritain kalo minum banyak antibiotik.

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^