Tulisan pertama dari pelatihan Telaah Kritis Isu
Perempuan di Media
(18 – 19 Januari 2014)
Saya
bersemangat mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh AJI (Aliansi Jurnalis
Independen) bekerjasama Development and Peace
untuk komunitas-komunitas perempuan yang kedua kalinya ini. Berlangsung
selama dua hari, tanggal 18 – 19 Januari di hotel Grand Celino yang nyaman,
pelatihan ini mengusung tema TELAAH
KRITIS ISU PEREMPUAN DI MEDIA.
Seperti pelatihan sebelumnya, di sini saya mewakili KEB (Kumpulan Emak-Emak Blogger), bersama 14 perempuan lainnya yang mewakili komunitas masing-masing.
Materi
pertama dibawakan oleh pak Silahuddin Genda, seorang jurnalis senior. Ia
mengemukakan data dari survei Mark Plus (Hermawan Kertadjaya) di 10 kota.
Menurut survei ini, ada 3 golongan yang mendapat perhatian di media, yaitu: perempuan, netizen (penguna internet),
dan pemuda.
Gambar berasa dari akun twitter @AJI_Mks (https://twitter.com/AJI_Mks) |
Mengapa
perempuan sangat diperhitungkan oleh media? Karena 78% pemegang keuangan
keluarga adalah perempuan. Perempuan merupakan penentu dalam kegiatan ekonomi
dalam keluarga. Makanya wajar bila media “melirik” perempuan.
Nah, persoalannya sekarang,
bagaimana media menempatkan perempuan? Apakah selama ini media “menggunakan”
perempuan secara wajar atau mengeksploitasi?
Lihat
infotainmen dan sinetron. Lihat eksploitasi kemolekan tubuh dan gaya hidup
hedonis. Begitukah wajah perempuan kita? Well,
media itu kapitalis. Dengan kapitalisme media, perempuan dimanfaatkan
sebagai sesuatu yang layak dijual!
Masih
ada lagi: isu perempuan yang dimuat dalam media itu berupa:
- Kekerasan seksual
- 1/3 dari 295.836 kasus adalah kekerasan terhadap perempuan (tahun 2000)
- Setiap hari 28 korban kekerasan seksual
Gambar berasal dari akun twitter @AJI_Mks (https://twitter.com/AJI_Mks) |
Belum
lagi masalah diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan terkait politisasi
identitas dan diskriminasi perempuan pekerja migran.
Duh, dari sini para perempuan
bisa menyadari perlunya mengambil peran untuk ikut menentukan tentang bagaimana
media menulis isu-isu perempuan dan untuk memperbaiki posisi perempuan di
media.
Memang
sih, sebenarnya ada yang namanya
prinsip check and balance yang harus
dijalankan para jurnalis atas konten dari suatu tayangan atau berita. Tapi
rupanya prinsip ini tak selamanya dilaksanakan dengan baik.
Dari
penjelasan pak Silahuddin, saya menangkap pesan bahwa AJI berusaha untuk fair dalam hal ini. Ia memaparkan,
perlunya kesadaran insan media (jurnalis dan pemilik media) dalam memperkokoh kualitasnya.
Yaitu
dalam menanamkan pemahaman terhadap regulasi-regulasi terkait media massa dan etika/kode
etik wartawan. Misalnya dengan mengadakan pelatihan ataupun seminar mengenai
pentingnya regulasi atas media dalam mengemas atau menyajikan informasi kepada
publik. Insan media pun baiknya mewujudkan pemberitaan yang sensitif terhadap
gender guna menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak termarginalkan oleh
insan media massa.
Melalui
pelatihan ini, diharapkan kesadaran para peserta untuk berperan dalam
menyuarakan kepentingan perempuan. Jangan sampai kecenderungan “media
membingkai perempuan” terus terjadi. Harus dibalik dengan stigma “perempuan bisa
membingkai media”.
Makassar, 24 Januari 2014
Bersambung
Share :
Waaah... hebat!!!!
ReplyDeleteIya sih mbak. Meski media di sini lebih mengacu ke media cetak dan elektronik yang bergenre berita itu. Mereka memang lebih banyak memberitakan keburukan daripada keberhasilan. Nggak balance sama sekali.
Ada juga yang balance mbak tapi banyak juga yang tidak :)
Deletekarena selama ini berita yang di buat ttg perempuan yang layak jual memang yg berhubungan dengan tubuh kali mak.....ayoo kita buat berita yg layak jual dng persepsi berbdea...hidup emak2 blogger...#eh :)
ReplyDeleteAyoo Mak :)
Deletekeren nih tante! ayoo aku juga mau jadi perempuan yang bisa membingkai media :D
ReplyDeleteAyo :)
DeleteIbu-ibu yang punya kegiatan seperti ini yang aku suka, jadi sering maik ke blog ini.
ReplyDeleteSalam
Edi Padmono
Terimakasih mas :)
DeletePelatihan yang bermanfaat sekali ya Niar. Membekali perempuan dengan sense of journalist untuk memahami permasalahan gender perempuan..
ReplyDeleteBerbahagialah yag bisa menjadi perempuan di segala lini. Seperti isteri saya juga. Ehg....
ReplyDeletemak mugniar,,artikelnya sllu nmbah ilmu baru,,kalo aku siih,,yg paling parah dn mmbingkai perempuan tuh berita2 di infotainmen,,yg kdg makin mengulik-ulik ampe ngga ada batas antara kehidupan pribadi dg dunia hiburan dn talkshow2 yg justru memperdalam satu kasus yg sharusnya ngga diangkat ke ruang publik,,
ReplyDeletepelatihannya bagus banget,ini acaranya AJI to mbk??
ReplyDeleteperempuan2 Indonesia harus baca ini nih
ReplyDeleteSemoga saja, dengan tulisan-tulisan seperti ini sedikitnya bisa membantu perempuan untuk lebih aktif dan kritis terhadap pemberitaan. Kalaupun ikut menuliskan, bisa mulai belajar dengan melakukan pendekatan clear & balance pada materi yang disampaikan. Makasih sharingnya, mak
ReplyDeletesenang membaca ini :) sukses untuk KEBnya
ReplyDelete