“Mengajar di mana, Bu?”
tanya seorang ibu.
Sepersekian detik saya
bingung, apa yang menyebabkannya bertanya seperti itu. Kemudian saya tersadar,
barangkali buku di tangan saya yang menyebabkannya bertanya demikian.
Di tangan saya ada buku
favorit saya. Judulnya “Titik Ba: Paradigma Revolusioner dalam Kehidupan dan
Pembelajaran” karya Ahmad Thoha Faz. Mungkin kata “pembelajaran” yang
diasosiasikan ibu itu dengan kata “mengajar” yang terdapat dalam pertanyaannya.
Saya biasa membaca buku
jika sedang menunggu. Daripada bengong atau mengkhayal, lebih baik membaca.
Karena bukan penikmat fiksi, buku yang saya baca adalah buku non fiksi. Bukan
buat gaya-gayaan. Hanya masalah selera. Saya memang sulit menikmati buku-buku
fiksi. Anehnya, membaca fiksi malah bisa menjadi beban bagi saya kalau tidak
ada hal luar biasa dari buku itu yang membuat saya tertarik.
Sumber: theplayfullife.net |
Sepertinya kelihatan
aneh kalau ada ibu rumahtangga biasa yang membawa-bawa buku non fiksi ke
mana-mana. Sama anehnya dengan kegiatan membaca yang saya lakukan dekat rak
buku sebuah taman bacaan, di dekat ibu-ibu yang sedang ngerumpi, menunggui
anak-anak mereka pulang sekolah.
Berbagai buku tersedia. Dari
jenis non fiksi dan non fiksi. Tapi ibu-ibu itu tak terbiasa membaca. Sehingga
buku-buku yang ada di sana menjadi hiasan semata. Saya pun terlihat seperti
anomali. Anomali dalam taman bacaan. Hanya karena dalam masyarakat kita, tak
biasa seorang ibu rumahtangga terlihat membaca.
***
Ibu saya sedang pulang
kampung saat saya menerima telepon dari seorang kerabat di Jakarta. Saya tahu
ia sepupu ibu saya. Dengan sopan saya menjawab semua pertanyaannya. Hingga sampai
kepada pertanyaan:
“Ini anaknya yang kerja
di mana?”
Saya tercekat sesaat. Memangnya
ada semacam penyetaraan identitas seorang anak dengan profesinya? Biasanya kan
yang ditanyakan orang seperti ini, “Ini anaknya yang nomor berapa?”
Saya tak suka pertanyaan
itu karena bisa berujung kepada pengecilan predikat saya yang hanya ibu
rumahtangga biasa ini. Sudah berkali-kali saya mengalaminya dan sempat membuat
saya minder luar biasa.
`
Lalu dengan cepat saya
menguasai diri. Saya menjawab, “Oh, Saya di rumah saja dengan anak-anak” Siapa
pun yang mendengarnya pasti langsung paham kalau saya sedang mengatakan bahwa
saya ini hanya seorang ibu rumahtangga biasa.
Tetapi kali ini saya
bisa mengatakannya dengan lebih ringan, sepertinya karena malam sebelumnya saya
menyelesaikan tulisan berjudul “Saya Ibu Rumahtangga, Memangnya Kenapa?”
Tulisan itu merupakan tugas yang diberikan pak Uslimin – wakil pemimpin redaksi
harian Fajar, salah seorang pemateri dalam pelatihan menulis yang
diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen yang saya ikuti.
Dalam tulisan itu saya
tuturkan keberatan saya dengan diskriminasi sebagian orang yang suka menganggap
ibu rumahtangga yang tak bekerja kantoran itu memiliki kedudukan lebih rendah
daripada mereka yang bekerja di luar rumah. Padahal ibu rumahtangga banyak juga
yang tak berhenti belajar. Mereka menjadi manusia pembelajar, mempelajari segala
aspek kehidupan dengan cara mereka sendiri. Diskriminasi terlalu naif bagi mereka hanya karena
dianggap pekerjaan rumahtangga itu remeh-temeh yang bisa dikerjakan seorang
pembantu rumahtangga.
Rupanya tulisan itu sekaligus
menjadi terapi bagi saya. Kali ini saya sudah lebih ringan memproklamirkan
status saya. Saya tak merasa minder lagi mengakui “keiburumahtanggaan” saya.
Masih ada yang mempertanyakan pekerjaan saya? Saya ibu rumahtangga,
memangnya kenapa?
Makassar, 20
November 2013
Share :
kalau aku bawanya novel mbak kalau nunggu Pascal
ReplyDeleteMbak Lidya pasti gak suka ngerumpi sama ibu2 lain ya, bisa ke mana2 soalnya :)
DeleteIbu rumah tangga juga profesi koq mba, hanya saja hasilnya berupa investasi jangka panjang.
ReplyDeletesetuju tuh mbak , ,
DeleteProfesi dunia-akhirat ya :)
DeleteSaya juga lebih bangga Mbak jadi Ibu Rumah Tangga, banyak ilmu nya :D
ReplyDeleteToss mbak Rin :)
Deletemba Mugniar bilang dong saya ibu rumah tangga serba bisa lhooo.. Semangat mba, nggak semua orang sanggup jd ibu rumah tangga :)
ReplyDeleteSemangat :)
DeleteInsya Allah berusaha terus semangat. Hanya perlu menyuarakannya lewat tulisan, Monik :)
tats raig kenapa kudu minder ibu rumah tangga itu krjanya luarbiasa loh, saya aja yg cwo ngeliatnya capekk :D
ReplyDeleteIYa benar :)
Deletegak kenapa napa, jempol malah buat ibu ... jemmpollll
ReplyDeletejempol yang mana nih?
DeleteJempol juga buat mas Stumon (Y) :)
DeleteLha kang Cilembu Thea: memang ada berapa macam jempol?
Ibu rumah tangga itu keren, saya malah pengen jadi ibu rumah tangga :D
ReplyDeleteWaaah Pita keren sekali ...
Deletecumunguuud tante.. aq tau kok tante orang yang cerdas
ReplyDeleteCemunguuud. Iyakah? Waah terimakasih sudah disangka cerdas :)
Deleteorang yang menganggap ibu rumah tangga sejati kurang keren dibandingkan yang kerja kantoran, pasti orang itu bukan blogger bahkan bukan anggota komunitas blogger KPK...saya berani memastikan pasti bukan...hiyah kan?
ReplyDeletesoalnya istri saya tak suruh jadi ibu rmah tangga sejati saja dari pada jadi wanita karier....lebih keren dan lebih dekat ke pintu surga....gituh keyakinan sayah mah....;o)
Andai dekat, pingin kenalan sama istrinya, kang :)
DeleteBaca novel Khaled Hosseini aja mbak, dijamin ketagihan *OOT :D
ReplyDeleteDan saya paling sebel kalo ditanya kerja dimana? Kenapa ya status sosial orang itu dilihat dari pekerjaannya?Kesannya kalau bukan karyawan itu dianggap sebelah mata. Kalau dibilang kerja, trus tempatnya ga bonafid suka ditanya macem2 lagi. Ah pusing deh
ReplyDeletesy selalu bawa buku kl lg jemput anak. Kadang malah ebih suka nunggu diparkiran supaya lebih bs konsen lagi baca bukunya hehe
ReplyDeletejempol..untuk selera bacaannya mbak..
ReplyDelete:hihi saya juga mau jadi ibu rumah tangga...tapi malah harus mbayar dulu karna terikat ikatan dinas, jadi masih tertunda keinginannya...
Benar mba, menjadi ibu rumah tangga adalah pekerjaan yg sangat mulia.
ReplyDeleteNggak papa buuuu.... Cuma nanyak :D
ReplyDeleteKayaknya gue pernah baca ini di note fbnya Bu Mug? Hehe, tapi dah lama gue gak suka baca buku, gak kayak dulu! Bahkan saat SMP, kamus segala bahasa, gue beli. ;-)
ReplyDeleteJustru wanita yang sudah menikah dan berani menjadi ibu rumah tangga itu Luar Biasa! Salut....
ReplyDeleteKalau ibuku dulu sering uring2an gini, coba kamu sehari saja gantiin kerjaan ibu dirumah, pasti kamu bilang mendi kerja dikantor sebulan gak di gaji' hehe..
ReplyDeleteIbu rumah tangga itu karier tertinggi bagi seorang perempuan, dan tempat jihad bagi seorang muslimah adalah dirumah nya sendiri...
ReplyDeletetoss yuk ma aku mak....:D
setuju mak... :)
DeleteTanpa ibu rumah tangga, tak akan tercipta generasi bangsa berkualitas, semangat mba :)
ReplyDeleteIbu Rumah tangga adalah pelipur lara yg menyebabkan seluruh anggota keluarga ingin cepat pulang :)
predikat mulia sebagai ibu rumah tangga itu predikat terhormat ya mak, tapi sampai detik ini masih kerap dipandang sebelah mata.. semangat terus mak, kita harus bangga menjadi ibu rumah tangga. bukankah Allah memuliakan wanita dengan menganjurkannya banyak beraktivitas di dalam rumah mengurus rumah tangga, ketimbang diluar rumah dan membiarkan anak-anaknya bersama pengasuh..
ReplyDelete