Kenaifan yang Tak Bisa Diabaikan

Saat itu usia Affiq masih hitungan minggu. Seorang kawan menjenguk bersama seorang putra batitanya. Kami sedang becakap-cakap ketika si batita itu tiba-tiba memukul kepala Affiq. Ibunya tertawa sambil menarik batitanya menjauh. Reaksi yang tak saya setujui.

Memang batita itu tak sengaja. Memang saya harus memakluminya. Tetapi saya tak bisa memaklumi reaksi ibunya yang tertawa, mengira perbuatan anaknya lucu.

***

Seorang laki-laki pernah menegur keras seorang batita laki-laki dan ibunya ketika mendapati batita itu memukul seorang anak yang jauh lebih besar daripadanya dan ibunya hanya diam melihatnya. Laki-laki itu berkata, “Perbuatan seperti itu harus dilarang. Membiarkannya melakukan itu bukanlah hal yang benar!”


Ibu dari anak yang dipukul berkata, “Habis mau bagaimana, ibunya sendiri biasa menyuruh anaknya untuk memukul anak lain.” Hal itu benar, ibu si batita merasa melihat sebuah kelucuan kala batitanya memukul anak yang lebih besar. Ia kerap tertawa seolah terhibur sembari berkata, “Ayo kejar kakak, Nak. Pukul kakak!”

***

Affiq sudah berumur 9 tahun ketika seorang batita montok tiba-tiba menampar pipinya. Affiq sedang duduk saat itu, sedang sibuk sendiri dengan kegiatannya sementara batita itu sedang bermain di sekitar kami. Wajah Affiq menunjukkan perasaan tak senang tetapi kedua orangtua si batita kontan tergelak-gelak melihat kelakuan anaknya, seolah-olah baru saja menyaksikan pertunjukan yang menghibur hati. Sama sekali tak ada teguran keluar dari mulut mereka. Sayang, mereka tak menangkap isyarat dari wajah tertekuk saya – isyarat bahwa saya tak senang dengan sikap mereka.

***
Sumber foto:
http://istockphoto.com

Suatu ketika kami kedatangan tamu, seorang ibu dan seorang batitanya. Belum sejam sudah tiga kali batita itu memorak-porandakan mainan anak-anak. Wadah besar berisi mainan berukuran kecil dibaliknya seketika. Kemudian bukannya bermain dengan mainan itu, ia berlari ke sana ke mari sambil sesekali kakinya menendang mainan-mainan itu ke sana kemari.

Kehebohan yang ditimbulkannya jauh lebih besar daripada yang dihasilkan anak-anak saya saat bermain. Seandainya ibunya bersikap bijak dengan menegur anaknya dan membantu saya merapikan karena ia tahu kami tak punya asisten rumahtangga, saya tentu akan menghadapinya dengan bijak pula.

Sayang ia bereaksi sebaliknya. Menganggap perbuatan anaknya lucu, ia tertawa ringan dan berkata kepada batitanya, “Tante Niar marah tuh. Kamu dimarahinya nanti.” Saya memasang ekspresi dingin. Saat kedua anak-beranak itu tak melihat, buru-buru saya rapikan kekacauan, membawa 3 ‘kontainer’ mainan masuk ke dalam kamar kami, dan menyimpannya di atas lemari. Saya tinggalkan mainan-mainan berukuran lebih besar saja. Daripada saya stres fisik dan psikis mengerjakan beragam pekerjaan rumahtangga yang tak pernah habis ditambah lagi membereskan ulah anaknya selama berhari-hari berikutnya selama mereka berada di rumah kami, lebih baik saya ambil tindakan preventif sesegera mungkin.


***

Bagi saya memaklumi batita melakukan kesalahan itu wajar. Tapi tak wajar menanggapinya dengan tawa dan tak menegurnya sama sekali. Sejak kecil anak-anak seharusnya ditegur jika melakukan kesalahan. Kalau kita sebagai orangtua tertawa setiap ia memukul anak lain tentu ia menganggap telah menyenangkan hati orangtuanya. Besok-besok ia pasti melakukannya lagi.

Ada hadits mencontohkan hal ini: Dari Abu Hafsh ‘Umar bin Abu Salamah, anak tiri Rasulullah saw., ia berkata: Sewaktu saya dan anak-anak dulu tinggal di bawah asuhan Rasulullah saw. dan pada saat itu tanganku meraih (makanan) dalam baki besar, Rasulullah saw. berkata kepadaku: “Wahai bocah, sebutlah nama Allah ta’ala, makanlah dengan tangan kananmu dan ambillah yang ada di depanmu.” Lalu selanjutnya begitulah caraku makan. (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini menjelaskan bahwa ketika anak tirinya berbuat keliru, dengan spontan Rasulullah menegurnya dan sekaligus membetulkannya[i].

Nah, kalau Anda mengalami hal yang seperti saya alami, bagaimana sikap Anda?

Makassar, 3 April 2012

Silakan dibaca juga ya:






[i] Drs. M. Thalib, “40 Tanggung Jawab Orangtua Terhadap Anak”, Irsyad Baitus Salam, 1995


Share :

23 Komentar di "Kenaifan yang Tak Bisa Diabaikan"

  1. saya cubit kalo mamanya ndak liat... abis itu pasang muka bingung :D :D

    ReplyDelete
  2. Sama mbak, kalo saya maklum anak2 nakal, apa lagi laki2. Tapi kalo ortunya diem aja apalgi malah ketawa ya pasti tak tegur ortunya hehehe...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo ortunya mau ngerti gak apa2 kalo malah marah gimana? :D

      Delete
  3. Wah... Orangtuanya anggap bahwa anarkisme seolah berubah menjadi kreatifitas anak. Sebenarnya itu salah, secara psikologis. Si anak bisa jadi keterusan kalau dibiarkan seperti itu terus. :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tepat .. ini cikal-bakal anarkisme. Ya, si anak akan keterusan. Kebayang gak kalo umur 30an masih sulit dibilangi sama ortunya? Itu karena sejak kecil tidak ditegur ...

      Delete
  4. susahnya jadi orang tua...wuihh pembelajaran,
    makasih sharenya kak^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Belajar memang mi Uty :)
      Belajar sejak gadis jauh lebih bagus

      Delete
  5. Wahh aku paling sibuk kalau lagi bertamu nggak bisa ninggalin anak2 karena pasti heboh mainnya meski nggak mukul tapi ngeberantakin.

    Setuju mbak: tidak boleh ada pembenaran apalagi pujian terhadap sikap anak yang salah.. harus dijelaskan secara pelan tentunya :) thanks for share mbak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Apalagi kalau disuruh2 anaknya mukul anak lain ya mbak :D

      Delete
  6. meskipun masih batita, tapi kalo berbuat salah hendaknya orangtua tetap harus menegur ya mbak, kalo hal yang salah malah di anggap lucu kayaknya justru membuat anak nggak bisa belajar mana hal baik dan mana hal yang tak baik.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, betul itu mami Zidane. Kasihan anaknya.

      Delete
  7. Wkwkwk cubittt ajaaa mbakkk...
    Cubit ibunya ntu batita, wkwkwk...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Usul yang bagus Una. Kalo kata miss 'U di atas, cubit lalu pasang muka bingung qiqiqiq

      Delete
  8. kalau anakku ya ditegur mbak, tapi yg susah kalau terima tamu gimana ya anaknya yg berlaku seperti itu. biasanya kalau pascal yg melakukan sesuatu yg kurang sopan aku tegur sampai rumah pun akan selalu diingatkan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itulah mbak Lidya. Susahnya kalau tamunya yang begitu. Kalau anak kita kan bisa ditegur bahkan dicubit :D #kalo mamanya galak gampang nyubit qiqiqi#

      Delete
  9. saya ngalaminya sih belum, tapi pernah ketemu moment demikian saat di rumah kakak. teman2nya keponakan saya kalau main hampir mirip gitu..semua mainan di keluarin trs udah gtu ya di tinggal...kalau saya jd kakak saya, bisa emosi tuh..hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wedew ... kakaknya gak ngomel mbak Ririe? Kalo saya, temannya anak saya datang ngacak2, saya suruh rapikan. Athifah sekarang minta izin kalau temannya mau main. Kalau saya bilang, "Boleh, tapi suruh rapikan habis main." Maka dia menyampaikannya kepada teman2nya dan mereka mau. Untung nggak sama mamanya jadi saya bisa 'berkuasa'. Yang susah kalo anaknya datang sama mamanya trus mamanya anteng saja :D

      Delete
  10. Aku setuju dengan kamu sob. Kalau dari kecil jarang mendapat teguran. Kalau sudah besar, maka hal itu akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang buruk sekali.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju mas Yitno. Anak2 bisa berubah menjadi monster kelak. Na'udzu billah, semoga anak2 nanti terhindar dari hal seperti itu ...

      Delete
  11. masih bingung aku...
    soal nya masih belum punya anak...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Baca2 saja dulu. Insya Allah akan tersimpan di memorinya :D

      Delete
  12. keren sob artikelnya

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^