Memaknai Puasa di Negeri Orang

Judul: Serunya Puasa Ramadhan di Luar Negeri
Penyusun: Leyla Hana
Penulis: Dang Aji, Ary Nur Azizah, Julie Nava, Nyi Penengah Dewanti, dkk.
Penerbit: Qibla, Imprint BIP
ISBN 10: 602-249-653-5
ISBN 13: 978-602-249-653-3
Tahun terbit: 2014
Ketebalan: 168 + xii halaman
Ukuran: 20,5 cm x 14 halaman

Memaknai puasa tak harus berarti belajar dari pengalaman sendiri. Kita bisa juga belajar dari pengalaman saudara-saudari muslim(ah) kita yang menjalani puasa Ramadhan di luar negeri. Akan terlihat banyak yang bisa kita syukuri dalam kehidupan kita setelah membaca buku ini.

Sebanyak 23 penulis membagikan pengalamannya. Sebagian dari mereka tinggal di negara yang berwarga muslim minoritas. Sebagiannya lagi tinggal di negara berpenduduk muslim mayoritas.



Suka dan duka dialami mereka yang tinggal di negara yang didiami oleh sedikit sekali orang Islam. Beberapa di antaranya bekerja sebagai buruh migran, beberapa lagi berstatus sebagai mahasiswa, ekspatriat, atau sebagai pendamping suami yang sedang tugas belajar/bekerja.

Momen Ramadhan sering kali berbalut cerita duka. Ini dialami oleh saudari-saudari kita yang bekerja sebagai buruh migran di Hong Kong dan Singapura. Agen penyalur tenaga kerja ada yang memaksa BMI (buruh migran Indonesia) untuk melepaskan kegiatan beribadah orang Islam seperti shalat dan puasa. Alasannya karena warna putih yang umumnya warna mukenah merupakan warna duka bagi sebagian majikan. Sedangkan puasa tidak dibolehkan karena ditakutkan BMI menjadi lemas dan tidak bisa menyelesaikan kewajibannya dengan baik. Banyakan majikan yang tidak mengizinkan pembantunya berpuasa. Sehingga mereka yang punya tekad baja harus sembunyi-sembunyi dalam melaksanakan shalat dan berpuasa. Ini dikisahkan antara lain oleh Mell Shaliha, Arista Devi, Nyi Penengah Dewanti, dan Nessa Kartika.

Kelihatannya masih sedikit lebih baik apa yang dialami oleh mereka yang sedang menjalankan tugas sebagai ekspatriat atau mahasiswa di negara-negara Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Mereka masih lebih merdeka dalam menjalankan kewajiban sebagai muslim.

Namun bukan berarti mereka tak menghadapi kendala sama sekali. Mereka harus melalui ujian berupa cuaca yang tidak bersahabat karena iklim sub tropis negara-negara tersebut berbeda sekali dengan iklim tropis di negara kita. Selain itu mereka kesulitan dalam mencari toko yang menjual bahan makanan halal atau mencari masjid untuk melaksanakan shalat tarawih. Kesulitan lainnya adalah tidak adanya toleransi dalam waktu bekerja sehingga stamina tubuh yang prima mutlak dimiliki.

Annisah Rasbel menceritakan kisah menariknya saat berada di Greifswald, Jerman ketika melaksanakan shalat Isya’ bersama saudara-saudari muslim dari berbagai negara di sebuah masjid kecil. Betapa konsentrasi mereka buyar tatkala sementara shalat, ada musik mengintervensi kesyahduan ibadah dari rumah sebelah. Musik yang volumenya keras sekali. Rupanya di sebelah masjid itu digunakan sebagai tempat latihan aerobik oleh warga setempat (halaman 98).

Kisah Ramadhan Deasy Rosalina di Korea menarik untuk disimak (halaman 45). Di sana Rosa harus bertindak sebagai duta Islam yang baik. Ia harus bisa memberikan pemahaman mengenai ibadah puasa. Suatu ketika ada seorang kawannya yang kasihan, membujuknya untuk makan dengan mengatakan, “Rosa sedang berada di Korea tetapi Tuhan di Indonesia.”

Tak kalah menariknya kisah Julie Nava yang bersuamikan mualaf asal Texas – Amerika Serikat (halaman 110). Pembelajarannya tentang Islam menjadi lebih tertantang karena harus memberi pemahaman kepada suaminya. Syukurnya sang suami memang bersungguh-sungguh dalam mempelajari keyakinan barunya dengan menerima apapun penjelasan dari Julie dan kawan-kawan muslimnya.

Kesulitan bukan tak dialami mereka yang tinggal di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim seperti Malaysia, Arab Saudi, dan Mesir. Beberapa penyesuaian di sana-sini harus mereka lakukan agar dapat menjalani ibadah puasa dan tarawih dengan baik.

Momen berbuka puasa bersama dan shalat berjama’ah menjadi momen yang menyadarkan kembali para penulis buku ini mengenai kecintaan mereka pada Indonesia. Merindu suasana Ramadhan di kampung sendiri menerbitkan perasaan indah tak terkira.

Begitu pun indahnya ketika menikmatinya bersama saudara-saudaru muslim(ah) dari berbagai negara dari seluruh belahan dunia. Kekuatan ukhuwah islamiyah terasa begitu memikat. Membangkitkan rasa syukur yang lebih besar lagi kepada Sang Maha Pencipta.

Dan bagi kita yang tak pernah sekali pun melalui bulan Ramadhan di luar negeri, buku ini tidak seharusnya membuat kita iri. Setelah mengetahui betapa mereka merindukan suasana Ramadhan di tanah air dan betapa berat bagi sebagian penulis melalui bulan Ramadhannya maka kita seharusnya bersyukur. Karena kita selalu berada di tanah air dan tidak pernah jauh dari suasana yang mereka rindukan. Di sini, segala sesuatunya terasa jauh lebih mudah dibandingkan dengan segala kesulitan yang mereka harus hadapi di bulan Ramadhan. Maka nikmat Tuhan yang mana yang kita dustakan?


Makassar, 13 November 2014


Share :

16 Komentar di "Memaknai Puasa di Negeri Orang"

  1. Buku yang menginspirasi, ada gak yah edisi gratisannya hehe...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pernah ada GAnya, Mas ... hadiahnya buku ini:)

      Delete
  2. ih ceritanya menarik... menarik pula ulusannya... penasaran :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Belilah Annur *aih saya macam tim promosi buku ini ya hehehe*

      Delete
  3. Semoga penulis buku dan yang mereview serta yang membaca mendapat hikmah yang bermanfaat...

    ReplyDelete
  4. cerita pengalaman dengan kultur yang berbeda sangat memperkaya. Bukunya layak untuk dibaca inih

    ReplyDelete
  5. Tanpa ada perbandingan seperti ini, sy merasa puasa di tanah air biasa saja, tp melihat hal yg dialami kawan2 ini baru benar di sadari, Maka nikmat Tuhan yg mana yg bisa didustakan.

    Tp sekalipun berat, berharap suatu hari bs merasakan berpuasa di luar negeri :-)

    ReplyDelete
  6. Kisah-kisah yang tentu bisa memotivasi kita untuk lebih baik dalam beribadah ya mbak... rintangan atau hal-hal berat adalah ujian bagi keteguhan hati. Semoga bukunya banyak memberi hikmah dan hidayah bagi pembacanya.. Amin

    ReplyDelete
  7. Bener-bener aneh, bagaimana mungkin putih berlambang duka? heran aku... well jadi pengen baca bukunya

    ReplyDelete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^