Ya Ampun, Permasalahan Kesetaraan Gender Memang Ada!

Bias Isu?
Sering sekali saya membaca tentang ‘pejuang kesetaraan gender’ membicarakan tentang masih adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki di Indonesia. Di mana posisi perempuan sangat tidak diuntungkan, selalu saja dirugikan.
            Tengok saja ungkapan salah seorang anggota DPR kita yang juga turut memperjuangkan kesetaraan gender melalui terbentuknya UU kesetaraan gender:
Penyanyi pop yang populer pada 1970-an ini turut memperjuangkan undang-undang yang menyamakan hak dan kewajiban wanita dengan pria. Legislasi itu dia upayakan karena berbagai kasus penistaan terhadap wanita kerap terjadi, baik di dalam maupun di luar rumah tangga. Karena itu, anggota Komisi VIII DPR yang juga Sekretaris Umum Kaukus Perempuan Parlemen ini tak kenal lelah mendorong pengesahan UU Berkeadilan dan Kesetaraan Gender. "Kami sedang memperjuangkan dan mendorong agar UU Berkeadilan dan Kesetaraan Gender dapat segera disahkan," ujar pejuang kesetaraan perempuan ini. Sebagai politikus perempuan, Tetty memiliki kepedulian tinggi terhadap berbagai persoalan perempuan, "Coba Anda lihat, dampak dari persoalan pengangguran, korbannya perempuan; dampak dari masalah kemiskinan, korbannya juga perempuan. Begitu pun dengan persoalan ekonomi dan sosial lain. Perempuan selalu jadi korban," ujar wanita kelahiran Jakarta, 3 April 1952, ini[i].
 Bukan Sekedar Isu
Pernyataan seperti itu sering dimuat di berbagai media. Banyak yang menyebutkan soal diskriminasi yang terjadi tapi saya tak pernah mendapatkan ada lokasi yang disebutkan untuk menunjukkan fakta itu ada. Sehingga saya jadi berpikir, mungkin ini hanya isu yang ditiup-tiupkan oleh kaum feminis yang kebablasan. Karena sepanjang pengetahuan saya, semua di sekeliling saya berlangsung wajar-wajar saja, semua sudah pada porsinya. Di luar KDRT, perempuan sekarang sudah lebih mampu bersaing di sektor publik.
            Hingga suatu ketika seorang kawan menceritakan tentang keadaan di tempatnya bekerja, di suatu daerah yang karena satu dan lain hal tidak bisa saya sebutkan namanya:
          Disini, sangat jaraaaaaang sekali ada perempuan dan laki-laki diatas umur 25 tahun yang masih melajang. Setelah lama saya perhatikan, ternyata beberapa alasan dari keadaan itu adalah :
1. Orangtua ingin cepat terlepas dari beban tanggungan anak-anak mereka karena dengan menikah anak-anak mereka jadi menanggung hidup mereka sendiri.
2. Perasaan malu jika belum menikah.
3. Pendidikan tertinggi laki-laki dan perempuan di sini adalah SMA. Sangat jarang yang melanjutkan ke D3 atau perguruan tinggi. Akhirnya setelah sekolahnya selesai ya dinikahkan saja.
4. Masih banyak juga yang cuma sampai SMP dan SD saja.
Tahu tidak, orang tua disini menikahkan anak-anak perempuan mereka tanpa peduli apakah laki-lakinya itu pemabuk/penjudi. Yang penting menikah dulu. Urusan bagaimana hidup anak-anak mereka setelah menikah itu urusan nanti. Bisa dibayangkan anak-anak yang lahir dari ayah yang pemabuk, atau dari ayah yang penjudi, atau dari ayah yang kerjanya mesti merantau ke pulau lain karena cuma tamatan SD/SMP.
            Mendapatkan kisah ini, baru saya benar-benar  percaya bahwa diskriminasi masih ada di belahan bumi pertiwi ini. Diskriminasi masih nyata, bukan sekedar isu! Bahkan kawan saya menceritakan kejadian-kejadian di sekitarnya:
Untuk hidup sehari-hari, ibu-ibu dari anak-anak ini biasanya berjualan di pasar. Anak-anak ditinggal dengan nenek/kakek mereka. Saya pernah bertanya kepada seorang anak usia tiga tahun," Di mana bapakmu?" Anak itu menjawab, “Dia mabuk." Miris dengarnya. Lebih miris lagi karena ibu, nenek, dan kakeknya tidak bereaksi apa-apa seakan sekelompok laki-laki yang berkumpul di belakang rumah sambil mabuk-mabukan itu adalah hal biasa.Dan yang lebih membuat saya makin prihatin lagi adalah beberapa hari yang lalu. Saya baru tahu ternyata perempuan di sini lebih memilih tetap bertahan dalam pernikahan walaupun suaminya selingkuh dengan perempuan lain. Padahal suaminya itu tidak bekerja. Untuk hidup sehari-hari dia jualan di pasar. Alasan suaminya selingkuh karena perempuan selingkuhannya ini sering memberi dia uang. Aduh saya geram sekali sama si suami. Lebih geram lagi sama si istri yang dengan bodohnya tahu suaminya selingkuh tapi tetap bertahan dengan suami tidak bergunanya itu.
        Ya ampun. Di abad global dengan segala macam kemutakhirannya ini, ternyata masih ada kisah-kisah miris seperti itu?
Bank Dunia dan Plan International Bersuara      
          Kompas online dalam salah satu beritanya melansir fakta bahwa:
Meskipun secara umum kesetaraan gender di Indonesia sudah berkembang pesat, Bank Dunia masih mencatat aktifitas ekonomi perempuan di pedesaan Indonesia masih kurang menguntungkan dibandingkan usaha-usaha yang dimiliki kaum laki-lakinya.Pendidikan, kepemilikan aset, akses ke kesempatan ekonomi, dan kesempatan memperoleh pendapatan adalah hal-hal kunci untuk meningkatkan kesejahteraan para perempuan dan keluarga mereka. Demikian Laporan Pembangunan Dunia 2012: Kesetaraan Gender Dan Pembangunan yang dipublikasikan Bank Dunia di Jakarta, Selasa (20/9/2011)[ii].
Plan International (http://plan-international.org/where-we-work/asia/indonesia), organisasi kemanusiaan yang fokus pada perlindungan dan pemberdayaan anak, menyampaikan hasil temuannya mengenai pernikahan dini. Plan mencatat, 33,5 persen anak usia 13-18 tahun pernah menikah, dan rata-rata mereka menikah pada usia 15-16 tahun:
Penelitian ini dilakukan di delapan kabupaten di seluruh Indonesia selama Januari-April 2011. Wilayah penelitian mencakup Kabupaten Indramayu (Jawa Barat); Grobogan dan Rembang (Jawa Tengah); Tabanan (Bali); Dompu (NTB); serta Timor Tengah Selatan, Sikka, dan Lembata (NTT). ”Walaupun tidak mewakili seluruh populasi di Indonesia, temuan ini bisa menjadi gambaran kasus pernikahan dini secara umum di Tanah Air. Apalagi data ini tak jauh berbeda dengan temuan Bappenas tahun 2008 bahwa 34,5 persen dari 2.049.000 perkawinan tahun 2008 adalah perkawinan anak,” ujar Bekti Andari, Gender Specialist Plan Indonesia, dalam siaran persnya.Studi ini menunjukkan lima faktor yang memengaruhi perkawinan anak, yaitu perilaku seksual dan kehamilan tidak dikehendaki, tradisi atau budaya, rendahnya pengetahuan kesehatan reproduksi dan tingkat pendidikan orangtua, faktor sosio-ekonomi dan geografis, serta lemahnya penegakan hukum.Pernikahan dini nyatanya membawa dampak buruk bagi anak perempuan:
1. Rentan KDRTMenurut temuan Plan, sebanyak 44 persen anak perempuan yang menikah dini mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan tingkat frekuensi tinggi. Sisanya, 56 persen anak perempuan mengalami KDRT dalam frekuensi rendah. 
2. Risiko meninggal
Selain tingginya angka KDRT, perkawinan dini berdampak pada kesehatan reproduksi anak perempuan. Anak perempuan berusia 10-14 tahun memiliki kemungkinan meninggal lima kali lebih besar, selama kehamilan atau melahirkan, dibandingkan dengan perempuan berusia 20-25 tahun. Sementara itu, anak yang menikah pada usia 15-19 tahun memiliki kemungkinan dua kali lebih besar.
3. Terputusnya akses pendidikanDi bidang pendidikan, perkawinan dini mengakibatkan si anak tidak mampu mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Hanya 5,6 persen anak kawin dini yang masih melanjutkan sekolah setelah kawin[iii].
 Ditunggu Kiprah Anda Para Pejuang Kesetaraan Gender!
            Membaca temuan-temuan dari bank Dunia dan Plan International, bisa kita bayangkan betapa beresikonya hidup para perempuan muda dan anak-anak yang tinggal di daerah tempat kawan saya ini. Mudah-mudahan saja UU kesetaraan gender nanti bisa menjangkau hingga ke pelosok sana.
            Mudah-mudahan pula pertambahan anggota DPR bergender perempuan bisa membawa perubahan bagi daerah-daerah yang mengalami diskriminasi ini. Seperti kata ‘perempuan pejuang kesetaraan gender’ ini:
UU Kesetaraan Gender ini nanti, menurut mantan anggota DPRD Jabar ini, membuat hak-hak perempuan bisa lebih diperjuangkan. "Diberlakukannya affirmative action, sejalan dengan pengesahan UU tersebut, akan membuat peluang perempuan duduk di parlemen lebih terbuka. Sayangnya, belum akan diikuti kebijakan di instansi pemerintah. Masih sedikit perempuan yang memegang jabatan penting dan strategis di pemerintahan. Itulah yang akan kita perjuangkan melalui UU Kesetaraan Gender," ujar Tetty[iv]
            Baiklah ibu Tetty pejuang kesetaraan gender, kami tunggu kiprah ibu dan perempuan-perempuan pejuang lain dari kantor ibu untuk membebaskan saudara-saudara sebangsa kita dari masalah-masalah serupa ini. Tolong pegang kata-kata ibu ya .... :)

Makassar, 7 Oktober 2011



[i] http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=287806, berita 30 September 2011, diakses pada 7 Oktober 2011 pukul 10.34
[ii] http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/09/20/18580028/Bank.Dunia.Wanita.Desa.Belum.Untung, berita 20 September 2011, diakses pada 7 Oktober 2011, pukul 11.18.
[iii] http://female.kompas.com/read/2011/10/06/15331434/3.Dampak.Buruk.Pernikahan.Dini, berita 6 Oktober 2011, diakses pada 7 Oktober 2011 pukul 11.36.
[iv] http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=287806, berita 30 September 2011, diakses pada 7 Oktober 2011 pukul 11.43


Share :

2 Komentar di "Ya Ampun, Permasalahan Kesetaraan Gender Memang Ada!"

  1. inilah salah satu yg mnyebabkan Indonesia gak bsa maju, bkn dr pmerintah doang, tp msyrkat yg bgini ni yg mmbuat makin ancur.

    mereka berani buat anak (maaf kasar, kesel sih), tp tanpa tanggung jawab seutuhnya, tanpa mmberikan hak seorang anak, yakni yg trpenting ialah pendidikan yg memadai.
    seperti yg dkatakan diatas, bnyak yg lulusan SMP bhkan SD yg merantau k kota besar mngadu nasib,, apany yg diadu? modalny apa? ijasah SD??!
    makanya banyak angka pengangguran, tunawisma, pengemis yg makin melonjak dikota2 besar.
    bayangi lg, dr setiap perorangan mereka melakukan prnikahan dini dgn memiliki anak selusin biasanya. tanpa pikir panjang anakny mau dikasih makan apa? jgn muluk deh, makan aja bngung, gmna pendidikan. Sehingga timbullah siasat buruk dgn mmperkerjakan anak kecil sbg peminta2, bahkan yg balita dijadikan objek pengasih biar IBA bagi peminta2. GILA KAN???!!

    belum lg, ada niat ekstrem dr mrekany dgn cara mmbuat cacat si bayi ato balita dan membuatnya obejek sewa bhkan jual beli agar bsa dijadikan objek peminta2. Naudzubillahimindzalik!!

    oke,smbungan yg td . . .
    kemudian dari setiap mereka td nikah dini, punya anak selusin.
    misalny y, kluarga A punya anak 12, jd anaknya A01 hingga A12. ktika umur mncapai 15 tahun, tiap2 anak kluarga A menikah muda, kmudian A01 punya 7 anak, A02 punya 5 anak, A03 punya 10 anak, dan setrusnya hingga A12. bayangkan mereka melahirkan anak lg dgn tanpa tanggung jawab lg, tanpa mmberikan hak pendidikan n kasih sayang.
    bayangkan dari sebuah kluarga sperti itu melahirkan siklus yg serupa, berapa bnyk pengangguran dan tunawisma serta peminta2 yg melonjak dalam bbrpa dekade????
    pernah terpikirkan?????!!

    jd khncuran Indonesia jg krna masyrakatnya yg dilanda kbodohan serta krisis MORAL.

    pemerintah tlah bnyk mmbantu wlupun bnyk jg korupsinya, seperti :
    -program KB (Keluarga Berencana)
    -penyuluhan akan bahaya pernikahan dini
    -Transmigrasi
    -dsb

    mgkn bbrpa dekade kemudian Indonesia bsa mnjadi negara pengemis terbanyak.
    RENUNGKAN dan PAHAMI

    ReplyDelete
  2. Iya Hanif ...
    Itulah kalau orang menikah tdk dgn dasar ilmu apalagi iman. Org menikah dgn krn org2 lain pun menikah. Jadi mrk menjadi orgtua, ya spt org2 lain menjadi orgtua.

    Padahal dlm mengarungi bahtera rumah tangga, sebenarnya spt menjalankn sebuah proyek, harus ada visi dan misi, harus ada metode, juga strategi.

    Usaha pemerintah rupanya belum menjangkau semua wilayah di Indonesia.

    Miris ya...
    Mudah2an kita semua bisa mengambil hikmah dari tulisan ini dan bisa menjadi orgtua yg baik bagi anak2 kita ...

    Terimakasih telah berkunjung :)

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^