Sebagai ibu rumah tangga beranak tiga tanpa asisten
rumah tangga, sering kali saya dituntut multi
tasking. Bagaimana tidak, se-abreg pekerjaan
harus selesai pada waktu yang nyaris bersamaan atau bahkan bersamaan.
Meladeni anak-anak, melakukan pekerjaan rumah,
mengejar dead line tulisan, dan
berkhidmat pada orang tua sering kali “menuntut” diselesaikan dalam satu
alokasi waktu. Bersyukur suami saya pengertian sehingga saya banyak terbantu
dalam tetek-bengek urusan rumah tangga. Tetapi karena seperti umumnya laki-laki, suami saya adalah
makhluk Mars yang single tasking sehingga
setiap saat harus diarahkan, diberikan SOP (standard
operational procedure) sekali pun untuk hal-hal yang sudah sering ia
lakukan jadi keribetan itu bertambah dengan keharusan memberi "wejangan-wejangan" SOP yang sayangnya tidak bisa di-rewind otomatis :).
Dalam kondisi seperti ini kelelahan fisik dan psikis
jadi makanan sehari-hari saya. Lumrah terjadi saya tidur menjelang tengah malam
atau lewat tengah malam dalam keadaan yang super lelah.
Dulu, kekosongan dan rasa stres sering melanda saya.
Rutinitas yang sama berlangsung setiap hari. Kelelahan yang sama. Masalah yang
sama. Untungnya passion menulis yang saya tekuni 4 tahun ini banyak membantu saya. Menulis membuat saya bisa
rehat sejenak dan mengalihkan dunia saya pada ketenangan.
Sadarilah kebutuhan untuk
menenangkan pikiran yang sibuk nan ramai, demikian tulis Adjie Silarus
dalam bukunya yang berjudul Sadar Penuh Hadir Utuh. Selanjutnya, Adjie menulis:
Kita pun
memegang kendali untuk memilih menghentikan setiap kegiatan yang sudah terlalu
melelahkan, kekhawatiran akan rencana-rencana yang tak kunjung menjadi nyata,
dan kecemasan yang membuat otak kita tidak bekerja sewajarnya.
Yup, saya
setuju. Pilihan demi pilihan memang harus ditetapkan untuk menciptakan
kenyamanan. Setidaknya saya sedikit berhasil memilah-milah apa yang saya harus
kerjakan dan apa yang tidak. Pekerjaan rumah adalah pekerjaan yang tak ada
habisnya. Dua puluh empat jam tak pernah cukup untuk menuntaskan semuanya. Kini,
saya sudah bisa tenang membiarkan pakaian kotor yang masih menumpuk karena belum
sempat dicuci dan tumpukan piring kotor yang belum dicuci asalkan saya bisa
mengerjakan me time agar pikiran saya
bisa tetap waras. Saya bahkan punya semboyan baru: tak ada orang yang jadi sakit parah hanya karena pakaiannya tak
diseterika. Kalau dulu saya menyeterika hampir semua jenis pakaian yang ada
di rumah, sekarang tidak lagi. Ada sebagian pakaian yang tak perlu diseterika,
dilipat saja sudah cukup. Toh saya tak akan masuk neraka hanya karena tak
menyeterika pakaian!
Cukup banyak perubahan yang saya rasakan menyangkut ketenangan
dan kenyamanan hidup. Saya sudah lumayan bisa berdamai dengan diri sendiri dan
aneka keadaan chaos yang mewarnai
hari-hari saya. Namun sesekali saya masih mudah terganggu dengan hal-hal yang
tak perlu. Mungkin karena terbiasa melakukan multi tasking dan pernah melalui berbagai hal tak enak, saya belum
sepenuhnya mampu memilah-milah mana hal yang perlu saya kerjakan dan mana yang
tidak, juga mana perasaan yang perlu saya rasakan dan mana yang tidak.
Kira-kira 6 tahun lalu saya pernah mempermalukan diri
saya dengan menjatuhkan nampan berisi segelas sirup di depan tamu karena saya
membawanya sembari menggendong Faqih – keponakan saya. Hingga saat ini, sesekali saya masih bereaksi berlebihan pada keadaan
yang membangkitkan memori lama akan kejadian tak mengenakkan.
Terkadang saya masih setengah hati mendengarkan
anak-anak saya bercerita hanya karena pikiran saya dipenuhi draft beberapa tulisan ditambah
program-program kegiatan di beberapa grup menulis/blogger yang saya ikuti, dan
beragam masalah kehidupan. Dan ketika menyadarinya, saya merasa bersalah.
Semestinya saya menyadarinya sejak awal, bahwa saya sedang dalam proyek jangka
panjang, membangun bonding yang kuat
dengan anak-anak tapi mengapa saya menyia-nyiakan kesempatan emas ketika mereka
mencoba meraih simpati atau empati saya saat sedang mengutarakan perasaan
mereka? Ibu macam apa saya?
Seharusnya saya tahu, multi tasking bukanlah hal yang boleh dikerjakan kapan saja. Ada
saat-saat di mana saya harus melakukan single
tasking. Saat kembali merenungkannya, saya menemukan istilah “mindfulness” di buku Sadar Penuh Hadir
Utuh. Adjie Silarus menyebut mindfulness sebagai cara sederhana untuk
melatih diri agar sadar penuh, hadir utuh di sini dan saat ini, lebih menyadari
kehidupan dengan segala yang terjadi setiap saat.
Dan ternyata, sejak akhir 1970-an, sudah lebih dari
1.000 penelitian secara psikologi maupun medis mengenai mindfulness yang membuktikan keabsahan dan luasnya penerapan mindfulness dalam berbagai bidang,
seperti stamina (jiwa dan raga), respon efektif akan situasi kompleks,
pengambilan keputusan, dan bisa menghentikan reaksi spontan yang buruk dalam
menanggapi masalah.
Hm ...
mindfulness. Saya harus belajar lebih banyak lagi tentang satu kata ini.
Makassar, 3 Maret 2015
Buku Sadar Penuh Hadir Utuh segera terbit (24 Maret
2015), bisa pre order pada tanggal 2 – 11 Maret 2015 di sini.
Free tiket kelas “Sadar
Penuh” dari Adjie Silarus buat 20 peserta pre order yang
beruntung.
Share :
bener banget mak, kadang nyesel nyuekin anak karena deadline kerjaan, atau kita sedang bersih-bersih rumah.. saya setuju sekali, untuk masalah anak, sebisa mungkin tidak boleh multitasking.. :D
ReplyDeleteSeharusnya kita bisa mengaturnya ya Mak *self reminder lagi* :)
DeleteMantap Mak ..urusan rmh tangga kudu ada SOPnya juga ya....agar tetap berada dlm koridor dan tak melanggar rambu2 tentunya ya.. Nice post..
ReplyDeleteOoh kalo SOP dengan suami itu mengenai "tata laksana" teknis saja Mak hehehe. Maklum, bapak2 susah lompat sana-sini kalo membantu istrinya di kerjaan rumah hehehe
Deleteaku lagi semangat nyobain beberapa latihan di buku nya mbak...
ReplyDeleteWah Mas Goiq langsung praktik ya .. keren ....
Deleteaku sering multitasking
ReplyDeletedan saat hanya fokus mengerjakan sesuatu justru aku merasa kurang sibuk LOL
Waaah bisa begitu ya Mak :))
DeleteInspiratif bukunya Mak. Harus bisa dipraktekkan biar hidup tambah hepi. :)
ReplyDeleteHehehe iyabenar,
DeleteIyah, Mak Mugniar, kalo hahagia, hari rasanya jadi ringan yah ngerjain apapun ;)
ReplyDeleteIya Mak ... memang kita harus mampu nge-set pikiran dan hati sendiri ya
DeleteBeuh... makhluk bergenre lelaki memang sulit diajak multitasking ya mbak. Hahahaha..... kadang kita maunya cepat malah sibuk menjelaskan dan mengingatkan. Tapi justru itu yang membuat mereka melakukan banyak kegiatan dengan sempurna. Tak seperti kita yang multitasking hingga kadang tak sempurna mengerjakannya. Semoga beruntung mendapatkan buku ini mbak. aku juga minat nih.
ReplyDeleteWkwkwkwk benar sekali Mbak. Yup, kita kadang2 jadinya malah setengah2 melakukan semuanya :))
Deletekayaknya bukunya bagus ya Mak Niar...
ReplyDeleteBagus, Mak .. mengajak untuk merenung ...
DeleteMultitasking itu kebiasaan saya, terutama dipagi hari. Tapi segala sesuatu memang harus seimbang, ya, meski pengennya semua kerjaan harus kelar (sempurna).
ReplyDeleteYa Mbak ... sama, saya juga demikian :)
DeleteSetujuu banget sama semboyannya mak : tak ada orang yang jadi sakit parah hanya karena pakaiannya tak diseterika :D
ReplyDeleteKalo selalu menginginkan kondisi "sempurna" di sekeliling kita, bisa-bisa malah stress yaa hihiiii. jadi pilihannya cuma 1, dibawa enjoy aja ^^
Toss Mak :)
DeleteIni jadi renungan buatku juga, Mak... Harus belajar melatih mindfulness nih... Aku juga masih sering uring2an gak jelas mikirin banyak hal yg bikin kepala ramai & puyeng, yg ujung2nya ga efektif juga...
ReplyDeleteTipikal perempuan kali begitu ya Mak?
DeleteMultitasking tak selalu berakibat baik ya Mba, yang penting fokus ke satu pekerjaan yang sedang dijalani, buku ini memberikan terapi jiwa yang pas :)
ReplyDeletesetuju mak...kadang kita pengen semua dikerjain dan bisa..padahal :(
ReplyDeleteharus mengerti diri sendiri juga y mak :")
harus belajar banyak ttg mindfulness ini :")
Beneeeer banget Mbak. Saya juga merasakan itu. Jadi, kembali mengingat komitmen awal saya dulu untuk memutuskan di rumah :)
ReplyDeleteMasih beruntung mbak suami masih selalu ada didekat mbak niar dan anak anak. Kalau istri saya udah lima anaknya tanpa art selalu ditinggalin suaminya berminggu minggu keluar kota. Kalau lagi lurus lurus saja mingkin tidak masalah tapi kalau pas anak anak pada sakit tidak terbayang repotnya.
ReplyDeletesetiap orang pasti punya cara untuk temukan mindfulness-nya. tapi karya mas Adjie Silarus ini patut dicoba juga lho.
ReplyDelete@nuzululpunya