Kilas Balik: Fenomena AFI, Antara Kemilau dan Rasa Miris

Seperti kebanyakan masyarakat Indonesia, saya pun tertarik dengan salah satu program tayangan di Indosiar: Akademi Fantasi Indosiar (AFI). Tulisan ini sebenarnya mulai saya susun pada akhir tahun 2004 dan baru saya rampungkan di penghujung 2005 ini. Walaupun usia tulisan ini sudah setahun, mudah-mudahan masih ada hal positif yang bisa kita simak bersama melaluinya.

Fenomena AFI

Terus terang, saya salut dengan Indosiar yang mampu membuat tayangan yang sedemikian besar menyedot perhatian masyarakat bangsa ini. Tetapi ironisnya, di samping kesalutan saya, saya agak miris dengan dampak lain yang ditimbulkannya. Dan kini, ketertarikan saya bukan hanya sebatas menonton tayangan atau mengomentari sendiri segala polah yang tampak di layar bening di rumah. Kini, saya tertarik mengomentarinya melalui tulisan ini. Dan mudah-mudahan mendapat respon yang juga menarik dari pihak media massa (cetak dan elektronik) juga dari para pembacanya.



Yang Menarik Dari AFI


Hal-hal menarik, menurut saya, yang perlu digarisbawahi dari program ini adalah sebagai berikut;

1. Peluang bagi masyarakat di luar pulau Jawa.
Kesempatan untuk menjadi bintang dalam dunia entertainment di tanah air tercinta ini, kini sedikit lebih mudah bagi kalangan muda usia (18 – 25 tahun) di seluruh pelosok Indonesia. Para kompetitor datang bukan hanya dari pulau Jawa, melainkan juga dari pulau-pulau lainnya di luar Jawa. Dampak sentralisasi selama puluhan tahun yang juga mengimbas pada kesempatan untuk menjadi entertainer populer di negeri ini, kini agak mengecil dengan adanya kesempatan pendaftaran di berbagai kota di Indonesia. Untuk poin ini, Indosiar bukan satu-satunya stasiun TV yang membuka kesempatan ini, TV-TV swasta lain juga ‘berkompetisi’ dalam hal ini.

2. Alternatif berkarir. 
Program AFI dan program-program lain serupa ini yang makin marak saat ini menjadi alternatif bagi solusi masa depan pemuda-pemudi Indonesia. Persoalan: mahalnya biaya sekolah apalagi perguruan tinggi, dan makin banyaknya pengangguran karena makin sulitnya lahan kerja (salah satu alasannya karena masih adanya ‘KKN ‘ dalam penerimaan pegawai), terjawab dengan adanya peluang seperti ini. Peluang yang walau gratis tetapi menjanjikan masa depan yang cerah. Apapun jalur yang dipilih orang untuk berkarir, ‘toh ujung-ujungnya duit juga ....................

3. Kompetisi dengan semangat sportif.
Semangat berkompetisi dengan sportif ditanamkan dalam diri para akademia. Ribuan pelamar di tiap kota diseleksi menjadi 50 besar, kemudian 20 besar lalu tersaringlah 3 besar calon akademia mewakili tiap-tiap kota. ‘Tiga Besar’ yang seharusnya mempunyai kualitas paling bagus di antara ribuan orang itu diberi kesempatan lagi untuk tampil di panggung Teater Tanah Air di Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta. Dari keseluruhan peserta yang tampil dalam konser Pre Eliminasi, terpilihlah 12 orang yang akan menambah deretan nama beken selebritis Indonesia. Tetapi tidak sampai di situ saja, 12 akademia ini harus berkompetisi lagi tiap minggunya, dikomentari oleh para artis senior, kemudian tereliminasi satu demi satu hingga tinggal 3 besar terbaik. Fffuih .... bukankah ini perjuangan yang melelahkan ?

Satu hal yang menjadi perhatian saya yaitu bahwa ternyata kualitas para alumnus AFI 1 s/d AFI3, bukanlah yang terbaik. Jika mereka adalah orang-orang yang terbaik seharusnya semakin lama mereka ditempa di asrama AFI, semakin sedikit kesalahan yang mereka buat saat konser mingguan, menandakan bahwa mereka betul-betul belajar di ‘akademi’. Tetapi ternyata tidak. Untunglah AFI 2005 memperbaiki hal ini, mereka yang tersaring hingga 12 besar benar-benar mereka yang berkualitas bagus, mereka yang bisa membuktikan diri sebagai ‘pembelajar’ dalam dunia entertainment. Salut buat seluruh pendukung AFI 2005 !

4. Bentuk pelatihan yang diformat sedemikian rupa sehingga mencakup semua lini guna membentuk pribadi entertainer yang berkualitas .
Dalam perjuangan 12 akademia ini, mereka harus menempati asrama di kawasan pemukiman elit Raffles Hills. Di situ mereka digembleng dengan pengetahuan olah vokal, gerak, mimik, komunikasi, penguasaan panggung, teknik miking, psikologi, etiket, dan olah mental. Pengetahuan olah vokal, gerak, mimik, dan penguasaan panggung diberikan oleh para seniman andal Indonesia dalam bidang seni tarik suara, seni tari, dan seni peran. Pengetahuan tentang etiket dalam pergaulan, pengetahuan komunikasi (untuk mempersiapkan para akademia menjadi komunikator andal dalam dunia entertainment) dan teknik miking juga diberikan oleh para ahli di bidang-bidang tersebut. Mental mereka digembleng untuk menjadi tangguh di asrama, di mana hubungan mereka dengan dunia luar diputus. Tidak ada media apapun yang diizinkan beroperasi untuk menghubungkan mereka dengan sahabat bahkan orangtua. Oleh karena itu mereka didampingi oleh psikolog yang memberikan pengetahuan psikologi serta masukan-masukan psikologis dan figur ‘ayah’ yang di samping memberikan ilmu dunia entertainment juga senantiasa mengingatkan mereka untuk selalu beribadah dalam agama mereka masing-masing. Bahkan para pengajar AFI dapat menjadi the right persons in the right situations – mereka berusaha dekat secara pribadi dengan para akademia dan turut menjadi problem solver atau mediator dalam konflik yang terjadi di antara para akademia. Saya menggarisbawahi, AFI tidak hanya berusaha mendidik mereka menjadi entertainer yang piawai dalam bernyayi, menari, dan berkomunikasi tetapi juga memiliki EQ (Emotional Quotient = kecerdasan emosional à Daniel Goleman) dan SQ (Spiritual Quotient= kecerdasan spiritual à Danah Zohar & Ian Marshall) yang berkualitas.

5. Untuk menjadi entertainer andal, diperlukan tingkat kecerdasan tertentu.
Hal di atas membuat saya ngeh bahwa sesungguhnya, untuk menjadi entertainer kondang tidaklah semudah membalik telapak tangan. Berbagai macam kecerdasan manusia harus ‘bekerjasama’ untuk menjadikan seseorang andal dalam teknik olah gerak/suara dan moral. Kecerdasan yang saya maksud ialah, apa yang disebut oleh Howard Gardner (pencetus istilah Multiple Intelligences) dengan: kecerdasan musikal, kecerdasan verbal linguistik, kecerdasan gerak-kinestetik, kecerdasan personal, dan kecerdasan inter-personal (kecerdasan personal+kecerdasan inter-personal=kecerdasan emosional). Tidak hanya itu, entertainer andal seharusnya memiliki hubungan transendental yang bagus dengan penciptanya agar apa yang dilakukannya tidak keluar dari rel yang bernama agama à kecerdasan spiritual. Harus diakui, semua ini membutuhkan tingkat kecerdasan tertentu yang diatur dalam kedua belah otak manusia (belahan otak kanan dan kiri). Orang-orang yang berniat menjadi bintang layak belajar melalui tayangan AFI. Para selebriti yang sudah terlebih dahulu menjadi bintang pun perlu belajar kembali untuk introspeksi diri.

6. Latihan introspeksi diri melalui kritik dan pujian orang lain
Tidak hanya bagi para akademia, komentar-komentar yang dilayangkan oleh para komentator selepas mereka membawakan sebuah lagu, secara tidak langsung bisa membuat masyarakat Indonesia yang sebenarnya tidak terbiasa dikritik secara langsung – pelan-pelan belajar berbesar hati menerima kritikan pedas sekalipun sebagai bahan introspeksi diri. Kritikan dan pujian yang ditayangkan secara langsung dalam program ini mendidik para akademia dan penonton untuk fair, berhati lapang, dan rendah hati – bahwa untuk mengasah potensi diri juga harus berefleksi dari kritik orang lain. Juga bahwa pujian tidak boleh membuat lupa diri - pujian adalah tolok ukur yang harus dijaga, minimal konstan, malah lebih bagus lagi kalau bisa ditingkatkan.

7. Latihan berkomunikasi secara santun dan etis
Para komentator saat konser pun dituntut untuk berkomunikasi secara etis dan santun. Ada satu kali kejadian, seorang komentator memberikan komentar pedas, bahkan cenderung kasar karena menyerang pribadi akademia yang bersangkutan, bukannya mengkritik kemampuan yang mereka tampilkan di atas panggung. Umpan balik dari komentarnya bukan hanya datang dari akademia tetapi juga dari pemirsa/penonton yang menyaksikan. Dan satu penilaian buruk pasti sudah mampir untuk sang komentator kasar itu. Pernah pula seorang pengajar memberikan kritik yang kurang tepat, tidak sesuai dengan apa yang telah ditampilkan oleh seorang akademia, entah karena ia lupa atau kurang menyimak penampilan akademia yang dimaksud. Maka, umpan balik pun datang via web site AFI yang disampaikan oleh penggemar akademia itu.

8. Paket marketing yang hebat.
Saya mengacungkan semua jempol saya untuk tim kerja AFI. Paket marketing mereka sungguh jempolan. AFI tidak hanya menarik perhatian dari tayangan konser, Diary AFI, Up & Close Personal tetap juga dari polling sms pemirsa dan hadiah yang dijanjikan, kontrak eksklusif bagi alumni AFI, web site di internet, konser di Studio Cafe, konser di berbagai kota di seantero nusantara, kaset, VCD, sinetron, tayangan kilas sinetron, undian dengan salah satu sponsor setelah tayangan AFI 3 usai, memunculkan ‘alumni’ AFI di banyak tayangan Indosiar lainnya sebagai presenter ataupun sebagai pengisi acara di acara-acara musik, dan yang terakhir: AFI Junior, film layar lebar, dan pictorial book AFI 1. Mudah-mudahan hal ini merupakan bentuk simbiosis mutualisme, kerjasama yang saling menguntungkan atau win-win antara pihak Indosiar dan para artis AFI .

9. Diary AFI, membuat pemirsa dekat dengan akademia andalannya.
Salah satu bentuk marketing yang jempolan. Tayangan ini membuat pemirsa TV merasa dekat dengan akademia andalannya. Melalui tayangan ini, pemirsa dapat mengenal kepribadian para akademia dari layar kaca. Dan juga mengetahui bahwa ilmu yang patut dimiliki oleh entertainer andal ternyata cukup banyak (no. 3 dan 4 di atas). Profesi entertainer yang masih dipandang remeh oleh sebagian orang ternyata memerlukan pelatihan yang tidak remeh. Selain itu, Diary AFI juga menjadi infotainmen gosip yang selalu memanfaatkan bermacam aksi-reaksi antara akademia laki-laki dan perempuan yang seringkali dikomentari (dengan teks atau narasi) secara seenaknya tanpa klarifikasi dari yang bersangkutan. Yah maklum saja, masyarakat Indonesia masih menyenangi tayangan seperti itu ..........................

10. AFI Junior
Saya sempat miris saat AFI pertama kali ditayangkan. Kala itu, tayangan lagu-lagu anak-anak sungguh minim di semua channel TV swasta, para artis penyanyi cilik seakan raib ditelan bumi. Histeria massa pada para akademia tidak hanya terjadi pada para ABG (anak baru gede) negeri ini tetapi juga pada anak-anak usia SMP, SD, bahkan anak usia pra sekolah. Sayang sekali jika mereka ikut hanyut menikmati tema lagu-lagu orang dewasa yang belum mereka mengerti ataupun ikut larut menggemari salah satu akademia tanpa alasan yang jelas. AFI Junior seakan menjawab kegetiran saya. Belakangan malah bermunculan berbagai tayangan serupa yang mengobarkan semangat kompetisi berseni suara pada anak-anak belia cilik di negeri ini. Kelatahan yang punya nilai positif. Setidaknya penyanyi cilik yang bermunculan saat ini adalah yang betul-betul punya talenta dan kemampuan yang berkualitas.

11. Pelukan dan ciuman.
Hal yang membuat saya terperangah adalah adegan spontanitas: pelukan dan ciuman pada akhir konser, setelah pengumuman eliminasi dibacakan oleh Adi Nugroho. Adegan itu bahkan terjadi saat konser pra eliminasi, di mana mereka baru berkenalan selama seminggu. Reaksi sedih akan berpisah (walau cuma sesaat) dengan sahabat adalah wajar, tetapi apakah itu perlu diekspresikan dengan pelukan erat dan ciuman? Tanda tanya besar di benak saya mewakili rentetetan tanda tanya dalam tulisan ini: apakah memang seperti ini pola gaul anak muda sekarang? Tidak risih bersentuhan dada dan saling merapatkan badan di depan kamera dan di depan mata jutaan orang ? Apakah itu kebiasaan mereka sejak sebelum bergabung di AFI ? Ck .... ck ..... ck .... ck ..... Apakah ini suatu kemajuan atau kemunduran? Ataukah pergeseran budaya biasa yang tidak berarti apa-apa ? 10 tahun lalu hal ini masih risih dilakukan kawula muda negeri ini, sekarang hal ini sudah kelihatan lazim. Lalu 15 tahun mendatang saat anak saya yang sekarang masih balita beranjak dewasa hal apa (yang sekarang masih mengundang rasa risih untuk dilakukan) yang akan menjadi lazim kelak? Di samping semua tanya itu, saya salut dengan salah seorang calon akademia perempuan – Tenri Ukke dari kota Makassar (dia gugur di konser pre eliminasi) yang tidak ikut-ikutan memeluk dan mencium teman-teman prianya saat perpisahan di akhir konser, dia hanya menggenggam sambil mengepalkan dengan erat tangan setiap calon akademia laki-laki yang hendak memberikan salam perpisahan kepadanya. Hal yang lucu terjadi dalam salah satu konser AFI 1 (diselenggarakan di salah satu kota di pulau Jawa) yang menampilkan ‘lomba mirip bintang AFI 1’. Para peserta lomba diminta untuk menirukan bintang yang ‘diakuinya’ mirip dengannya. Mereka melakukannya. Hal lucu yang terjadi adalah setelah ‘eliminasi’ diumumkan, mereka juga akting adegan pelukan dan ciuman!

12. Pakaian konser dari sponsor.
Banyak produsen yang bersedia mensponsori tayangan AFI. Salah satu yang disponsori adalah pakaian para akademia saat konser. Sayang sekali, mereka tidak pernah ditanyakan apakah mereka suka atau nyaman dengan pakaian yang mereka kenakan. Salah seorang alumnus AFI pernah mengeluarkan statemen di salah satu infotainmen bahwa ia tidak nyaman dengan pakaian yang terbuka dan terlalu pendek. Tapi apa boleh buat, kontrak eksklusif membuatnya harus rela berpakaian apa saja yang diberikan padanya untuk konser hingga hak mereka untuk merasa nyaman dalam berpakaian mau tidak mau harus dipinggirkan. Saya seringkali miris melihat penampilan akademia perempuan di TV, beberapa dari mereka seringkali harus mengenakan pakaian yang berpotongan leher amat rendah. Saking rendahnya sampai-sampai ... maaf ... belahan dadanya kelihatan. Saya tidak tahu apakah mereka merasa nyaman dengan pakaian itu, atau mungkin mereka terbiasa dengan pakaian seperti itu. Saya tidak tahu apakah banyak penonton (utamanya laki-laki) yang senang melihat perempuan berpakaian dengan model pakaian yang memperlihatkan belahan dada atau mempertontonkan kemulusan paha dan keindahan lekuk tubuh, ataukah banyak juga yang seperti saya, merasa risih dan kasihan melihat tayangan seperti itu?

Syukurlah, di AFI 2005 yang barusan, gaya berpakaian ‘kemben’ seperti di AFI 1 (kemben = keterbatasan sponsor ?) tidak terlihat lagi. Style pakaian saat konser sudah terlihat lebih rapih dan lebih bisa ditolerir oleh tata nilai saya dibandingkan AFI 1 (yang saya yakini masih banyak yang memiliki tata nilai serupa dengan saya).

13. Tayangan shalat di Diary AFI 2
Saat menjelang konser grand final, Diary AFI 2 pernah menayangkan adegan shalat (tidak jelas shalat apa) yang dilakukan oleh 3 orang akademia terbaiknya. Adegan itu menayangkan sepotong adegan shalat dan di penghujung shalat mereka berdo’a dengan (sengaja) bersuara. Adegan ini muncul – entah secara kebetulan atau tidak, setelah ada media yang memuat kritikan ulama tentang akademi fantasi yang tidak mengajarkan moral agamis ini. Mengada-ada. Saya katakan mengada-ada karena shalat seperti yang kita ketahui seharusnya adalah ritual wajib setiap muslim/muslimah yang sifatnya pribadi antara seorang hamba dengan penciptanya. Ibadah wajib yang dilakukan sebanyak 5 kali dalam sehari dan tidak perlu diekspos sedemikian, entah untuk apa. Yang paling mengada-ada ialah do’a berbahasa Indonesia yang mereka ‘panjatkan’ seolah dikte yang diberikan seseorang untuk mereka sampaikan kepada Sang Khalik. Kalau bukan dikte, untuk apa do’a yang mereka panjatkan dibaca dari secarik kertas? Do’a pun sifatnya pribadi, tidak perlu dibaca dari secarik kertas apalagi do’a yang dibaca tersebut dibuat dalam bahasa Indonesia, bahasa sehari-hari masyarakat Indonesia dan tidak dengan suara yang dikeraskan sehingga diketahui oleh ribuan orang. Tuhan sangat mengerti keinginan setiap hamba yang bermohon pada-Nya, dalam bahasa apa saja asal dipanjatkan dengan cara yang benar, tidak perlu berlebihan. Sayang sekali, ibadah yang sesungguhnya mulia tersebut ditayangkan dalam bentuk yang tidak simpatik.

14. Artis karbitan ?
Saya sangat tidak setuju kalau ajang seperti ini dikatakan membentuk artis karbitan. Perbedaan artis yang dihasilkan dengan cara ini dibandingkan yang telah lebih dahulu ‘berkibar’ adalah dari banyaknya jam terbang dalam skala nasional yang mereka miliki, itu saja. Sebenarnya banyak juga dari mereka yang memiliki jam terbang lokal cukup tinggi yang telah mereka rintis selama bertahun-tahun. Mereka tinggal menunggu peluang untuk ikut berkompetisi dalam skala nasional dengan para senior mereka dalam dunia entertainment. Faktanya, setelah mereka keluar dari ajang semacam ini, mereka akan terus ‘berlatih terbang’ dalam kontrak eksklusif mereka. Setelah itu, mereka pasti akan kena seleksi alam. Di mana artis yang tidak mampu survive akan hilang dengan sendirinya. Dan yang memiliki kesadaran diri untuk terus mengasah potensinya (termasuk akhlak) akan terus berkibar sampai penikmat musik bosan dengannya atau menyematkan titel legenda pada namanya.

15. Liburan ke Bali
Sangatlah pantas jikalau seluruh akademia mendapatkan banyak hadiah dari pihak penyelenggara dan sponsor, termasuk hadiah liburan ke pulau dewata. Saya ingin mengingatkan pada penyelenggara dan para akademia sesama muslim agar berhati-hati dalam hal upacara yang kemungkinan menyangkut ibadah agama selain Islam. Mohon maaf, dengan segala kerendahan hati, saya sangat tidak bermaksud merendahkan agama lain. Sebagai seorang muslim yang wajib saling mengingatkan kepada sesama muslim lainnya, saya ingin berpesan bahwa Islam yang sangat menjunjung tinggi kebebasan agama lain menjalankan ibadahnya - sangatlah strict dengan hal-hal yang berhubungan dengan aqidah tauhid. Dalam Islam sangatlah tidak dibenarkan mengikuti upacara yang berkaitan dengan ibadah agama lain.

Saya sempat mengikuti sekilas tayangan liburan ke Bali para akademia AFI 3, suatu ekspos pariwisata yang menarik, saya jadi lebih banyak tahu tentang Bali. Hanya satu hal yang membuat saya agak miris, yaitu tayangan acara disko para akademia AFI 2 yang kala itu disajikan dengan sangat tidak indah. Terus terang, saya tidak mengerti poin apa yang bisa saya tarik dari tayangan sekian menit yang memuat gerakan dansa-dansi anak muda yang katanya modern itu dengan latar musik hingar-bingar dan kerlap-kerlip lampu diskontinyu, tanpa teks, tanpa kata-kata. Tanpa ada nilai yang patut dibagi pada jutaan mata rakyat yang hidupnya masih susah karena minimnya lapangan pekerjaan, maraknya KKN di berbagai sektor kehidupan mulai dari kelas bawah sampai kelas atas, semakin sulitnya pendidikan yang layak, penghidupan yang minim karena gaji di bawah UMR dan berbagai alasan lainnya. Tolong, tidak ada salahnya ‘kan menjaga perasaan mereka yang sedang dalam kondisi tersebut ?

16. Character assasination
Salah satu kekurangan dari tayangan yang mengandung unsur infotainment seperti Diary AFI adalah, dilupakannya aturan yang sebenarnya masih lazim di negara ini karena masih diajarkan oleh berbagai agama untuk menuntun perilaku para pemeluknya. Yaitu: membuka dan menyiarkan aib orang lain. Salah satu tayangan Diary AFI 2 pernah menampilkan suatu bentuk reality drama, di mana Haikal dihadapkan pada situasi semacam sidang di mana saat itu ada 3 akademia lainnya yang tersisa (yang selebihnya telah tereliminasi) dan 2 orang pengajar AFI. Di situ segala kejelekan dari karakter seorang Haikal diungkap oleh ketiga akademia dan disimak serta dibantu penyelesaian konflik yang timbul karenanya oleh kedua pengajar. Maksud kejadian itu sebenarnya baik yaitu mencoba membuat sesosok pribadi berusaha untuk mengintrospeksi dirinya dan menyelesaikan konflik yang timbul di antara Haikal dengan akademia-akademia lainnya. Namun di sisi lain, penayangan kejadian tersebut secara tidak sadar dapat menyebabkan character assasination (pembunuhan karakter) seorang Haikal karena itu ditayangkan dalam skala nasional. Dalam satu bentuk acara hiburan lagi. Khawatirnya, karena acara semacam ini semakin banyak, publik akan merasa bahwa membongkar aib orang dan menyiarkannya kepada khalayak adalah lazim karena TV, mau tidak mau saat ini telah menjadi pembentuk opini publik. Apakah ini bentuk kebebasan pers yang kebablasan ?

17. Kualitas penyanyi yang makin bagus
Kualitas luaran AFI angkatan ke-4 (AFI 2005) menunjukkan keseriusan dari tim pencari bakat di balik layar untuk mencari bibit-bibit yang benar-benar berkualitas. Salut pada luaran AFI 2005 yang rata-rata kualitas nyanyi mereka di atas dari angkatan-angkatan sebelumnya. Mudah-mudahan peningkatan ini tetap terjaga di tahun-tahun mendatang.


Kembali ke nilai-nilai etis, berikut ini saya kutipkan satu pesan yang juga merupakan harapan pribadi saya dari sebuah khutbah idul fitri 1425 H yang lalu :
“ … dalam pergaulan misalnya, mereka (generasi muda saat ini – pen) berusaha menonjolkan cara pergaulan yang berasal dari barat. Mereka memandang budaya barat adalah budaya yang terbaik dan harus selalu ditiru. Mereka tidak mampu memilih mana budaya yang perlu ditiru dan mana yang harus ditolak.
Kalau mereka bertemu, yang mereka ucapkan adalah ucapan “Hallo”dan langsung berpelukan dan berciuman. Dengan gaya seperti itu, mereka merasa lebih akrab dan mantap. Mereka tidak peduli soal laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki merasa tidak mengapa memeluk rapat dan mencium hangat perempuan yang bukan istri dan mahramnya. Celakanya yang perempuan juga tidak merasa rikuh di muka umum dipeluk dan dicium yang bukan suami atau mahram-nya.
Mereka menganggap bahwa demikianlah cara orang modern kalau bertemu dan mengungkapkan rasa gembira dalam suatu pertemuan. Salam hangat dengan peluk cium seperti itu mereka namai sebagai salam “Crystal”. Mereka tidak berusaha untuk tahu bahwa cara pergaulan bebas seperti itu sesungguhnya tidak hanya bertentangan dengan ajaran agama saja tetapi juga bertentangan dengan cara pergaulan yang diajarkan dan dicontohkan oleh nenek moyang kita bangsa Indonesia …”
(Dikutip dari: “Rambu-Rambu Kehidupan (Antara Haq dan Bathil)”, oleh Drs. H. Muh. Alwi Uddin, M. Ag., khutbah hari raya Idul Fitri 1425 H di lapangan Universitas Muhammadiyah Pare Pare, Sulawesi Selatan, 14 November 2004)


Ada satu hal menarik yang baru-baru ini ditampilkan AnTV pada hari Jumat tanggal 24 Maret 2006. Waktu itu AnTV menayangkan secara langsung (dari Singapura) acara anugerah musik yang diikuti pemusik-pemusik dari Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Banyak penyanyi beken dari ketiga negara ini dinominasikan untuk mendapatkan penghargaan bergengsi itu. Sebut saja dari Indonesia ada Krisdayanti, Melly Goeslaw, Marcel, Peter Pan, Padi, Radja, Gigi, dll. Sudah tentu begitu pula dari Singapura dan Malaysia. Yang menarik, dari Malaysia ada 2 penyanyi jebolan Akademi Fantasi yang juga masuk dalam nominasi. Kedua penyanyi ini ternyata mampu bersaing dengan penyanyi-penyanyi senior dari ketiga negara tadi (Oya, pernah beberapa penyanyi dari AF Malaysia bertandang ke Indonesia dan menyanyi sepanggung dengan para akademia Indonesia). Nah, PR untuk jebolan-jebolan AFI di Indonesia (yang sudah berlangsung selama 4 tahun ini, dan sekarang menginjak tahun kelima), apakah kalian mampu seperti mereka – jebolan Akademi Fantasi dari Malaysia itu ?

Akhir kata, semoga Akademi Fantasi Indosiar berhasil membentuk pribadi yang berkualitas dalam kecerdasan emosi (personal dan interpersonal), kecerdasan spiritual, kecerdasan musikal, kecerdasan verbal linguistik, dan kecerdasan gerak-kinestetik. Dan juga tangguh menghadapi seleksi alam.

Semoga juga Indosiar bisa dengan cerdas menerima segala saran dan kritik membangun dari para pemirsanya agar supaya AFI berikut bisa dikemas dengan tayangan yang lebih bagus, memenuhi rasa haus hiburan rakyat Indonesia tetapi sekaligus juga memunculkan poin-poin positif yang bisa dipetik bangsa ini, bukannya hal-hal yang menimbulkan rasa miris sehingga menimbulkan kesan adanya eksploitasi semata.

Semoga pula tulisan sederhana ini bisa menggugah stasiun-stasiun TV lain yang memuat aneka kontes yang serupa tapi tak sama dalam jadwal tayang mereka.

Terakhir, semoga AFI 2006 (dan AFI-AFI seterusnya) menunjukkan bahwa AFI memang layak ditonton oleh mereka yang memerlukan alternatif hiburan berkualitas sekaligus mendidik.


Good luck.


Makassar, Agustus-November 2004, Oktober 2005, Maret 2006


Share :

1 Komentar di "Kilas Balik: Fenomena AFI, Antara Kemilau dan Rasa Miris"

  1. tadinya aku mau ikutan
    #GayaBeuh :p
    dulu jaman SD sukaaa, tp kok pake peluk tium gituuu ==

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^