Ujian Apakah Ini? Bagaimana Menjawabnya?


Saya sering mendengar orang-orang yang sakitnya berat tak diberitahu oleh keluarga dekatnya perihal penyakitnya. Alasannya: kasihan atau tak sampai hati, atau tak tega.

Mendengar ini membuat saya miris. Betapa tidak, seseorang yang sedang menjalani ujian sulit tapi tak diberitahu jenis/tingkat kesulitannya, bagaimana caranya ia mampu menjawab “soal” ujian itu? Kasihan, ia pasti kebingungan dengan keadaannya. Ia pasti menjawab soal ujiannya dengan seadanya.

Coba bayangkan: suatu hari Anda harus mengikuti sebuah ujian. Sudah tentu Anda tak tahu soalnya, itu hal biasa. Tetapi Anda tak tahu jenis/tingkat ujiannya sama sekali. Tak ada orang yang memberitahu. Semua orang menutup mulut saat Anda bertanya, “Ujian apa ini?” Mereka hanya berkata, “Tidak apa-apa. Kau pasti bisa!”

Dalam keadaan demikian, apa yang akan Anda pelajari agar dapat mengerjakan ujian dengan baik? Bagaimana Anda mempersiapkan diri? Anda tentu bingung setengah mati. Setiap detik Anda sibuk menebak-nebak: apakah ini ujian mengemudi? Kalau iya, apakah itu mengemudi motor, mobil, bentor, atau becak? Atau barangkali ini ujian pelajaran saat kuliah dulu? Kalau iya, mata kuliah apa? Apakah yang diujikan memang yang dipelajari dulu, atau jangan-jangan ujian jurusan atau bahkan fakuktas lain?


Sumber: http://celebbi.blogspot.com
Atau barangkali ini ujian pelajaran SMA? Atau pelajaraan SMP? Atau ujian menjahit? Ujian apa?
Coba bayangkan, apa tidak sumpek pikiran dan perasaan karena sibuk menebak-nebak?

Pasti lain halnya jika orang terdekat Anda mengabarkan seperti ini: “Sayang, Kau akan diuji Matematika Dasar. Belajar yang rajin ya? Yang semangat ya?” Pasti Anda akan segera membongkar ingatan Anda tentang Matematika Dasar. Kalau sudah jauh berkurang, Anda akan segera mencari buku-buku Matematika Dasar, menghubungi orang-orang yang bisa membantu mengembalikan ingatan Anda tentang Matematika Dasar. Juga segera browsing di internet.

Lalu Anda menjaga kesehatan Anda guna menghadapi hari H-nya. Begitu hari H, Anda merasa mantap karena telah mempersiapkan diri dengan baik. Anda pasrah, menyerahkan sepenuhnya hasilnya kepada Allah karena telah mempersiapkan diri dengan baik. Ya, manusia hanya berusaha, Allah yang menentukan, bukan?

Nah, kembali pada penyakit berat tadi. Bukannya meminta, penyakit berat bisa menimpa siapa saja, bisa pula menimpa saya. Kalau saya menjadi penderita, saya pasti marah BESAR jika tak ada yang jujur kepada saya perihal penyakit saya.

Mengapa?
Karena:

  • Banyak bukti di muka bumi ini, orang-orang yang kuat tekadnya untuk sembuh, berhasil sembuh dari penyakit berat sekali pun. Saya pernah mendengar kisah orang-orang yang sembuh dari kanker. Anda pun mungkin pernah mendengarnya, kan?
  • Dengan mengetahui level penyakit, membuat kita gigih mencari obat  yang selevel. Kita akan tertuntun mencari “senjata yang tepat” untuk “perang yang tepat”. Sembuh itu persoalan belakangan, yang terpenting berusaha dulu. Jika memungkinkan bagi kita memperoleh senjata otomatis dengan berusaha bersungguh-sungguh untuk menghadapi perang dengan musuh yang persenjataannya modern, kenapa harus menggunakan bambu runcing?
  • Kelak, bagaimana kita menyikapi penyakit akan kita pertanggungjawabkan kepada Sang Maha Berkehendak. Apa yang akan kita katakan kepada-Nya kelak? Bahwa kita menjawab “soal ujian”-Nya yang levelnya “hard” dengan pengetahuan kita yang “easy”? Come on. Kelak itu akan ada nilainya. Bagaimana nilai kita bisa maksimal kalau usaha kita minim?

So, mari kita renungkan bagaimana sebaiknya kita bersikap terhadap ujian berat semacam ini.

Makassar, 24 Juni 2012

Silakan juga dibaca:



Share :

21 Komentar di "Ujian Apakah Ini? Bagaimana Menjawabnya?"

  1. Bener banget ulasanmu Niar... aku lebih mendukung tindakan yang tidak menutup2i informasi yang demikian. Penyampaian secara baik justru akan membantu si penderita untuk menguatkan diri, menabur harapannya untuk sembuh, dan take action dalam perawatan dirinya....

    trims atas renungannya. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sayangnya banyak yang menganggap karena rasa sayang dan kasihan, mereka tak mengabari si sakit. Padahal justru makin kasihan kondisinya.

      Delete
  2. Waah kalo aku biasanya pas sakit suka di umpetin..
    takutnya ngerepotin hehhe..

    Semoga kita di jauhkan dari ujian-ujian yang memberatkan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo diri sendiri yang sakit, saya pun memilih menyembunyikannya mbak Nchie. Soalnya saya tdk suka merepotkan dan dicerewetin orang :D
      Eh tapi kalo dikunjungi kan asyik juga ya mbak :D

      Delete
  3. udah deh itu palingan ngarang bebas kalo ga pake sistem minus. Tp kalo udh gt pasrah aja ngerjain sebisanya T,T

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya, seperti itulah orang sakit berat yang tak tahu dirinya: "mengarang bebas" ... ^^

      Delete
    2. aku suka ngarang bebas lho, Bund :(

      Delete
  4. Yups, betul Mbak, itulah mengapa sekarang justru banyak dokter yang memilih memberitahukan penyakit pada pasiennya. Beda dengan dulu yang serba disembunyikan :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dulu dokter suka menyembunyikan kondisi pasien? Owh ... saya pikir keluarga pasien saja yang suka menyembunyikannya ...

      Delete
  5. ujian berat memang sebaiknya di hadapi dan di lewati dengan kejujuran ya mbak, bukan di tutup-tutupi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mami Zidane, supaya bisa menghadapinya dengan "benar"

      Delete
  6. betul sekali,kalau ditutup - tutupi kapan mau ada kemauan untuk sembuh bagi penderita. Seharusnya jelaskan baik - baik agar semuanya bisa dikontrol dengan baik oleh penderita untuk menuju kesehatan dirinya sendiri

    ReplyDelete
  7. Betul sekali kak Mugniar.
    Tanpa mengetahui penyakitnya, bagaimana sang penderita bisa menjaga diri supaya penyakitnya tidak tambah parah dan mencari obatnya. Pemikiran semacam ini yang harus ada dalam diri seorang sahabat dekat, siapapun itu. Selalu ada jalan pada tingkat ujian itu sendiri.

    ReplyDelete
  8. rasanya memang ga fair kalau keluarga yang tahu akan penyakit seseorang tidak memberi tahu orang tersebut karena yang paling berhak tahu adalah si penderita itu sendiri..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, menurutku juga begitu. Saya pribadi lebih suka diberitahu supaya bisa bersikap dengan benar.

      Delete
  9. Betul Mugniar, memebritahu tentang penyakit yang diderita dengan cara tepat adalah pilihan yang amat bijak :)
    Semoga kita semua selalu sehat ya!

    ReplyDelete
  10. kalao tertimpa ujian spt (tp lahamdulillah ujian sakitnya tidak yang berat) itu biasanya saya jadi ingat dosa yang sudha saya lakukan...n istigfar

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sakit kita, kalau bersabar insya Allah jadi "pencuci" dosa ya mbak ^^

      Delete
  11. Tidak memberitahu sakit yang sebenarnya, pernah saya lakukan kepada almarhumah istri, pertimbangannya adalah tidak ingin membuatnya semakin cemas dengan kondisi kesehatannya. Namun seiring waktu berjalan, perlahan saya jelaskan kondisi yang sebenarnya, bahkan almarhumah juga akhirnya tahu bahwa tak ada pilihan lain kecuali cuci darah, meskipun akhirnya ini tak dijalani hingga akhirnya Allah memanggilnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Abi Sabila menunggu waktu yang tepat untuk mengutarakannya ya. Pada awalnya disembunyikan tapi ada akhirnya kan memutuskan untuk mengabarkan. Itu sungguh bijak, jadi ybs sebagai pemegang peranan penting bisa bersikap dengan tepat dengan didampingi suaminya. jadi tdk ada penyesalan di belakang hari.

      Ada orang yang hingga ybs meninggal, tak diberitahu sedikit pun perihal penyakitnya. Kasihan.

      Delete

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^