Saya sedang
berkonsentrasi memperhatikan sang empunya warung memasukkan songkolo’, penganan tradisional Makassar pesanan saya ke dalam kantong plastik ketika sebuah suara menegur saya.
“Tante, mana Affiq?”
tanya seorang anak laki-laki berumur kira-kira sepuluh atau sebelas tahun.
“Di rumah,” saya menoleh
dan memperhatikan wajahnya. Anak laki-laki itu tersenyum ramah. Saya membalas
senyumnya.
Saya ingat bocah ini. Ia
dulu teman mengaji Affiq di TPA Babul Jannah. Tapi usianya di bawah Affiq,
mungkin terpaut 2 tahun. Saya ingat sekali wajahnya karena saya pernah
mengamati keusilannya di TPA. Namun demikian saya tak mengetahui nama bocah
ganteng ini.
Dulu mereka ada di dalam saya. Dulu mereka "adalah" saya! Sumber: www.apakabardunia.com |
“Affiq sudah lulus,
Tante di’? senyum masih menghias
wajah bocah lelaki ramah ini.
Saya terkesan. Sangat jarang saya dapati anak
lelaki usia sekolah dasar yang ramah sepertinya. Mau menegur orangtua seseorang
kawan jauh yang dikenal.
“Iya. Affiq sudah es em
pe. Kamu masih mengaji di Puang kah, Nak?” saya balik bertanya.
“Iya,” ia mengangguk
dengan senyum yang masih menghias wajahnya. Anak lelaki sepertinya, bila
tersenyum, seolah semua bagian wajahnya ikut tersenyum. Suka sekali saya
melihatnya.
Kebanyakan anak lelaki
yang “laki banget”, cuek dengan sekelilingnya. Jarang yang suka menegur
orang dewasa yang tidak begitu dikenalnya seperti bocah ini.
Bawaan orang memang
beda-beda. Saya ingat dengan kisah keponakan dari adik ipar saya, seorang bocah
laki-laki usia 12 tahun penggemar sepak bola dan “pembolang” yang suka sekali
mengeloni anak-anak kecil. Ia sampai sering dititipi sepupu-sepupunya yang
kecil-kecil oleh tante-tantenya. Bila para tante itu sedang ada keperluan ke
luar rumah, ia dipanggil untuk menjadi baby
sitter.
Yang punya karakter
mirip bocah lelaki yang pertama saya ceritakan di atas dan bocah lelaki kedua
itu justru si tengah Athifah. Berbeda dengan sulung saya Affiq yang selalu usil pada kedua adiknya setiap hari. Ia sama sekali
tak memiliki kemiripan karakter dengan kedua bocah di atas. Affiq malah penyebab kericuhan dengan kedua adiknya.
Hei, tapi ini bukan berarti
saya lebih menyukai Affiq menjadi seperti mereka lho. Saya tahu persis kelebihan Affiq. Ia punya keunggulan di banding anak-anak lain. Apa yang saya tulis ini menjadi pelajaran berarti buat saya bahwa setiap anak
memiliki karakter bawaan. Menjadi pengingat bagi saya supaya jangan
berani-beraninya membedakan kasih sayang kepada anak-anak hanya karena
perbedaan karakter mereka.
Saya pernah merenungkan
kenapa bisa ya ada orangtua yang lebih menganakemaskan salah satu anaknya
daripada yang lainnya. Padahal semua anaknya kan hadir ke dunia ini melaluinya, membawa sebagian dirinya dalam
genetika anak-anak itu pula. Lalu mengapa perkembangan yang terjadi membuatnya
lebih menyayangi salah satu saja dari semua anaknya?
Saya harus hati-hati
agar kelak tidak lebih menganakemaskan salah satu dari mereka. Hm, ini berarti saya haru sekuat tenaga
mendampingi mereka dalam pembentukan kepribadian dalam diri mereka. Untuk saat
ini, saya sudah bisa membaca dengan baik karakter ketiganya. Lebih menyayangi
salah satunya tentu amat tak bijak saya lakukan karena mereka terbentuk dengan
besar peran saya di dalam diri mereka.
Mereka dulu ada dalam
badan saya selama 9 bulan lebih. Mereka dulu adalah bagian dari diri saya. Tidak
menyukai mereka berarti tak menyukai diri saya sendiri. Seperti pesan seorang
bijak kepada saya, “Ingatlah, mencela mereka, berarti mencela dirimu sendiri!”
Allah, berikan saya
kekuatan agar menjadi ibu yang bijak bagi mereka.
Makassar, 4 Januari 2013
Share :
aminnnn....
ReplyDeletepesannya bener2 makjleb mbk,setiap orang punya karakter berbeda2..si A pinter ini si B g bisa ini tapi.....nah,itu dia kelebihannya hehe
masing-masing ana punya kelebihan ya mbak. Begitu pula dengan Affiq
ReplyDeleteMantap Postingannya , , thanks for share
ReplyDeleteyah, bagainamapun anak2,
ReplyDeleteorang tua lah kunci nya..
kan katanya kalau ingin melihat lebih dalam tentang pribadi seseorang, lihatlah saja anaknya ya mbak...karena katanya sih itu adalah cerminan dari didikan/contoh dari orang tuanya selain juga memang bawaan...
ReplyDeletemungkin begitu pulalah orang tua anak tersebut memberi teladan padanya...mungkin sih hehe
Setiap anak punya karakter masing2.. tapi tulisan ini... menyentuh sekali
ReplyDeleteaamiin...
ReplyDeleteyapz,,saya juga suka bingung ya mbak kenapa ada anak emas segala. padahal kan anak ada juga dari kita,membawa sifat genetika dari orangtuanya. Dan setiap anak memiliki kelebihan sendiri ^_^
mereka bagian dr kita. Berarti kalo ada ortu yg bilang anak bodoh, dia bodohin dirinya sendiri, iuuuu
ReplyDeletewah anak tadi supel sekali, anak yang manis.
ReplyDeletetulisan yang super keren kak, karakter tiap anak beda-beda dan punya masing-masing kelebihan, dan tak boleh membeda-bedakan mereka karena karakter bawaan itu *angguk-angguk. ini pelajaran buat calon ibu juga
salam buat affiq, athifah dan afyad~
anak adalah cerminan dari orang tua ya mbak :)
ReplyDeleteSenang ya Niar, bertemu anak ramah sprt temwn Affiq itu. Dan aku percaya bahwa Niar juga bisa mendidik seperti ib atau orang tua bocah ganteng itu :)
ReplyDeleteOhya memang sdg malas update blog Niar. Tapi bukan berarti berhenti sama sekali. Masih nulis di palm sugar indonesia, tulisan2 garing hehehe...
Ahh...pengingat dan sentilan nih, karena saya suka kurang sabar dengan anak saya :D
ReplyDelete