Penulis Juga Manusia

Alhamdulillah, dunia menulis membuat saya menemukan zona aman saya. Tak perlu rekreasi ke mana-mana, izinkan saja saya duduk mengetikkan ide yang sedang bertengger di benak. Maka saya bisa lupa diri he he he.
            Saya ingat seorang kawan pernah menceritakan pertemuannya dengan seorang penulis (perempuan). Saya dan beberapa teman sudah pernah membicarakan karya penulis itu, kami mengaguminya, saya bahkan mengoleksi buku-bukunya. Tulisan-tulisannya tentang keseharian, sangat inspiratif dan berhikmah sehingga menambah wawasan ibu-ibu muda. Pertemuan kawan saya dengannya bukanlah pertemuan yang disengaja. Kawan saya melihatnya di sebuah sekolah, saya lupa tepatnya sedang ada keperluan apa mereka di situ.

            Kawan saya ini dibuat terperanjat oleh sikap sang penulis yang dianggap ‘kurang layak’ oleh kawan saya. Penulis yang berlatar belakang pendidikan ‘terhormat’ itu melontarkan kalimat dan mimik bernada kesal yang spontan dan sangat tidak mencerminkan kesantunan dan kecerdasan isi dari buku-buku non fiksinya. Kawan saya menilainya tak pantas dan membuat poinnya terhadap penulis itu jadi berkurang.
***
            Suatu ketika seorang kawan yang lain mengunjungi inbox FB saya. “Niar, Kamu hebat. Ngurus tiga orang anak sendiri, masih bisa nulis juga. Sempat saya baca beberapa tulisanmu, bagus-bagus.” Wah, alhamdulillah, terimakasih kalau menurutmu bagus, kawan. Lalu kawan saya juga menuliskan, “Jadi malu  hati, tidak bisa sesabar Niar dalam mengasuh anak-anak. Apa rahasianya? Kalau lagi ‘sadar’ Saya bisa mengendalikan diri. Tapi kalau lagi banyak masalah/pikiran wah ... bisa ngomel-ngomel. Jadi kasihan sama anak-anak.”
            Waduh, membaca ini terus terang saya jadi malu hati juga. Saya teringat penuturan tentang penulis di atas. Saya sudah memilih jenis tulisan ‘non fiksi’ yang menceritakan kejadian sehari-hari dengan hikmah yang bisa saya petik dan pesan-pesan positif. Hal-hal ini sepertinya membuat saya kelihatan bijak dan sarat dengan nilai-nilai postif.
            Saya pun menjawab inbox kawan, “Kalau dicermati baik-baik tulisanku, Saya sebenarnya tidak ‘sabar sekali’. Hanya berusaha bersabar. Saya pun sering mengomel. Tapi saya beursaha istighfar secepatnya kemudian diam. Jadi anak-anakku terutama Affiq yang paling usil dan keras tabiatnya sehingga sering bikin Saya naik darah tahu kalau mamanya marah itu tidak lama. Biasanya beberapa menit setelah saya mengomel-ngomel, dia menegur Saya kembali seolah tidak ada apa-apa. Saya pikir, tidak apa-apa anak-anak tahu kita apa adanya. Jangan sampai kita makan hati. Asal sebagai ibu, kita cepat sadar dan langsung istighfar. Kalau perlu minta maaf sama anak-anak, sekalian mengajarkan anak-anak supaya tidak gengsi untuk meminta maaf.”
            Saya pikir saya perlu menunjukkan bahwa saya marah kepada anak-anak untuk menghentikan ulah mereka jika berlebihan. Anak-anak saat terlalu riang bermain cenderung berlebihan, sulit disuruh berhenti dengan volume suara sedang sampai besar, ataupun intonasi normal sampai keras sampai ada salah satu dari mereka (biasanya Athifah) ‘celaka’ (baca: jatuh atau benjol karena terjatuh) atau menangis. Untuk ini saya harus sebisa mungkin mengusahakan hati saya tidak panas. Gampang? Tidaklah. Itu sulit sekali.
Saya perhatikan, beberapa anak menjadi ‘seenaknya’ hingga dewasa bahkan tua karena ada hal-hal yang ‘kurang’ dalam pengasuhan mereka. Salah satunya, ibu mereka tidak melarang dengan tegas saat mereka membuat kesalahan, baik kecil maupun besar. Akhirnya mereka terbiasa untuk berlaku ‘seenaknya’ karena mereka beranggapan ibu mereka akan excuse atas apapun yang mereka lakukan – biasanya karena tinggal mengeluarkan uang, masalah ‘dianggap’ berhasil diatasi.
Jadi, kawan-kawan jangan kaget jika bertemu dengan saya suatu hari nanti ya? Seorang sahabat saya menggambarkan saya dengan berkata, “Niar ini ... jangan Kamu lihat wajahnya yang seperti malaikat, ia bisa keras juga.” He he he ... kawan saya yang satu itu betul sekali. So, jangan kaget jika bertemu saya dan saya sedang ‘tidak menjadi malaikat’.
Saya pun sadar, pilihan ‘jalur menulis’ yang saya ambil sekarang berkonsekuensi saya harus semakin bijak menyikapi dan memaknai hidup, bukan hanya sebagai bahan tulisan tetapi memang seharusnya semakin tua usia seseorang di dunia ini semakin bijak ia dalam berkehidupan. So kawan, tolong tegur saya ya jika kalian menemukan saya sedang dalam penyikapan hidup yang tak layak. Wa tawashaw bil haqqi wa tawashaw bish shabr - bukankah sudah selayaknya kita saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran?

Makassar 20 Oktober 2011.


Share :

2 Komentar di "Penulis Juga Manusia"

Untuk saat ini kotak komentar saya moderasi karena banyaknya komen spam yang masuk. Silakan tinggalkan komentar ya. Komentar Anda akan sangat berarti bagi saya tapi jangan tinggalkan link hidup. Oya, komentar yang kasar dan spam akan saya hapus ya ^__^