Belajar dari Anak-Anak Itu

Judul buku:
A Long: Kisah Pilu Bocah 6 Tahun
Yang Hidup Sendirian di China
Penulis: Alvin Bintang
ISBN: 978-979-1166-24-9
Penerbit: Amazing
Ketebalan: 168 halaman
Ukuran buku: 22 cm x 17 cm
Tahun terbit: Maret 2013

Dan inilah hasil masakan A Long hari itu: bubur dengan sayur sawi. Masakan sederhana tanpa aneka bumbu. Bahkan juga tak bergaram. Hanya direbus. Pun tak ditumis dengan minyak goreng.

Tidakkah kita merasa malu? Seringkali kita mengeluh karena lauk di rumah tak menggugah selera. Entah karena rasanya kurang enak atau lauk yang disajikan bukan yang kita harapkan?

Dua paragraf yang terletak pada halaman 31 buku ini begitu menampar. Tanpa dituliskan seperti itu pun, keenambelas kisah anak kurang beruntung dalam buku ini seolah-olah menampar-nampar pembacanya.


A Long membuka kisah. Anak yang hidup sendirian di rumah peninggalan orangtuanya yang terpencil di sebuah desa di Cina itu mengurus dirinya sendiri. Komplikasi HIV Aids dan TB merenggut nyawa ayah dan ibunya. Tak ada warga yang rela A Long bermain dengan anak-anak mereka. Bahkan warga desa tak mau A Long bersekolah. Mereka melakukannya karena takut ketularan virus HIV yang sudah ada di badan A Long sejak ia lahir. Belum lagi penyakit TB yang diderita kedua orangtuanya, membuat A Long berpotensi tertular penyakit mematikan itu.

Kisah-kisah pilu anak-anak dari berbagai negara dalam buku ini amat menggugah. Membacanya membuat wawasan bertambah mengenai realita yang terjadi. Beberapa di antaranya seperti kisah-kisah dalam film saja sehingga saya berharap, andai kisah-kisah itu hanya fantasi, tidak benar-benar terjadi.

Ada kisah anak-anak yang dirantai. Ada yang dirantai di kaki, di tangan, atau di punggungnya (halaman 89, 96, dan 101). Ada kisah anak Afrika albino yang sengaja diburu untuk dibunuh di Tanzania oleh orang-orang yang menginginkan bagian tubuh mereka. Bagian tubuh mereka hendak diberikan kepada dukun untuk dijadikan jimat keberuntungan atau kekuatan ghaib. Bahkan potongan tubuh mereka diperjualbelikan.

Dari Indonesia, ada kisah Martunis asal Aceh, sang “tsunami survivor” yang bertahan selama 19 hari di sebuah pantai di Banda Aceh. Membaca kisahnya menguatkan keyakinan akan kekuasaan Allah. Siapa menyangka baju bola simbol kesebelasan negara Portugal yang dikenakannya saat bencana terjadi mengantarkannya ke Portugal dan Inggris? Bahkan di sana ia bertemu dengan orang-orang ternama seperti Christiano Ronaldo dan Celine Dion!

Mwigulu, bocah Afrika albino, tangannya dipotong oleh orang tak dikenal :(
Kisah lengkapnya ada di
http://j2wisdom.blogspot.com/2013/02/mwigulu-how-chopped-off-my-arm.html
Sumber foto: ippmedia.com, j2wisdom.blogspot.com
Nyaris tak ada kekurangan dalam buku ini. Hanya sedikit kesalahan ketik yang terdeteksi dan tidak dicantumkannya sumber foto-foto pada 3 kisah pertama. Saya suka dengan usaha penulis dalam bercerita tentang keinginan kuat anak-anak itu untuk tetap bersekolah. Sepertinya selama masih bisa ditelusuri, penulis mencari referensi mengenai pendidikan anak-anak itu.

A Long (halaman 37), Wang Mei (halaman 68), Tse Tse (halaman 56), dan Adit (halaman 77), adalah cambuk bagi anak-anak berkecukupan yang tidak memanfaatkan fasilitas pendidikan yang diperolehnya dengan maksimal. Di tengah keterbatasan, mereka tetap punya keinginan kuat untuk mengenyam pendidikan.

Keunikan yang menonjol dari buku ini adalah, semua sumber tulisan berasal dari internet. Terlihat simpel tapi ide menjadikannya tulisan adalah luar biasa. Buku ini mirip sekali dengan sebuah buku lain yang pernah saya resensi (baca di tulisan Matahari-Matahari yang Tak Terbenam). Sama-sama mengambil referensi dari internet dan mengangkat kisah anak-anak yang kurang beruntung hidupnya. Untungnya kedua penulis tak mengangkat kisah anak yang sama dalam buku mereka J.

Makassar, 17 April 2014


Tulisan ini diikutkan Indiva Readers Challenge 2014


Share :

18 Komentar di "Belajar dari Anak-Anak Itu"

  1. Oooh.. ini ceritanya ngumpulin dari internet ya? Lebih seru klo ngumpulin sendiri ya, Mak :-)

    ReplyDelete
  2. oo ambil dari internet ya. kalo wawancara langsung dengan anak2 pasti lebih menarik lagi

    ReplyDelete
  3. Banjir mataku, Mak baca ini. Paling rapuh kalo baca-baca kisah mengenaskan seperti ini.

    ReplyDelete
  4. Ngumpulin kemudian dibukukan..

    kalo wawancara sendiri ke Afrika, ongkos juga. But, bikin terenyuh juga

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar ... saya salut sama idenya. Cukup mengerjakannya dari rumah, tidak perlu keluar rumah ...

      Delete
  5. ini bukunya sdh beredar di tobuk mak?

    ReplyDelete
  6. ups kurang teliti bacanya :D sudah terbit maret 2013 ya.....

    ReplyDelete
  7. kayaknya gak tega kalau lihat nasib2 anak2 seperti ini

    ReplyDelete
  8. baca reviewnya saja sudah merinding, mak.. apalagi baca bukunya. kita diajak bercermin ke dalam sanubari, palung nurani, kalau mereka saja tidak menyerah pada hidup yang teramat menyiksa, harusnya kita yg dilahirkan sempurna bisa lebih kuat dari mereka. :)

    ReplyDelete
  9. Baru kemarin saya ngubek2 kaum albino di afrika...mengenaskn sekali..

    Sukses mba..

    ReplyDelete
  10. salam kenal untuk mak mugniar.
    saya trenyuh baca review di postingan ini... :(
    setidaknya jd introspeksi lah utk mensyukuri kondisi hidup qt yg lebih baik..
    gudlak for the challenge mak

    ReplyDelete
  11. aduh mbak, baca resensinya disini aja bikin aku terharu, miris, trenyuh, sedih
    gimana kalo baca bukunya ya

    ReplyDelete
  12. wah, bacanya bisa sampe mules ya itu Mak.
    Memilukan banget nasib anak2 itu... :(

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^