Perempuan Pencipta Aksara

Masyarakat Bugis – Makassar telah menunjukkan
pencapaian peradaban tertinggi dengan adanya aksara lontara’.
Melalui aksara ini, orang Bugis – Makassar mampu mengolah
berbagai hasil kebudayaannya ke dalam naskah-naskah
yang sampai saat ini masih dapat dibaca.

Dahulu, naskah lontara’ (utamanya La Galigo) 
adalah hal yang sakral bagi pemiliknya.

Naskah-naskah itu disimpan di rumah-rumah 
penduduk (biasanya bangsawan)
sebagai koleksi pribadi dan ada yang
tersimpan di perpustakaan kerajaan.

Mengetahui bahwa ternyata karya sastra terpanjang di dunia (La Galigo) berasal dari tanah Bugis, merupakan sebuah kebanggan. Apalagi mengetahui bahwa ternyata pengumpulnya adalah seorang perempuan pecinta sastra yang hidup pada tahun 1800-an, bertambahlah kebanggan saya sebagai seseorang yang berdarah Bugis.

La Galigo adalah karya sastra terpanjang dan terbesar di dunia. Panjangnya mencapai lebih dari 300.000, melebihi epos Mahabharata yang jumlah barisnya hanya 160.000 – 200.000[1].

Membayangkan pada masa itu, hidup seorang perempuan yang amat cerdas sungguh membuat saya merinding. Masa itu, masa di mana pada umumnya perempuan hanya terlibat di urusan sumur, dapur, dan kasur, perempuan ini seperti sebuah sumber cahaya yang sinarnya sampai ke zaman ini.

Dari buku Lontara’ Bilang berbahasa Indonesia[2] yang merupakan terjemahan karyanya, saya mengetahui nama lengkap perempuan itu adalah Retna Kencana Colli’ Pujie Arung Pancana Toa Matinroe Ri Tucae. Panjang ya?

“Retna Kencana” adalah nama Melayu yang diberikan orangtuanya sejak kecil.
“Colli’ Pujie” berarti: “pucuk daun yang terpuji”
“Arung Pancana Toa” adalah gelar jabatannya sebagai raja Tua di Pancana
“Matinroe Ri Tucae” berarti “yang tidur di Tucae” merupakan gelar “anumerta” yang diberikan kepadanya. Tucae adalah sebuah tempat di Lamuru, di mana Colli’ Pujie dimakamkan.

Erat hubungannya dengan raja-raja Bugis, terutama Tanete (Barru), Soppeng, Bone, dan Rappang, Colli’ Pujie adalah anak dari Colli’ Pakue dan La Rumpang. Ia diperkirakan lahir tahun 1812-an. Ia menikah dengan La Tanampareq To Apatorang, raja Ujung dan dikaruniai 3 orang anak (Wé Tenriolle Siti Aisyah (Datu Tanete), Tenripassalippe I Gading (Arung Atakka), dan  La Makkawaru (Arung Ujung).

Paragraf paling atas: tulisan dengan lontara' Bilang
(aksara karya Colli Pujie).
Paragraf kedua: tulisan dalam lontara' biasa
Ketika suaminya meninggal pada tahun 1852, Colli’ Pujie yang telah berusia 40 tahun kembali ke Tanete dan tinggal bersama ayahnya di istana raja Tanete. Perpustakaan kerajaan ketika itu berisi berbagai macam pengetahuan tentang silsilah raja-raja, sejarah kerajaan, sastra, dan ramalan yang diwariskan turun-temurun.

Perpustakaan menjadi tempatnya menghabiskan waktu. Ia juga menuliskan banyak pengetahuan yang diserapnya yang kemudian juga menjadi koleksi perpustakaan. Colli’ Pujie juga menjadi penulis pribadi ayahnya sekaligus penulis kerajaan.

Karena kepiawaiannya dalam menulis, Dr. B. F. Matthes dan para peneliti lain dari Eropa menjadikannya sebagai narasumber utama penelitiannya, terutama pada penyalinan naskah La Galigo. Matthens adalah seorang missionaris  dari Belanda yang ditugaskan untuk mempelajari bahasa yang ada di Sulawesi Selatan dan menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Bugis-Makassar.

Pada suatu ketika, perpustakaan kerajaan Tanete terbakar. Banyak naskah hancur. Namun Colli’ Pujie dengan ulet mengumpulkan kembali berbagai kisah yang dilalap api itu berdasarkan ingatannya dan ingatan orang-orang yang masih mengetahuinya. Ia bahkan menyalin kembali naskah-naskah yang masih disimpan masyarakat.

Selain itu Colli’ Pujie juga tekun mengumpulkan, menyalin ulang, dan menyadur berbagai naskah, baik dari Persia maupun dari Melayu. Ia juga menulis karya-karyanya sendiri seperti elong, Sure’ Baweng, sejarah Tanete Kuno, dan kumpulan adat dan kebiasaan raja-raja. Karyanya yang paling indah – menurut yang pernah membacanya adalah Sure’ Baweng yang berisi petuah-petuah yang menunjukkan ketinggian nilai estetika.

Matthens mengumulkan dan mendeskripsikan 216 naskah. Dalam katalognya, 19 kali ia menyebutkan nama Arung Pancana Toa (Colli’ Pujie) sebagai narasumber. Juga beberapa kali disebutkan sebagai pengarang atau penyalin, di antaranya sebagai penyadur Hikayat Bayan (karya sadurannya yang paling terkenal).

Matthens berulang kali menyatakan kekagumannya pada sosok Colli’ Pujie sebagai ratu yang ahli sastra (Matthens, ibid, hal. 3)

Sejarah Tanete Kuno yang ditulis Colli’ Pujie diterbitkan oleh Niemann. La Toa – kumpulan adat dan kebiasaan raja-raja Bugis, sebagiannya diterbitkan oleh Matthens dalam Boegineesche Chistomathie II. Beberapa karyanya pun pernah digunakan Matthens sebagai bahan untuk menyusun buku tentang etnologi Sulawesi Selatan dan tentang Bissu’. A. Ligtvoet juga menjadikan Colli’ Pujie sebagai narasumber saat menulis Kamus Sejarah Sulawesi Selatan.

Satu keunikan perempuan ini adalah, ia menciptakan aksara bernama Lontara’ Bilang-Bilang. Aksara ini digunakannya untuk menulis semacam catatan harian seputar pengalaman hidup, terutama pergolakan batin yang dialaminya.

Baris 1, 3, dan 5: Lontara' Bilang-Bilang, karya Colli' Pujie
Baris 2, 4, dan 6: Lontara' asli yang dipakai masyarakat Bugis-Makassar secara umum
Buku Lontara’ Bilang, menunjukkan ketinggian cita rasa bahasa yang sangat tinggi. Memuat syair-syair pendek yang menggunakan simbol-simbol yang sulit dipahami seperti nama tempat dan tumbuhan. Butuh kerja keras dari penerjemah untuk mengasosiasikannya. 122 syair ditulis secara bersambung[3], tetapi sebagiannya dapat berdiri sendiri sebagai satu kebulatan makna.

Beberapa syair dalam buku Lontara’ Bilang, saya tuliskan kembali di sini:

*
Tau teng ménngerrang palé’ reso,
teng ménnajai ati mattinulu’

Artinya:
Orang yangtak mampu mengingat arti kesungguhan kerja keras
adalah orang yang tak mengerti sebuah ketulusan hati
(Orang yang tak tahu membalas jasa-jasa baik)

**
Teng kusennang-sennang wékgang aléku
naémbongi uwaé to Tallo

Artinya:
Aku tak bergembira diriku dipuji-puji
dengan membasuh air sungai Tallo (hambar)

Catatan:
Yang dimaksud dengan “air sungai Tallo” adalah air payau yang diasosiasikan
dengan “hambar” = tidak asin dan tidak tawar.
Pengertian ini dimaksudkan orang yang memuji
dengan tidak tulus (munafik)

Salah satu syair karya Colli' Pujie

***
Pa riyajannani mai Amali
mupalalo paréwa tékému

Artinya:
Bawalah ke barat Amali
kau lewatkan papan pelana bebanmu

Catatan:
Di sebelah barat Amali (daerah di kabupaten Bone)
terletak di kampung Cakkuridi, dalam bahasa Bugis
hal ini mengingatkan pada ridi yang berarti
kepada kami atau kepada anda. Sementara dengan
papan pelana beban, dalam bahasa Bugis
disebut adang diasosiakan dengan ada yang
artinya “kata”. Jadi arti syair ini adalah:
Datanglah kepada kami, biarkan kata-katamu mengalir
dan kami mendengarkan.

****
Bol manu’ manu’ tona
ri yolo pallajareng
ati camming tona

Artinya:
Rumah burung juga,
pengasiasi lagi
Hati cermin juga

Catatan:
Bola manu’ manu’ (sarang) diasosiakan dengan
Sara (sakit hati) dan pengasiasi diasosiasikan
dengan kasi-asi (miskin). Mengenai hati atau batin
dari cermin di sini dimaksudkan adalah rasa yang
dalam bahasa Bugis diasosiakan dengan manrasa (menderita).
Jadi makna syair ini adalah:
Aku sengsara lagi miskin yang selalu dilanda kesusahan.

Walau tak mengerti bahasa Bugis (karena saya besar dalam bahasa Indonesia, orangtua saya berbeda suku), membaca buku Lontara’ Bilang yang sudah diterjemahkan ini membuat saya melihat kecerdasan Colli’ Pujie.

Asosiasinya dalam pilihan kata-kata tidak membuat syair-syair dalam buku ini singkat tetapi maknanya amat dalam. Apalagi ia menulisnya dalam aksara yang diciptakannya sendiri. Salut pada penerjemah yang telah berusaha keras membawa karya klasik ini lebih dekat kepada generasi muda di masa sekarang.

Salut pula kepada bupati Barru pada waktu itu – bapak H. Andi Muhammad Rum yang memfasilitasi penerbitan buku ini karena penghargaannya kepada Colli’ Pujie dan keinginannya untuk memperkaya khazanah kebudayaan Bugis.

Makassar, 18 April 2013

Postingan yang disarikan dari buku Lontara' Bilang ini disertakan dalam  #8MingguNgeblog Anging Mammiri


Silakan juga disimak:









[1] Sirtjof Koolhof dalam pengantar buku I La Galigo yang diterbitkan atas kerjasama Koninklijk Instituut voor Taal-, Land en Volkenkunde (KITLV)

[2] Saransi, H. A. Ahmad. 2008. Lontara’ Bilang – Mozaik Pergolakan Batin Seorang Perempuan Bangsawan. Pustaka Sawerigading.

[3] Suami saya yang berbahasa Bugis sebagai “bahasa ibunya” berkata merasa tersentuh membaca syair-syair dari Colli’ Pujie dalam Lontara’ Bilang.


Share :

51 Komentar di "Perempuan Pencipta Aksara"

  1. Wow.. ulasannya lengkap ya, mba.. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Langsung dari bukunya, mbak :)

      Delete
    2. itu tulisan apa sih mbak -_-
      kok kyk cacing :p

      lebih susah dari akasara jawa yak kyknya?

      Delete
    3. Jelas bukan cacing :)
      TIngkat kesulitannya? Gak tahu ya, mirip kali ... ?

      Delete
  2. Kereeen...bukti bahwa perempuan Indonesia itu pintar2 ya Mbak

    ReplyDelete
  3. mantap nih bunda satu ini... salut

    ReplyDelete
  4. cuma bisa geleng2 kepala dengan sejarah aksaranya.mks sharenya bunda.jadi nambah ilmu nih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Moga2 .. dan alhamdulillah bila bermanfaat ya Mimi :)

      Delete
  5. kaum perempuan juga tidak kalau dengan laki-laki ya mbak

    ReplyDelete
  6. ulasan yang lengkap, sungguh hebat perempuan bugis satu ini...

    ReplyDelete
  7. Keren banget ulasanya Mbak Mugniar...sukses yaa..

    ReplyDelete
  8. wow, amazing dak apa2 jie kah ambil saduran seperti ini??? z juga membaca kk utk cr materi postinganku tp mencari data2 juga dr sumber dsini makax tdk ku kasih sumbernya, krn pake bahasa sendiri, gmn i2 dak papajie kah???

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ndak papa ji sa kira. Teganya mamo itu juri kalo "apa2" kan ditulis ji sumbernya. Kan ndak mungkin kita pintar sekali sampai2 ndak ada sumber untuk yang beginian :)

      Tulis ki tawwa sumbernya ... jujur :)

      Delete
  9. wah saya baru tau dari postingannya ini, wanita indonesia hebat2 ya ...dapat ilmu lagi saya :0

    ReplyDelete
  10. masih bisakie baca lontara kk niar, kykx z sdh lupamie klo lontara bugis pdhl org bugis yg msh teringat lontara makassarx... :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hadeh ... ini mi pertanyaan yang saya takutkan. Jawabannya: saya lupa mi, kayaknya sisa huruf KA mami yang saya ingat
      *tutup muka pake hardisk*

      Kalo suamiku masih na ingatki, bapakku apalagi. Dulu bapakku suka surat2an sama nenekku pakai huruf ini. Anakku yang besar baru belajar jadi dia tahu. Saya belajar ini cuma kelas 5 SD terus ndak pernah dipakai lagi, mana mamo diingat kodong. Cuma saya suka sama materi ini karena kekaguman saya sama Colli' Pujie :)

      Delete
  11. La Galigo. karya sastra terpanjang di dunia hingga Mahabaratha kalah ya mbak.

    Hmm tapi kenapa tidak mendunia macam Mahabaratha ya.. apa karena memang kita gak begitu cinta dengan budaya sendiri?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Apa karena pengaruh sentralisasi dalam segala bidang mas? Sehingga kurang terekspos?

      Btw, danau terdalam di Indonesia juga di Sulawesi Selatan lho bahkan terdalam kesepuluh di dunia, namanya danau Matano. Kalo browsing di internet pasti dapat deh. Tapi tidak terekspos kan? Yang orang tahu cuma danau Toba.

      Delete
  12. suka suka suka....
    saya suka inspirasinya, saya suka tulisannya, saya suka karya perempuan bugisnya, saya suka lontaranya, saya suka ka niar yang membagi ilmunya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih Isma ... saya juga suka komennya. Suka suka suka
      ... :)

      Delete
  13. wah,baru tau mbk...itu hurufnya kyk hururf arab ya :D

    ReplyDelete
  14. Jadi teringat masa lalu, ketika belajar Bahasa Daerah di SMP. Menulis karangan atau puisi dengan huruf lontara.

    Dimana itu bukunya bisa didapatkan?

    ReplyDelete
  15. See? Bahkan telah banyak Kartini lain sebelum Ibu kita Kartini ada ya Niar... sudah sepantasnya kita bangga akan kekayaan sosok tangguh para wanita di negeri ini. Perjuangan mereka dalam segala hal, sungguh menginspirasi. Turut bangga dengan sosok cerdas yang satu ini. Trims atas postingannya, Niar. Ditunggu kisah heroik para wanita Indonesia yang lainnya yaaa. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Colli' Pujie ini 2 generasi di atas Kartini. Yup, kita punya banyak sosok perempuan hebat :)

      Delete
  16. Salut...salut... salut... salah satu pigur wanita Indonesia yang hebat ya, tapi baru tahu nih :-) makasih ilmunya mba Niar...

    ReplyDelete
  17. colli' puji tentunya tak menyangka, bahwa karya-nya akan mendunia :-)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ia hanya mengerjakan interestnya. Mungkin juga feelingnya kuat ya bahwa ini akan dibutuhkan kelak oleh generasi muda?

      Delete
  18. Wowww tulisannya kaya data dan riset. Good luck ya Mbak. Semoga kisah ini selalu terkenang sepanjang masa..

    ReplyDelete
  19. Saya ndak bisa baca dan mengerti aksara lontara :(

    ReplyDelete
  20. Subhanallah. Saya bangga generasi Bugis aktif mengkaji dan memaparkan untuk kita semua. Silakan dilanjutkan, demi lestarinya nilai sejarah bangsa.
    Dari saya, saya mengajak rekan-rekan baik yang bisa berbahasa Bugis, maupun yang bukan orang Bugis, ayo mari disini kita belajar dan berbagi CARA MENULIS AKSARA BUGIS. Ada video dan photo-photo serta bahan Latihan. Yuk dicoba, semua pasti bisa dan sangat cepat.
    Semoga bermanfaat.
    http://menulisaksarabugis.wordpress.com/

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih, sudah mampir di blognya .. usaha yang bagus untuk melestarikan budaya Bugis :)

      Delete
  21. Waaahh... lengkap banget ulasannya.. dan aku asli suka banget sama ratna kencana ini... dan dia menawarkan penulisan aksara bugis... subhanallah... cerdas sekali perempuan ini. aku kian takjub dan kagum. jujur saja, aku baru tahu pas hari kartini kemarin waktu diskusi dengan ilham q moehiddin tentang ratna kencana yang katanya beliau ini kehebatannya melebihi kartini tapi kenapa tidak diangkat jadi pahlawan emansipasi oleh pemerintah indonesia? kami (aku dan ilham) rada2 cemburu dengan pemerintah karena sepertinya ada perbedaan perlakuan pada etnis tertentu bahkan untuk urusan sejarah! Coba saja bayangkan, Ratna kencana yang begini hebat dan bahkan menurutku melebihi kapastias kartini yang hanya menulis surat ke sahabatnya, dan isi suratnya hanya berisi curhat biasa, dan bahkan suratnya itu tidak dibukukan dan dipublish ke orang banyak pada saat itu hingga mengharumkan nama Indonesia, kenapa diangkap jadi pahlawan emansiapasi? bahkan kartini sendiri gagal melawan tradisi bahwa perempuan tidak bisa maju di depan dan sejajar dengan lelaki... tapi Ratna kencana sudah membuktikan bahwa perempuan itu kehebatannya bsia sejajar dengan lelaki dan sudah menulis banyak dan bahkan menciptakan aksara bugis... heran heran dengan perlakuan sejarah... sampai detik ini aku masih heran dengan perlakuan sejarah negeri kita.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya cuma bisa komen pendek mbak Ade: "Yah .. begitulah negara kita."

      Delete
  22. waw, indonesia itu keren banget.. cuma dunia gak ngeliatnya :(

    ReplyDelete
  23. perempuan bugis jaman dahulu tidak seperti perempuan di tanah jawa yg di pingit, sehingga memungkinkan perempuan menjadi raja, banyak lg raja2 perempuan di kerajaan sulsel.

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^